Saturday 10 March 2007

0

Cerpen: Cemburu

  • Saturday 10 March 2007
  • Unknown
  • Share
  • [1]
    Saya punya cerita sepele, tentang kejadian sepele—setidaknya buat perempuan muda bernama Diana. Diana Lana. Saya berkenalan dengannya disebuah bis yang melaju lambat tepat ketika pesawat Garuda GA 200 terbakar di bandara Adi Soecipto Yogyakarta. Saya bersumpah berani kaya raya, ia berwajah bagus dan benar-benar mengingatkan saya pada Alexis Bledel, aktris dalam film serial Gilmore Girls. Agak mirip. Wajah yang sepertinya dilulur parutan kunyit dan rambut yang ketergantungan pada lidah buaya plus air wortel.
    Ia bekerja disebuah toko pakaian anak di pinggiran kota Bandung. Jam 7:30 ia berangkat dan satu jam menjelang maghrib pulang ke rumah, melayani bapaknya yang sakit-sakitan seolah menjadi isteri pengganti baginya. Maklum, dua bulan lalu ibunya wafat.
    Ketika saya menjabat tangannya dalam pertemuan pertama kalinya itu, dia tengah libur kerja, maksud saya, dia meliburkan diri. Alasannya, sakit ayahnya kambuh lagi dan ia mesti melayani bapaknya di rumah seharian setelah seminggu lamanya sempat dirawat di rumah sakit karena demam tinggi. Dia juga bicara panjang lebar tentang keinginannya menikah. Lalu, engkau akan tahu setelah itu, dia berhenti bicara dan menangis tersedu-sedu. Saya jadi salah tingkah karenanya.
    Sebenarnya saya malas berkenalan dengan perempuan saat perasaan dan pikirannya labil—duh, terkecuali dengan dia. Tak saya sangka, dalam waktu yang cepat, saya bisa akrab dengannya. Setelah itu, kami sering berkomunikasi.
    Seperti kisah sinetron, beberapa hari kemudian bapak Diana wafat. Perempuan muda itu terpukul. Nelangsa. Saya kasihan padanya. Bak pahlawan, saya bergegas menghampirinya dan banyak menghibur berjam-jam lamanya dengan ucapan yang hebat, heroik, tentang hidup, ketabahan, harapan, doa dan sedikit cerita konyol tentang bidadari yang kelak akan melayani bapaknya di sorga. Syukurlah, ia tertawa kecil dan mulai terhibur. Semudah itukah?
    Seharusnya cerita ini seperti kisah sinetron yang saya inginkan. Seharusnya dia jatuh cinta pada saya dan mau menikah dengan saya. Tetapi, ciloko, seminggu setelah bapaknya berpulang, Diana malah menikah dengan Subagyo. Subagyo Royo Royo, seorang kasir di Careerhour Paris Van Java.
    Barangkali mereka memang jodoh. Jika begini, engkau perlu sedikit tahu juga siapa saya. Yap, saya Dullah Abbullah, seorang pengajar matematika di SD Gundala. Umur saya 29 tahun. Sumpah berani kaya raya, saya belum menikah. Seumur hidup, baru tiga kali saya pacaran; pertama, pacaran dengan teman sekelas, tapi tak lama kemudian putus karena Bapaknya tak menyukai saya. Kedua, pacaran dengan teman sekampung, tetapi kandas juga karena saya tak menyukai bapaknya; dan ketiga, pacaran dengan teman sepabrik dan akhirnya hancur karena ibunya tak menyukai gaji kecil saya.
    Bertahun-tahun lamanya saya tak pacaran lagi. Jangan percaya kalau saya trauma. Lha wong saya lama sendirian karena memang tak laku. Bertahun-tahun lamanya akhirnya saya lupakan impian tentang sosok kekasih dan kelak—setelah hengkang dari pabrik—saya tersesat jadi pengajar di SD Gundala yang ternyata tak jauh dari rumah Diana, hanya tiga kilometer saja. Tak boleh ditawar-tawar.
    Awalnya saya berpikir tak akan mengalami pacaran lagi setelah bertemu Diana yang saya ramal akan langsung menjadi isteri saya. Tetapi Subagyo lebih beruntung. Dia mendapatkan Diana. (Hm, saya selalu curiga dia pakai magic). Cerita memang harus tetap berlanjut, maka menikahlah mereka tepat ketika SD tempat saya mengajar diserbu banjir setinggi lutut orang dewasa. Rumah tangga mereka tampak romantis. Saya dibikin cemburu karenanya. Mereka berangkat kerja bersama dan pulang juga bersama, naik sepeda kumbang.
    Saya benar-benar dibakar api cemburu! Berminggu-minggu, berbulan-bulan, hampir setahun. Ingin saya lupakan mereka, tetapi akhirnya saya dekati Subagyo, entah dengan misi apa.
    “O, kau Bang Dullah. Teman lama Diana, kan?” basa-basi Subagyo itu menyulut bulu dada saya. Lalu saya berani tanya kabar Diana, kabar mereka. Tapi Subagyo tampak sedikit sedih.
    “Kenapa, Subagyo?”
    “Barangkali dia benar-benar sangat mencintaiku.” Ucap Subagyo sembari tertawa kecil. Cih, apa pasal dia ngomong begitu. Bosan hidup dia—saya geram.
    “Tapi aku Subagyo,” bisiknya, “tak suka perempuan pencemburu kayak dia.”
    “Maksud kamu?” ucap saya heran.
    “Mas Dullah, aku mulai tak betah berumah tangga dengan Diana. Dia pencemburu. Sangat! Aku seperti dibelenggu. Dia memang cantik, seperti katamu dulu di acara pernikahan kami. Tapi jika membuatku tersiksa, percuma! Kau juga tahu, tak seorangpun menyukai belenggu, meski terbuat dari emas.”
    “Hm…”
    “Mungkin dia mengidap sindroma gilles de la tovrette.” Subagyo tertawa lebar
    “Hah?!” Betapa kaget saya, meski ndak ngerti.
    “Bukan, bukan. Dia hanya pencemburu berat.” Ucap Subagyo memasang wajah sedih
    Pembaca sekalian, saya tak tahu apakah ini berita baik atau buruk bagi saya. Saya tak bermaksud membuka aib orang lain, tetapi kalian mesti menyimak sedikit kisah percintaan Subagyo dan Diana. Diana Lana.
    “Lana takut kehilangan Mas…”
    “Ya, le, Bagyo juga.”
    Kira-kira, tiga puluh satu kali dialog romantis itu diucapkan dua kekasih diperiode awal pernikahan mereka. Betapa hangat. Tetapi—ini keharusan cerita—ketakutan Diana kehilangan Subagyo lama-kelamaan jadi ganjil. Diana sedikit-sedikit cemburu, pada setiap perempuan yang dekat dengan suaminya. Meski sekedar ngobrol, menyapa bahkan menoleh! Diana marah-marah tanpa tedeng aling-aling. Dia cemburu pada kawan perempuan suaminya, bahkan—ini yang aneh—ia cemburu pada adik perempuan Subagyo, juga ibu Subagyo! Pokoke, pada siapapun yang dekat dengan Subagyo. Kemanapun Subagyo pergi, Diana tanya ini-itu, penuh curiga dan akhirnya uring-uringan, suka mengumpat dengan kata-kata kotor, bahkan nyakar-nyakar dada.
    Diana curiga Handphone Subagyo berbunyi. Ujung-ujungnya HP disita Diana. Ia curiga Subagyo melamun berlebihan. “Aku malah dituduh mikirin Maemunah, Si Rara, Lydia, Ijah, Megawati, Dasima, Krisdayanti dan setumpuk nama tetangga. Puyeng aku!” keluh Subagyo. “Nih, lihat dadaku.” Ucapnya kemudian sembari memperlihatkan dadanya yang merah-merah bekas cakaran Diana.
    Segalanya hampir berantakan. Sampai juga pisah ranjang. Pertengkaran kerap terjadi hanya karena sifat pencemburu Diana yang berlebihan, bikin Subagyo tak betah, merasa terus difitnah.
    “Na, kamu tak mencintaiku!”
    “Aku mencintaimu, Mas!”
    “Tapi kenapa kamu membuatku menderita begini, capek, pusing!” ucap Subagyo kesal. “Coba, apalagi yang harus aku lakukan agar kamu percaya padaku, Na? Aku mencintaimu. Tapi kamu selalu curiga yang bukan-bukan padaku. Aku kan punya hak ngobrol dengan siapapun, tak lebih. Tapi kamu keterlaluan. Kamu diperbudak oleh pikiranmu sendiri!”
    Disaat seperti itu, Diana selalu menangis sejadi-jadinya. Subagyo kadang luluh melihatnya; tetapi seringkali ia membanting pintu dan pergi keluar rumah, sejauh-jauhnya dan mau kembali ke rumah menjelang malam larut, ketika Diana ketiduran diatas sofa setelah seharian meraung-raung.
    Kejadian berulang, keesokan harinya, masih seperti itu keadaannya Saya dengar juga Subagyo bilang, Diana sering berpikir ia akan bertemu perempuan lain disepanjang jalan. Itu sebabnya Diana diam-diam selalu mengikuti suaminya kemana ia pergi. Pertengkaran yang satu ini kejadiannya tepat ketika saya berada di rumah Subagyo. Sumpah berani kaya raya, saya berada disana karena diajak Subagyo. Dia meminta saya menganalisa kegilaan isterinya, begitu dia mau. Lalu saya diam-diam dengar pertengkaran mereka dari ruang tamu.
    “Mas, tadi dari mana?”
    “Kenapa kamu terus mengikutiku?”
    “Mas, aku takut mereka merebut hatimu!”
    “Siapa?! Duh, cinta tak segila ini Diana! Lama-kelamaan kamu konyol, kekanak-kanakkan. Lama-kelamaan aku muak!”
    “Apa Mas tak cinta Lana?”
    “Aku cinta kamu, tapi cemburumu yang konyol itu bikin aku benci!”
    “Mas! Kamu gak ngerti perasaan perempuan!”
    “Perasaan persetan!” Subagyo hampir hilang kesabaran.
    “Mas! Kamu sekarang…”
    “Sudah, sudah. Malu ada Mas Dullah.”
    “Dullah? Siapa suruh dia datang kesini!”
    Saya benar-benar geram dengar ucapan Diana yang terakhir itu. Nylekit. Tanpa pamit saya bergegas pergi dari rumah itu. Dari kejauhan terdengar Diana menangis dan pintu dibanting. Saya tebak, pasti Subagyo dapat cakaran yang hebat lagi dari istrinya.
    [2]
    Hampir sebulan saya tak mendengar tentang mereka, tentang Diana Lana dan Subagyo Royo Royo. Saya belum tahu lagi kabar mereka. Maklum, saya tengah sibuk-sibuknya mengurus kepindahan saya mengajar ke MTsN Sumang Anak di Sumbar. Terlalu jauh dari mereka. Sibuk, pembaca, seperti aktor yang diburu kejar tayang. Tetapi tiga hari terakhir ini saya libur mengajar karena gedung sekolah hancur kena gempa lagi. Semua murid diliburkan. Saya pikir, ada asyiknya saya main ke Bandung.
    Pembaca sekalian terpaksa harus kaget. Berita yang saya terima sesampainya disana bikin saya ngeri: Subagyo Royo Royo mati dibunuh isterinya sendiri!
    Kini Diana ditahan di kantor polisi. Saya pun langsung membesuknya. Di penjara, Diana meringkuk. Duh, dia juga tengah hamil. Amat sedih saya melihatnya. Wajahnya kucel, kusut rambutnya.
    “Kau hamil?”
    “6 bulan.”
    “Apa yang terjadi, Diana?” Tanya saya. Diana tersenyum, kecut.
    “Aku cemburu.”
    “Cemburu?” saya keheranan. “Kau mencintainya, kan?”
    “Aku sangat mencintainya. Sangat!”
    “Lalu kenapa kau membunuhnya?”
    “Aku…aku takut perempuan-perempuan itu merebut hatinya. Aku takut Subagyo jatuh cinta pada mereka. Aku sakit hati melihat suamiku bertemu mereka, bersama mereka. Jadi aku tusuk saja dia. Mereka tak boleh mendapatkan suamiku!” dalih Diana, mulai terisak. Cukup kesal saya.
    “Dulu kau tak mencintainya, Diana. Kau hanya mencintai dirimu sendiri. Kini, kau malah tak mencintai dirimu sendiri. Kau mencelakai Subagyo dan dirimu sendiri.”
    “Mas Dullah…”
    “Kau sakit jiwa!”
    “Aku hanya tak ingin cemburu lagi. Aku…” Diana mulai tersisak-isak. “Haruskah dulu aku membunuh ribuan perempuan-perempuan itu?”
    Saya lucu sekaligus mengkel dengarnya. Diana benar-benar sudah sakit jiwa. Lalu cukup lama kami diam.
    “Hei, cemburumu aneh. Nah coba, kini Subagyo tak disisimu, tetapi disisi Tuhan. Apa kau ndak cemburu sama Tuhan, tuh?” ucap saya ngetes bercampur jengkel. Diana tertawa aneh. Cekikikan puas.
    “Mas Dullah kok bego. Tuhan itu gak berjenis kelamin.” Mendadak dia menyahut bikin saya tambah kesal.
    “Bagaimana dengan bidadari-bidadari yang kelak menemani suamimu di ranjang sorga? Mereka akan mencumbu suamimu. Apa kau gak cemburu, heh?”
    Diana hanya menyeringai dan tertawa cekikikan. Lalu ia bernyanyi-nyanyi pelan. Lalu menangis. Lalu bernyanyi lagi…
    Pembaca sekalian, jika engkau jadi saya disini pasti sedih melihatnya. Saya pun pergi dari sana. Tapi sebenarnya saya berat meninggalkan Diana sendiri di Bandung. Saya khawatir dengan keadaannya. Tetapi seseorang telah menelepon saya dari Sumbar. Tugas penting telah menunggu dan saya harus cepat ke sana. Tanpa pikir panjang saya meluncur ke Sumbar. Saya sudah mulai mengajar. Sesekali saya menelepon pihak kepolisian tempat Diana menginap dan terus menanyakan perkembangan kejiwaan Diana. Yang cukup menggembirakan, saya terima kabar Diana telah melahirkan. Anaknya laki-laki. Untuk sementara anak itu dirawat petugas perempuan di bagian khusus kesehatan penjara. Karena ibu Subagyo kabarnya tak sudi menerima putra buah Diana dan Subagyo.
    Cukup lama saya tak ke Bandung. Greget. Saya selalu membayangkan Diana bebas dan sehat kembali. Saya kasihan padanya. Saya ingin menjadi suaminya. Serius. Saya ingin menjadi bapak bagi anaknya.
    Semalaman ini saya gelisah di depan cermin, di atas tempat tidur juga. Duh, Diana Lana, kamu memang pencemburu. Tapi jika saya ke Bandung nanti, saya ingin bilang padamu bahwa kepercayaan itu sangat penting dalam setiap hubungan. Saya kini sadar, rasa cemburu memang bumbu bagi setiap pasangan. Tapi kalau berlebihan, bisa gawat, kan? Tuhan saja tak suka pada sikap yang berlebihan. Kecemburuan yang berlebih bukan cermin cinta yang kuat. Ia hanya cermin kepribadian yang tak percaya diri dalam berhubungan. Lha, apa bedanya cemburu dengan iri? Seperti orang yang iri melihat tetangganya kaya raya, sukses, senang dan bahagia. Iri tanda tak mampu, Lanaku. Ah, Diana Lana, ingin saya ucapkan semua ini padamu. Tunggu saya di Bandung, Lanaku! Saya cinta kamu. Kau perlu tahu, Lanaku…
    [3]
    Malam merayap diatas atap, lalu habis.
    Gusti Agung innalillahi, pagi-pagi saya menerima telepon dari Bandung bahwa Diana ditemukan telah menjadi mayat di penjara! Dia menusukkan pisau di dadanya sendiri. Saya terkejut bukan main. Tubuh saya lemas mendengar kabar itu. Tuhan, hukuman apa ini…Seharian saya kecewa. Dada saya sesak, kepala juga. Menjelang malam, saya pun segera berangkat ke Bandung ingin melihat keadaan yang sebenarnya, mendengar kejadian sejelasnya. Duh, Tuhan, saya berat menceritakan kisah ini…
    Sesampainya di kantor polisi, mayat Diana sudah dikirim ke rumah sakit terdekat. Saya meluncur ke rumah sakit membawa serta anak Diana dari bagian khusus kesehatan penjara. Di rumah sakit, tangis saya hampir meledak.
    “Sebelum mati, sepertinya Diana menulis pesan buat Anda.” Seorang polisi menyodorkan selembar kertas lusuh pada saya. Saya membacanya dengan gemetar.
    Mas Dullah. Maafku buat semua. Aku titipkan anakku padamu. Ibu suamiku gak terima dia sebagai cucunya. Maaf, Mas, aku titip. Aku pergi, pamit. Aku ingin temui Subagyo, suamiku, di Sorga. Aku ingin memburu bidadari-bidadari itu, menusuk-nusuk mereka. Aku benar-benar cemburu! Mereka gak boleh rebut hati Subagyo!
    Otak saya panas membacanya. Saya remas surat kecil itu. Saya geram. Diana masih terus diburu cemburu. Sakit jiwa. Hingga dia bunuh suaminya, ia bunuh dirinya sendiri. Diana cemburu pada bidadari-bidadari. Saya juga cemburu pada Subagyo. Tetapi karena cemburu Diana melakukan kejahatan. Barangkali dia anggap atas nama cinta. Hati saya perih…
    Pambaca sekalian, saya yakin, kejahatan tidak hanya terjadi karena ada kesempatan, tetapi juga niat pelaku. Sepanjang jalan ini, tangis saya tak habis-habis. Sepanjang jalan ini juga, anak Diana tak henti mencakar-cakar dadaku. Nak, kepercayaan memang mahal. []

    Cipadung, Maret 2007

    0 Responses to “Cerpen: Cemburu”

    Post a Comment

    Subscribe