Saturday 10 March 2007

0

Cerpen: Hantu Itu Bernama Hutang

  • Saturday 10 March 2007
  • Unknown
  • Share
  • Saya adalah warga Negara Indonesia yang latah. Betapa tidak, saat negara ini tengah dirundung hutang, saya—sebagai warganya—ikut juga sibuk terjerat hutang pada si Bandar jengkol. Dan setiap suara ketukan sang penagih hutang terdengar di pintu depan rumah saya, saya seperti mendengar erang hantu ditengah malam jum`at yang mengerikan. Bayangkan saja, tiga hari lagi saya harus menyiapkan uang satu juta dua ratus rupiah. Padahal saya tak punya duit sedikitpun. Betapa kenyataan ini seperti dera siksa kubur. Saya sangat-sangat tersiksa.
    Gali lobang tutup lobang. Barangkali itu rumus nasib saya hari ini. Tapi itu hanya perputaran uang belaka toh. Tetap saja saya tak mampu mengurangi besarnya jumlah hutang saya. Yang menjengkelkan kemudian justeru uang satu juta dua ratus itu yang harus saya lunasi dalam waktu tiga hari. Padahal kini saya tak punya lagi kerja. Orang-orang yang saya kenal juga tengah krisis duit. Saya juga tak punya perabot rumah yang layak jual, hanya radio antik produk zaman PKI dulu, warisan Abah saya. Lengkap sudah siksa. Tamat sudah riwayat saya.
    Kenyataan memalukan ini bermula ketika saya pinjam uang dari Pak Malik Delik, si Bandar jengkol. Uang itu saya pakai buat bayar kontrakan rumah selama setahun bersama isteri saya. Awalnya saya optimis dapat membayar hutang karena ketika itu saya sudah mulai kerja. Tetapi apes, beberapa bulan kemudian saya terkena PHK di tempat kerja saya. Apalagi isteri lagi hamil tua anak pertama. Banyak keperluan. Kusut jadinya, kan?
    Saya pinjam sana-sini, biar Pak Malik Delik tak mendelik, tak terlalu galak. Lalu saya bayar sana-sini. Tinggal Pak Malik Delik satu-satunya musuh besar saya kini. Saya janji padanya akan membayar hutang itu dipertengahan setahun kontrakkan saya. Enam kali ia datang ke rumah, dua kali saya minta waktu bayar diundur, tiga kali isteri saya yang membukakan pintu lalu berbohong dan satu kali saya dan isteri tak membukakan pintu—setiapkali saya berdalih dan mengelak dari kejaran hari Sabtu minggu pertama tiap bulan. Kasihan juga isteri saya ikut berbohong.
    Pak Malik memang sudah mulai hilang kesabaran. Ia marah dan meminta saya melunasi hutang lima hari lagi. Kalau tidak, ia akan melaporkan saya pada polisi dengan alasan penipuan. Dia juga mengancam akan membawa preman, biar memukuli saya kalau tak bayar lagi. Lha, amat kejam dia. Saya pikir, dia bukan manusia. Dia hewan pemangsa yang menyedihkan.
    “Mas, kita tak punya uang sedikitpun. Hanya ada tabunganku. Itu juga buat makan kita. Padahal lima hari lagi…” Keluh isteri saya. Saya hanya menghela napas panjang. Kesat rasanya. Saya gemetar menatap langit kamar. Saya perih menatap dua mata sedih isteri saya. Lalu saya kecup keningnya.
    “Besok aku akan coba pinjam lagi pada Kardun Radun. Barangkali ini kali beruntung. Aku juga mau cari kerja lagi. Jangan khawatir, ya. ” Ucap saya menghibur sembari senyum. Saya coba menguatkan hati isteri. Saya peluk dia erat. Dia tenggelamkan kepalanya di dada saya. Ada air mata yang hangat membasahi dada saya. Isteri saya menangis. Malam bersentuhan dengan dingin, bersahutan dengan hati saya.
    Betapa hidup ini sangat keras. Saya kasihan sama isteri saya telah menyeretnya kesana. Saya jadi ingat waktu yang lewat. Laena—kini isteri saya—adalah perempuan yang pernah menolong saya mencari pekerjaan. Meski saya hanya kerja seumur jagung. Tapi lumayan hasilnya buat menabung. Saya dikenalkan pada Laena oleh Kardun Radun disebuah Pasar Malam. Saya jatuh cinta padanya. Dia juga. Tapi kedua orang tua Laena tak menyukai hubungan kami. Begitu juga orang tua saya. Saya ajak kawin lari saja dia ke kota yang jauh. Sampai sana putus hubungan dengan kerabat. Berbulan-bulan saya berpindah-pindah tempat. Ngontrak sana, ngontrak sini. Kerja sana, kerja sini. Lumayan buat makan sehari-hari. Pernah juga numpang di rumah teman. Tapi akhirnya Laena lebih memilih ngontrak. Kami memutuskan untuk kontrak rumah selama setahun. Biar tenang, begitu saya pikir kala itu. Lalu saya pinjam uang satu juta lima ratus pada Pak Malik Delik. Kini baru bayar tiga ratus, sampai akhirnya saya kena PHK.
    Saya pandangi wajah isteri saya yang sudah tertidur di samping saya. Saya kenakan selimut ke tubuhnya. Saya matikan lampu. Maaf, Laena, belum bisa saya benar-benar membahagiakanmu. Barangkali ke depan bisa. Mudah-mudahan. Selamat tidur, sayang. Mimpi indah.
    ***
    Ketika saya baru pulang dari Kardun Radun, isteri saya merasakan sakit diperutnya. Usia kehamilannya semakin tua, sudah tiba waktunya. Saya kelabakan minta bantuan tetangga mengantar isteri ke rumah bersalin. Syukur, ada tetangga yang bantu saya cari mobil tumpangan gratis di jalan. Jalanan macet dan siang ini panasnya bukan biasa. Saya kasihan pada isteri saya, juga pada semua perempuan jika saat-saat menjelang hamil seperti ini. Saya terkadang turut merasakan ada sakit yang sangat hebat ketika melihat perempuan tengah melahirkan anak. Menderita. Seperti tersiksa—sama halnya tersiksa lahir-bathin karena diberondong hutang. Barangkali juga seperti serangan hantu yang dahsyat.
    Sesampainya di rumah sakit. Pikiran saya kian kusut. Konsentrasi saya berantakkan. Segala soal bersilangan di pikiran saya. Soal kerja, peralatan bayi, buat makan, sampai soal hutang. Saya merasakan seolah kepala ini ingin meledak berkeping-keping. Dada saya berdegup kencang. Tapi saya ingat Kardun Radun lagi. Barangkali dialah satu-satunya penolong saya kini. Kawan lama saya itu tadi pagi berjanji akan mempertimbangkan masalah hutang saya. Saya belum tahu persis akan seperti apa. Yang jelas saya diminta datang kembali ke rumanya dua hari lagi. Dia juga pernah janji mau menanggung biaya persalinan isteri saya. Betapa baik kawan lama saya itu. Saya sangat malu dibuatnya. Mungkin dia kasihan pada saya setelah seminggu ke belakang saya banyak mengeluh soal hutang padanya.
    Akhirnya lahirlah anak saya. Kembar, lelaki dan perempuan. Betapa senang hati saya. Lumayan sedikit meminimalisir stress saya. Saya gendong kedua anak itu. Isteri saya tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Keesokan harinya saya memutuskan untuk membawa isteri dan anak-anak saya ke rumah. Sebelumnya, Kardun Radun memang ke rumah sakit. Dia benar, dia yang membayar semua biaya persalinan. Saya tak henti mengucapkan terima kasih padanya. Isteri saya juga.
    “Kami terharu punya kawan lama seperti kamu.” Ucap isteri saya. Kardun Radun hanya tersenyum, lalu pergi.
    Tapi, tentu saja persoalan tidak berhenti disana. Saya kembali dikunjungi rasa bingung yang tak kunjung mengecil. Apalagi biaya hidup kami jadi bengkak-bengkak setelah anak kembar kami lahir.
    Persoalan yang semrawut ini merongrong pikiran saya di malam harinya. Sayapun tidur lewat tengah malam. Warna malam lama berputar-putar di pelupuk mata saya. Pikiran saya berpendaran. Tiba-tiba saya dengar pintu depan rumah saya ada yang mengetuk berulangkali. Saya berjalan tergopoh membukakan pintu. Tampak Pak Malik Delik berdiri dengan ribuan anjing di belakangnya. Dia melayang dengan baju putih dan tangan penuh darah. Wajahnya juga. Tangan kanannya memegang tongkat berujung kapak. Saya mundur ketakutan.
    “Bayar hutangmu sekarang!” bentak Pak Malik. Entahlah, mulut saya terkunci untuk menjawab. Bungkam untuk teriak. Tubuh Pak Malik Delik melayang-layang di ruangan tamu. Anjing-anjingnya menatap tajam ke arah saya. Seperti lapar. Mendadak isteri saya keluar dari kamar dan teriak-teriak histeris. Anjing-anjing menyerbu kamar. Tak saya sangka, Pak Malik Delik menerjang saya dan mencekik leher saya. Isteri saya kembali menjerit. Saya melihat kedua anak saya diseret anjing-anjing. Saya berontak. Tapi tubuh saya seperti disihir jadi batu. Tak bisa bergerak. Saya berusaha pecahkan teriak saya. “Tidaaaaaaak!”
    Tidaaaaak!
    Saya terbangun dari tidur, dari mimpi buruk itu. Isteri saya kaget mendengar teriakan saya. “Mas, kenapa? Mimpi buruk ya?” Tanya isteri saya cemas. Saya menatap sekeliling kamar. Jantung saya berdegup keras. Tubuh saya banjir keringat. Sudah cukup lama saya tak bermimpi. Apalagi mimpi buruk. Saya tatap isteri saya yang masih cemas.
    “Tidak apa-apa. Aku hanya mimpi buruk. Maaf. Sekarang kamu tidur lagi.” Ucap saya. Saya tengok kedua anak saya yang tertidur. Untuk saja mereka tidak terbangun kaget oleh teriakan saya.
    Keesokan harinya, saya melamun berjam-jam. Mimpi semalam seakan menghimpun semua persoalan-persoalan yang berlumut di pikiran saya. Isteri saya coba menghibur. Tapi kali ini gundah saya sulit dicairkan; tak seperti dulu, setiap persoalan akan begitu mudah diredakan oleh senyum Laena di awal-awal pernikahan kami. Ini kali dada amat nganga membuka luka. Saya stress, seolah-olah dunia adalah musuh saya. Sempat saya berniat bunuh diri.
    Hari-hari berlalu demikian pilu. Hari-hari berdetak seperti bom waktu. Duh, malam ini Pak Malik Delik akan datang menagih hutang.
    “Mas, hari ini Mas kan ada janji sama Bang Kardun.” Tiba-tiba Laena memecah lamunan saya yang kesekian kalinya. Saya tersenyum gugup. Saya menghela napas panjang. Lalu menatap wajah isteri saya lekat-lekat.
    “Sebenarnya aku malu sama Kardun. Soal janji Kardun juga belum jelas, kan? Apa dia benar ada uang buat kita?” ucap saya penuh keraguan.
    “Ya coba dulu datang, Mas”
    “Kalau gak jadi?”
    “Mudah-mudahan jadi. Aku berdoa di rumah, Mas”
    Saya pandangi isteri saya. Saya ingin ceritakan sesuatu padanya.
    “Laena, kalau uang dari Kardun gak ada. Kita jual saja anak kita satu.” Ucap saya gemetar.
    “Apa?!” Isteri saya terperanjat. “Mas sudah gila?!” Saya menghela napas panjang. Isteri saya menatap tajam di lubuk mata saya.
    “Aku gak gila. Tapi kalau keadaannya gawat begini, terpaksa”
    “Tidak! Akal Mas sudah tak sehat! Mas sudah gila mau jual darah daging sendiri. “ Isteri saya marah. Ia terisak-isak pilu. Saya jadi merasa bersalah karenanya. Mendadak isteri saya berdiri dan bergegas pergi ke kamar. Mengunci pintu. Dia pasti menangis di dalam sana. Kembali pikiran saya panas. Saya merasa jengkel jadi orang miskin. Tuhan, saya ingin kaya raya. Saya dendam pada hidup. Saya terhina!
    ***
    Kardun Radun menyerahkan ampelop berwarna kuning tua. Saya membukanya perlahan. Saya melihat uang. “Itu uang buat kamu. Bayar kontrakkan kamu. Sisanya belanja buat anak-anak kamu.” Usap Kardun Radun. Saya gembira.
    “Tapi kapan saya harus membayarnya?” Tanya saya. Kardun Radun menghela napas panjang. Ia merapikan baju dan mengisap rokoknya dalam-dalam.
    “Sudahlah, nanti saja kalau kamu kaya raya. ” Ucap Kardun sembari tertawa. “Tapi untuk ke depan aku tak bisa membantumu lagi soal hutang. Kamu harus segera cari kerja. Soal uang ini, sudahlah itu aku kasih buat kamu dan isteri. Jangan anggap hutang. Ok?” Kardun tersenyum. Saya bahagia bukan biasa.
    Sepanjang jalan pulang, saya habis-habisan bersyukur. Betapa Kardun Radun bak malaikat penolong bagi saya dan isteri saya. Duh, jika dulu Kardun Radun tak ikut pindah ke kota ini, bisa kewalahan saya di kejar hutang. Saya tersenyum puas. Saya girang. Saya bolak-balik ampelopnya. Uang dalam ampelop ini berjumlah dua juta. Saya malu bukan main. Saya punya rencana segera melunasi hutang saya pada Pak Malik Delik. Hari ini. Ya, Pak Malik Delik janji akan datang malam ini ke rumah. Pasti bawa preman. Soalnya ini batas paling akhir saya bayar hutang. Tak bisa diundur-undur. Tak bisa ditawar-tawar lagi. Bayar atau mati!
    Dalam bis, saya mulai atur-atur uang. 1. 200.000 buat Pak Malik Delik. Sisanya, saya ingin beli peralatan bayi, belanja beras dan menu masakan, biaya buat kelak cari kerja dan disimpan di tabungan. Saya pisah-pisah uang itu dengan hati-hati. Saya senang. Saya mulai tenang sekarang. Sebelum pulang ke rumah, saya ingin mampir dulu ke toko. Saya punya rencana beli peralatan bayi dulu. Terus beli beras, dan sebagainya. Saya ingin bikin kejutan buat Laena, isteri saya tercinta. Akhirnya.
    Dalam bis, ada pengasong mainan bayi. Saya greget. Saya beli. Saya tak tahu nama mainan itu. Tapi kalau engkau putar tali ditengahnya, engkau akan melihat ujungnya berputar, seperti komedi putar, dan engkau akan mendengar musik nan indah. Saya beli dua!
    Bis berhenti di tikungan sebelum halte. Pukul 13: 46. Beberapa orang tampak turun kegerahan. Cuaca panas. Tapi beberapa langkah menuju tikungan jalan kedua, seseorang menubruk tubuh saya dengan keras dan mengambil dompet saya.
    “Copet!” spontan saya teriak. Orang hitam berambut gondrong itu lari sekencang-kencangnya. Saya juga lari mengejarnya. Saya berteriak-teriak. Tapi tak ada yang dengar. Tapi tak ada siapapun. Di sebuah gang, saya berhasil menerjangnya. Ia terjungkal dan balik menerjang saya. Saya mengelak, tapi tiba-tiba saya merasakan ada benda tajam menusuk perut dan dada saya. Sakit. Banyak darah segar keluar. Saya ambruk hilang keseimbangan. Copet sialan itu raib. Uang juga raib. Sakit perut saya. Kepala saya berkunang-kunang. Gelap…
    ***
    Saya sadarkan diri. Barangkali cukup lama saya pingsan. Tubuh saya bergerak cepat diatas ranjang beroda. Saya mencium bau rumah sakit. Saya mencium darah saya. Saya mencium bau air mata isteri saya. Saya dengar dia menangis disamping saya.
    “Mas, jangan tinggalkan aku!” teriak isteri saya histeris. Ingin saya bicara, tapi tak kuat. Napas saya seperti tinggal sedikit—seperti dijerat leher oleh temali maut. Sesak, kian sesak. Laena, aku dicopet. Laena, maafkan aku atas hidup ini…Tiba-tiba tubuh saya terasa ringan, ruh saya terbang melayang menyusuri atap-atap rumah sakit, tiang listrik dan berputar-putar di udara bebas—seperti asap rokok. Saya melihat dibawah, isteri saya meraung-raung. saya melihat wajah kedua anak saya. Roh saya seperti capung, terbang mengitari kota, sudut-sudut tempat. Saya melihat atap-atap mobil. Saya melihat copet itu tengah berlari di gang-gang! Saya melihat ia memasuki diskotik. Saya melihat ia bersalaman dengan seseorang. Seseorang yang saya kenal. Darun? Darun!
    “Gimana?”
    “Beres, Bos. Dia saya tusuk.”
    “Mana uangnya?”
    “Nih, Bos.”
    “Hah! Ko cuma ada satu juta sembilan ratus? Kamu korupsi, heh?”
    “Sumpah, Bos, saya tak korupsi! Di dompetnya cuma ada segitu.”
    “Nih, jatah buat kamu! Sekarang kamu pergi dari kota ini.”
    “Makasih, Bos.”
    “Sudah, ya. Aku pingin ketemu si janda cantik dulu. Aku kawin dia!”
    “Yoi, Bos. Bos sudah beli hatinya, kan? Masa nolak kawin sama, Bos. Dia kan lagi terjerat hutang.” Terdengar tawa mereka. Di angkasa, roh saya bergetar hebat mendengar percakapan Kardun sama copet sialan itu.
    Cipadung, Maret 2007

    0 Responses to “Cerpen: Hantu Itu Bernama Hutang”

    Post a Comment

    Subscribe