Saturday 10 March 2007

0

Cerpen: Aktivis itu Mati

  • Saturday 10 March 2007
  • Unknown
  • Share
  • Setelah dua puluh satu hari menghilang, 
    Magdalena ditemukan mati mengambang di sungai. 
    Mayatnya tersangkut di akar yang menjorok ke arus sungai. 
    Baunya menyengat mengundang lalat. 
    Perutnya kembung terisi penuh air, 
    kening perempuan itu memar dan tengkoraknya retak, 
    seperti dipukul benda tumpul—sangat keras.
    Magdalena Agatha, aktivis kampus itu, kian populer di kalangan mahasiswa bahkan media massa setelah dikaitkan dengan isu pembunuhannya yang belakangan bikin kasak-kusuk pihak kepolisian, aktivis mahasiswa dan pejabat kampus. Setiap pihak saling mencurigai, menuduh, dan membantah soal matinya mahasiswa semester delapan itu. Bagi aktivis mahasiswa, Magdalena diduga dibunuh oleh pejabat kampus yang mungkin tak menyukai kritik. Dugaan itu melebar di kalangan mahasiswa karena seminggu belakang, sebelum kematian Magdalena, pihak birokrat kampus tengah kewalahan menerima rentetan pertanyaan dari wartawan perihal kasus pelecehan seksual, korupsi dan pemalsuan gelar di jajaran pejabat kampus yang belakangan digembor-gemborkan Magdalena dan kawan-kawannya. Kecurigaan dikalangan mahasiswa itu akhirnya mendorong detektif dan polisi mengarahkan penyelidikannya ke wilayah pejabat kampus.
    “Banyak isu-isu murahan yang digulirkan kelompok tertentu untuk menjatuhkan saya.” Ujar Rektor. “Tetapi soal pemalsuan gelar yang dilakukan salah seorang Dekan, kami akui ada di kampus ini. Dalam waktu dekat, kami memang akan berusaha menyelesaikannya.”
    Ketika itu, memang Magdalena dan beberapa kawannya secara intens menggerakan para mahasiswa dalam aksi demonstrasi dan menerbitkan bulletin untuk mensosialisaikan isu, aspirasi dan pernyataan sikap. Buntut dari aksi ini, ketegangan antara pejabat kampus dengan kelompok mahasiswa kian meruncing. Audiensi pun digelar. Disana, Magdalena yang sangat kritis diantara kelompok demonstran, menyerang para pejabat dengan data-data dan pertanyaan yang membuat merah semua kuping pejabat. Dan dua hari setelah audiensi, Magdalena dinyatakan hilang disaat audiensi tahap kedua akan dilakukan. Karuan kawan-kawannya sibuk mencari. Telepon genggamnya tak bisa dihubungi dan, menurut keterangan ibunya, sudah empat hari Magdalena tak pulang ke rumah. Padahal, terakhir kali menelepon, Magdalena ngomong akan pulang.
    Beberapa hari setelah berita kematian Magdalena, kepolisian setempat mengeluarkan pernyataan hilangnya Magdalena, seraya meminta masyarakat dan mahasiswa membantu mencarinya. Catatan panjang tentang data pribadi Magdalena segera disebarluaskan ke masyarakat dan media massa. Setelah pencarian selama lima hari tak membuahkan hasil, muncullah kecurigaan dari kelompok demonstran bahwa Magdalena diculik! Para aktivis mahasiswa mencoba mendesak para pejabat kampus tentang hilangnya Magdalena dan pihak kepolisian pun turun tangan.
    Dalam hitungan hari ke dua puluh satu, akhirnya terdengar kabar buruk bahwa mayat Magdalena ditemukan mengambang di sungai, ditemukan seorang pemulung sampah. Polisi segera datang ke tampat kejadian perkara (TKP) beberapa menit kemudian. Detektif dan media mulai bekerjasama lebih erat. Tuduhan dan bantahan kian bersahutan tajam. Tuduh sana, bantah sini. Gosip sana, gosip sini. Spekulasi berkecambaah bak cendawan di musim hujan. Tak ayal, kekisruhan di tubuh kampus yang dirundung kasus ini jadi lahan segar bagi pekerja-pekerja di media massa. Banyak orang di wawancarai wartawan, polisi juga. Sampai akhirnya serbuan wartawan secara besar-besaran merangsak ke tangga-tangga para pejabat. Benarkah para pejabat kampus merencanakan pembunuhan terhadap Magdalena?
    Awalnya pihak pejabat kampus bungkam seribu bahasa. Tak ada yang berkenan angkat bicara. Namun, setelah didesak wartawan-wartawan yang keras kepala, pihak pejabat kampus mau bicara lagi yang kini diwakili Pembantu Rektor.
    “Apalagi ini? Ini sudah fitnah!” dalihnya gemetar menahan murka ketika seorang wartawan menodongnya dengan banyak pertanyaan terkait tuduhan mahasiswa atas keterlibatan jajaran pejabat kampus dalam kematian Magdalena.
    “Demonstrasi yang mereka lakukan dengan banyak isu itu hanya strategi politis kelompok mahasiswa yang turut dipolitisasi oleh pihak tertentu untuk menjatuhkan Pak Rektor. Maklum, sebentar lagi ada pemilihan raktor. Perang citra, pembunuhan karakter; Anda tahu kan? Nah, mengeksploitasi kejadian matinya aktivis itu juga jadi cara kepepet kelompok mahasiswa untuk menjatuhkan kedudukan dan citra kami hanya karena cara demonstrasi sudah tak mempan lagi. Tak efektif lagi!” ucapnya pula panjang lebar.
    Akibat penyataan pedas Purek yang esok harinya dimuat di koran lokal itu, para aktivis mahasiswa kian berang melakukan aksi demonstrasi di depan gedung rektorat.
    “Ini aksi lanjutan dari isu-isu kemarin. Kami akan menggerakan massa yang lebih besar karena kecurigaan kami cukup kuat, Magdalena diculik dan dibunuh!” ujar Bowo Rowo, korlap baru pengganti Magdalena, ketika diwawancarai wartawan disela-sela aksinya.
    “Tetapi mengenai penyelidikan terkait pembunuhan Magdalena selanjutnya, kami sudah menyerahkan sepenuhnya pada pihak kepolisian. Kami akan menunggu. Jika hasilnya benar-benar positif terbukti bahwa jajaran pejabat kampus yang merencanakan pembunuhan ini, kami tak segan akan menyeret mereka ke pengadilan dengan kasus berlapis, yaitu korupsi, pelecehan seksual, pemalsuan gelar dan pembunuhan! Jauh hari kami telah menyerahkan laporan dan keterangan kepada pihak kepolisian tentang kasus-kasus itu. ”
    Namun, soal siapa pembunuh Magdalena, para aktivis kampus kembali dikejutkan soal keterangan Lydia, kawan dekat Magdalena. Dia memberi keterangan tentang pertengkaran Magdalena dengan mantan pacarnya, Hans. Lebih lanjut, Lydia mengatakan bahwa Magdalena pernah menerima surat yang berisi ancaman pembunuhan dari Hans.
    “Kenapa Hans mengancam ingin membunuh Magdalena?”
    “Pertama, sakit hati. Hubungan mereka berantakkan. Hans menuntut Magdalena berhenti jadi aktivis. Ya Magdalena tak mau. Mereka bertengkar. Sampai saling tampar juga. Kedua, Hans kalah dalam pemilihan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa. Ketika itu, tim suksesi Hans mengangkat isu adanya kecurangan dalam pemilihan. Kini, setelah Magdalena tak menjabat lagi, kebencian Hans masih tetap ada. Terang saja, rugi jutaan rupiah dalam proyek pencalonan.”
    “Hah?!”
    Bak gula diburu semut, Hans pun jadi bulan-bulanan wartawan dan tim penyidik dari polisi. Dia diperisa berkali-kali untuk dimintai keterangan.
    “Tidak benar. Ayo, mana buktinya? Ada saksi? Surat tempo lalu hanya gertakku saja. Maklum, aku lagi kalap. Tapi tak serius. Itu pun kejadiannya telah lama lewat. Saya juga sudah mulai lupa. Mana mungkin saya membunuh Magdalena.” bela Hans dengan suara gemetar.
    Belum dingin isu Hans, muncul spekulasi baru menambah daftar panjang pelaku pembunuhan Magdalena. Orang yang kena sial kemudian dan mendapat pemeriksaan intensif dari kepolisian adalah Buma. Ia teman dekat Magdalena. Tak pelak, perhatian nyamuk pers segera tertuju ke arah Buma.
    “Buma kan ketua organisasi GIMMI yang dedengkotnya kini menguasai 75 % birokrasi kampus. Secara politis, Buma menjadi miniatur kepentingan mereka di tingkatan mahasiswa. Buma punya kewajiban berbakti pada leluhur…Tentu saja, hal itu dibumbui dengan permasalahn pribadi Buma dengan Magdalena yang katanya berbuah dendam Buma yang tak reda…”
    “Maksudmu?”
    “Buma kan pernah murka karena ditolak cintanya sama Magdalena.
    “Duh, motif asmara lagi…”
    “Tak hanya itu, Buma memaksa Magdalena untuk bergabung dengan GIMMI dan menghentikan aktivitas demonstrasinya di kampus. Terjadilah perang mulut dan Magdalena sampai kini bersitegang dengan Buma karena merasa dilecehkan prinsipnya. Mereka bermusuhan, dan Buma tak menerima. Mereka kini tak berhubungan lagi, mungkin bermusuhan. Tak sampai disitu, Magdalena pernah membongkar kasus korupsi ketika Buma menjabat Presiden Badan Eksekutif sebelum periode Magdalena.”
    “Jadi kamu menduga bahwa Buma yang membunuh Magdalena? Jadi, lebih dengan alasan politis atau pribadi?”
    “Entahlah. Meneketehe. Pokoknya, setelah itu Magdalena sering mendapat terror SMS. Isinya ada ancaman, hinaan seperti keras kepala, aktivis reaksioner, angkuh, dan sebagainya. Aku juga awalnya menganggap ancaman itu hanya gertakan orang yang lagi emosi. Alasannya bisa politis, atau juga murni pribadi.”
    Buma pun diburu dan ditetapkan jadi salah satu tersangka. Lantas, benarkah Buma yang membunuh Magdalena?
    No comment. Tunggu saja nanti hasil penyidikan polisi.” Komentar Buma singkat. Aneka tuduhan dan ragam analisa politik masih dibentur-bentur tak henti-hentinya. Menyadari masih sulitnya mencari titik terang, kepolisian kian giat membuat manuver-manuver. Yang menarik, mereka membentuk gugus tugas penyelidikan dengan nama Magda Red Team, yang terdiri dari 15 petugas. Tak hanya itu, kalangan mahasiswa tak mau kalah, muncullah berbagai gerakan-gerakan baru yang turut mewarnai ketegangan kasus. Ada MIMBAR (Mahasiswa Intelektual Mesjid Baru) yang begitu hebat mencemooh dosa-dosa pergerakan mahasiwa dan para pejabat kampus dengan setumpuk ayat-ayat suci. Solusi tobat tak luput dianjurkan. Ada juga barisan oposan JeTPAM (Jelata Tempel Pamplet), yang tak bosan-bosan membuta teror bahasa pamplet yang spontan dan sarkas. Tak mau kalah, muncul sekelompok mahasiswa yang mendeklarasikan gerakan baru yang bernama JABLAY (Jaringan Buka Layar) yang kerjanya super-sibuk mengolah data-data, semacam tim investigasi independen di kalangan mahasiswa dalam berbagai kasus di kampus. Semuanya berdesakan, bersilangan diantara banyak isu-isu yang memadati ingatan orang.
    Hari-hari berjalan masih penuh misteri. Setiap orang masih menebak-nebak siapa pembunuh Magdalena sebenarnya. Bahkan, di sebagian mahasiswa ada ada taruhan uang. Ada judi. Ada yang pasang pejabat kampus sebagai pelaku. Ada yang berani bertaruh pegang Hans sebagai pembunuh yang dipicu soal pribadi dan kekacauan asmara. Ada yang pasang Buma. Ada juga yang mengusulkan pilihan alternatif bahwa pembunuh bisa semuanya berdasar kecurigaan secara politis mata rantai Rektor-Buma-Hans, maksudnya ide jahat dari pihak pejabat kampus dan eksekutornya dari mahasiswa yang barangkali menyewa preman. Kesepakatan akhir, ada tiga pihak yang akan bertaruh tentang siapa pelaku sebenarnya: pejabat kampus—siapapun eksekutornya—atau Hans—siapapun eksekutornya—atau Buma—siapapun eksekutornya. Soal adanya konspirasi, itu soal lain, bisa kemudian ditarik otak pembunuhannya. Mereka pun harap-harap cemas menunggu hasil penyelidikan polisi dan kawan-kawan JABLAY. Yang kelak menang, lumayan dengan taruhan 100.00 buat tambah-tambah bayar kostan atau traktir pacar makan siang.
    Sementara demonstrasi terus merangsak dari hari ke hari. Karton dibanjiri tulisan. Semuanya menghujat pejabat kampus. Spanduk-spanduk di pasang. Ada tentang belasungkawa. Ada juga tentang kritik atas kecurangan moral, kegelapan intelektual dan matinya rasa kemanusiaan pejabat kampus. Isinya macam-macam. Setiap pihak kalang-kabut mengurusi masalahnya sendiri-sendiri. Hari berganti hari. Minggu juga. Bulan juga. Pihak kepolisian kian intensif melancarkan penyidikan di setiap sudut tempat. Mereka tak lelah menginterogasi saksi dan orang-orang yang dicurigai. Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak polisi. Siapa pembunuh Magdalena?
    Mereka bertukar spekulasi, menghimpun data-data, bertukar pengalaman dan teori tentang proses penyidikan. Mereka bekerja keras menemukan titik terang lewat data waktu, tempat kejadian, menimbang alibi semua pihak dan seterusnya dan seterusnya. Polisi menduga Magdalena dibuang pelaku ke sungai sesudah dipukul benda tumpul. Jadi, benda-benda yang ditemukan disekitar mayat tak cukup layak dijadikan bukti karena pihak penyidik harus menyusuri sungai yang panjang dan menemukan dengan pasti tempat peristiwa pembunuhan berlangsung.
    Lambannya proses dan hasil penyidikan membuat gerah para aktivis. Mereka banyak-banyak mengeluh soal kinerja polisi. Ujung-ujungnya muncul dugaan konspirasi, dugaan pejabat kebal hukum, suap, rekayasa, pengalihan isu, dan sebagainya. Muncul juga keluhan besar-besaran dari Aliansi Judi Mahasiswa Bawah Tanah (AJUM-BT) yang mulai hilang kesabaran memegang taruhannya. “Mas, lamban benar hasil penyidikan, ya. Padahal saya berdoa saya menang taruhan. Soalnya ibu kost sudah mulai mengedip dan pacar sudah keranjingan menu makanan spesial dan film bioskop terbaru…”
    ***
    Pukul 14:13, beberapa hari yang lewat, sebelum Magdalena pergi selamanya…
    “Hallo…”
    Tut…tut…telepon diseberang ditutup. Tak ada jawaban.
    “Hallo!” Magdalena melihat ponselnya. Nomor tak dikenal. Dia mencoba menghubungi balik. Tetapi nomor itu tak lagi diaktifkan. Magdalena tak mau menghabiskan waktu cukup lama untuk menerka siapa yang menelepon itu. Maklum, setelah demonstrasi pertama kali di gelar, Magdalena sudah dibanjiri teror via telepon.
    Setelah pulang audiensi pertama itu, tubuh Magdalena sangat lelah. Dia rebahkan kelelahan itu di sofa apotek. Kepalanya sakit dan Magdalena perlu sedikit obat untuk meredakannya. Jam menunjukkan pukul 14: 00. Jam tiga dia harus sampai di rumahnya. Dia sudah kangen pada ibunya. Pelan Magdalena menatap ponselnya, dan tersenyum.
    Hallo, Lena.”
    “Ma, gimana sehat?”
    Mama sehat. Kamu sehat, kan? Kapan pulang? Gimana demonstrasinya?
    “Duh, pertanyaannya banyak banget. Lena sehat, Ma. Mm..cuma kepala sakit dikit. Sekarang lagi beli obat di apotek. Sekarang Lena mau pulang ke rumah. Demonstrasi? Wah, masih kusut, Ma…”
    Ya, udah. Cepet ke rumah. Mama lagi masak sop buat kamu…
    “Papa ada, Ma?”
    Belum pulang, tuh.
    “Ya. Daag, Ma…Lena cinta Mama.”
    Mama juga. Mama kangen…
    Magdalena menutup telepon. Senyum merekah dibibirnya. Di luar jendela bis, tampak matahari merumuskan senja. Magdalena berkeringat. Di dalam bis orang berdesak-desakan. Penuh dan tak ada AC.
    Setengah jam perjalanan naik bis menuju rumah. Magdalena turun di terminal dan ia butuh dua kilometer lagi berjalan kaki melewati kebun jagung dan pesawahan untuk sampai ke halaman rumahnya. Dia malas naik ojek. Jalannya yang dilewatinya jelek, berbatu-batu. Cuaca mendung dan, seperti sore kemarin, sepertinya hari ini akan turun hujan deras lagi. Magdalena harus segera sampai di rumah. Ia terus berjalan melewati jalur sungai yang cukup lebar, dan bila hujan turun hebat, sungai akan meluap seperti air yang luber di dalam gelas. Lalu, seperti menyentak suara petir. Seperti menghentak suara gelas Mama jatuh dilantai. Hujan turun deras dan Magdalena berlari. Ia gentar. Disebuah tikungan jalan setapak inilah, kecelakaan itu terjadi. Magdalena terpeleset di tanah basah. Tubuhnya bergulingan ke gigir sungai. Sebelum akhirnya jatuh di arus sungai, kepalanya membentur akar pohon yang besar. Akhirnya ia hanyut dan hanyut jauh terbawa arus sungai yang meluap, seperti air yang luber di dalam gelas…
    Cipadung, Maret 2007

    0 Responses to “Cerpen: Aktivis itu Mati”

    Post a Comment

    Subscribe