Sunday 19 October 2008

0

Cerpen: Sentimentil, 19 Oktober

  • Sunday 19 October 2008
  • Unknown
  • Share
  • Monolog Patah Hati
    Aku bertemu kamu beberapa tahun yang lalu.
    Ketika daun-daun terlepas, yang tak lama tumbuh lekas.
    Lantas siapa yang mampu menolak jatuh cinta?
    Betapa kenangan yang sulit aku hapuskan.
    Kelak senja menyahut, dan musim-musim saling bertaut.
    Tapi kenapa akhirnya usia cinta kita akhirnya binasa.
    Hari ini, mantan kekasihku menikah dengan kawanku (menghela napas). Ah, itu benar-benar amat buruk dibanding ia menikah dengan kakakku. Coba lihat, kartu undangan pernikahan mereka berwarna hitam, sehitam hatiku saat menerimanya; kenapa tidak berwarna putih, kuning atau biru laut?! (marah). Ini malah hitam, seperti semacam darah kambing yang lama mengendap-menebal dan mengering jadi hitam (geram). Hm, tapi apa artinya sebuah warna? (termangu).

    Aqua, aqua! Aqua, A! Rokok, rokok!
    Ngeng! Tidiit! Grung! Grung! Garut, Garut!
    A, sedekahnya, A…
    Ya, memang tak bagus jika aku menghadiri acara pernikahan mereka. Bukankah sampai saat ini aku masih mencintainya? (mata berkaca-kaca). Atau barangkali aku datang saja, memberi ucapan selamat, mencoba tersenyum, lalu berdiri di atas meja hidangan, dan teriak-teriak baca puisi. Ah, hal itu sepertinya lebih baik ketimbang aku menekan tombol bom di balik jaketku. Tapi sepertinya sangat menyebalkan di saat seperti itu menganggap puisi sebagai perlawanan (tertawa-terpaksa). Hm, apa artinya seribu puisi? (mengerutkan kening).
    Brum! Ngeng! Tid! Tasik, Tasik!
    Drim, drim! Ngeng…ngeng…
    Mau kemana, Mas! Mas?

    Ya, apa sih artinya ribuan puisi! (melempar buku puisi). Begitu banyak puisi telah kulahirkan ketika dulu aku dan dia masih berpacaran. Puisi tentang cinta lah, ketabahan lah, kesetiaan lah, beribu lirik heroik lah, kini kenyataannya puisi-puisi itu tak mampu membuat ia tetap bertahan hadir di sampingku! Tak mampu membuat hatinya tetap lembut memahami keadaanku! (tersedu-sedu). Bah! Apalagi kalau puisi-puisi itu disuruh melawan koruptor, mana bisa! Bagaimana pula ini Goen?! Jawablah, Sapardi?! Tagore?! Bisri?! Menurutmu, Rendra?! Atau pendapatmu, Shakespeare?! Dan kau, Taufik Hidayat?! (hening sejenak: menelan ludah) Ah, sudahlah, jangan terlalu kalian pikirkan. Aku mohon pergilah kalian, aku ingin sendiri (memungut buku puisi). Tapi tunggu, jangan pergi dulu, apakah diantara kalian ada yang tahu kenapa ia memilih pergi dariku dan menikah dengan lelaki lain? (menelan ludah). Atau, lebih berharga mana seribu puisi dengan kesenangan belanja, uang yang banyak dan sepeda motor yang dicuci setiap hari? (mata berkaca-kaca).
    Neng, nong, neng…
    Neng, nong, neng…nengnongnengnongnengneng
    Eskrim, eskrim…
    Brum, brum!
    Mau kemana, Bu?!
    Sumedang.
    Ayo, Bu! Kosong, Bu!
    Berapa?
    Ah, hidup seperti tebak-tebakan, maksudku lebih tepatnya jebak-jebakan (tersenyum sinis). Penuh misteri dengan ribuan lubang tersembunyi. Sekali jatuh di lubang itu, selebihnya sunyi (menghela napas). Ah, tidak! Manusia makhluk harapan, maksudku makhluk yang bermain dengan harapan! Itu sebabnya kenapa mereka memperjuangkan mati-matian banyak hal untuk apa saja, penuh harap cemas, kalau-kalau, jangan-jangan… Selalu bersahutan dengan ragam kemungkinan, membesarkan hati, cita-cita, seandainya, mungkin saja besok, fantasi, khayalan, impian yang sempurna dan sebagainya dan sebagainya (geleng-geleng kepala).

    Klek! Gruung!
    Tidid! Majalaya, Majalaya kosong!
    Ayo, Pak! Ayo, Bu! Ayo, Neng! Ayo, A!
    Kosong! Masih kosong!
    “Wahai, barangkali besok ada keajaiban, ada keberuntungan, jangan putus asa, jangan berhenti!” Atau kita tiba-tiba menjadi berani membuat keputusan apapun dalam bayang-bayang misteri yang seringkali begitu tergesa dimengerti oleh kebahagiaan hari ini saja (garuk-garuk kepala). Maka berucaplah: Aku bahagia hari ini, maka aku memilih jalan ini, memilih begini. “Jalani saja, toh kita sedang berjudi, kalah dan menang sudah menjadai resiko.” Kenapa begitu? Tapi waktu rupanya lebih pandai bicara ketimbang mulut kita! Bukankah hidup selalu memberi kejutan yang menjengkelkan? (Ngupil). Hidup selalu tiba-tiba merubuhkan impian indah, tiba-tiba menikam diri ini dari belakang, menjegal kaki kita yang asyik berlari. Persetan! (Membuang upil).
    “Maaf, saya lihat sudah dua jam kamu di sini. Menunggu bis? Mau kemana? Atau menunggu seseorang?”
    Saya sedang menunggu Izrail…
    “Mas?”
    Kesedihan seringkali mendidik kita meratapi banyak hal, menyesali banyak hal. Betapa ingin aku lepas dari semuanya, tapi apa daya (menghela napas). Tapi… ah, betapa sulit lari dari kenyataan, sebab kenyataan yang pada awalnya adalah musuh di seberang jalan, kini tiba-tiba merasuki tubuhku menjelma bayanganku sendiri, menusuk-nusuk sekujur tubuh, seolah-olah darah dalam tubuhku ini bergerak seperti ribuan jarum; maka semakin cepat aku lari, semakin cepatlah terasa beribu jarum menusuk (meringis). Bukankah disaat seperti itu melarikan diri menjadi sesuatu yang percuma? Tapi, kenapa kenyataan harus dianggap musuh? Bukankah ia hanya cermin jujur yang apa adanya memantulkan bayangan diri? Barangkali tak seperti cinta, yang seringkali menutupi dan menyembunyikan banyak hal (meludah). Sebab di hadapannya seolah-olah kita gagah. Sebab karenanya seolah-olah kita indah. Sebab di dalamnya, seringkali kita melupakan bahwa diri ini manusia yang kalah, yang lelah… yang bisa tiba-tiba mati dengan mudah (terpejam).

    Plung! Plung!
    Tung! Tung!
    Jusss… Juss…
    Ikut duduk, A. Mau ke mana?
    ……………
    Ih… diam.
    Diam. Pejam. Gelap. Lelap. Henti. Mati. Kenapa tidak mempercepat jam kematian? Tapi, kenapa aku harus mati hanya karena perempuan yang lari ke lain hati? Bukankah aku tidak bersalah? Ah, tidak! Ya, dilarang mati demi istri orang lain! (tertawa). Kenapa juga aku ingin membunuh suaminya, dia kan hanya sepotong keju. Kenapa juga aku ingin membunuh mantan kekasihku, toh dia hanya ingin lebih bersenang-senang, ingin lebih lama hidup tergila-gila pada masa depan. Dia pergi dariku karena tak ingin membayangkan hidup sengsara (ehem, untuk tidak menyebut pura-pura mencintaiku), lalu ia menyerangku dengan masa laluku. Dia pergi dan menuduhku telah melakukan hal yang jahat pada yang lain, padahal ia pun telah melakukan hal yang sama. Ia jijik padaku, tetapi kenapa ia tak jijik pada dirinya sendiri? Ah, masa laluku telah ia jadikan alasan untuk melegitimasi ketololannya. Jika ia menganggap masa laluku kotor, kenapa ia menghina sembari melakukan hal yang sama. Benar kata orang, ia memang perempuan bodoh! (geleng-geleng kepala).

    Gruuung!
    Mendung. Mau hujan…
    Kapan hujan ya…
    “Kemarin di sini hujan gak?”
    “Mas?”

    Aduhai, lelaki itu, lelaki yang menggodaku-memberi semangat yang awalnya membesarkan hati, kini malah menjadi suaminya. Aku seperti ribuan tahun berjuang dan berkorban mati-matian menanak nasi, setelah matang ia memakannya sendiri. Apakah dia dari dulu menyukai mantan kekasihku? Tentu saja, aku kalah darinya, dalam banyak hal. Lelaki yang kaya dan seorang sarjana, tapi—tentu saja—Ia diam-diam lebih menyebalkan dariku (tertawa senang). Tapi aku dengannya teman yang baik, tak pernah punya masalah serius, itu sebabnya aku tak sadar bahwa ia telah cukup lama menyimpan bom waktu dipunggungku.

    Wah, sudah mulai ramai ya bendera partai politik.
    Tulalit. Tulalit. Tidid!
    Ha… ha… ha…ha…
    Masa sih? Ada-ada aja.
    Beginilah, aku salah satu orang diantara jutaan manusia yang pernah tertipu cinta, politik dan sebungkus roti. Maka, percayalah, 87 % cinta perempuan memang politis (tertawa). Perempuan butuh lelaki untuk kepentingan pragmatis! Kenapa dia dulu menerima cintaku jika akhirnya akan dicampakkan? Apakah dia sudah tidak punya kepentingan lagi denganku? Atau tidak puas denganku? Apa sih yang membuatnya puas dan bahagia? Atau memang benar, dia pura-pura mencintaiku hanya karena belas kasihan? Bukankah hubungan cinta yang diikat karena belas kasihan seperti menabur sisa nasi untuk ayam yang sakit-sakitan? Oh, Tuhan, malang benar hamba ini! Apa salahku padamu, wahai mantan kekasih? Apa yang kamu cari dari sebuah hubungan, wahai mantan kekasih? Apa yang kamu cari dari cinta, wahai mantan kekasih? Pelajaran atau kesenangan? Ketabahan atau kepuasan? Aku masih belum beres belajar tentang cinta denganmu, tapi kenapa… Kenapa kamu buru-buru menikah, wahai mantan kekasih? Jika kamu kecewa dengan kekuranganku, kenapa tidak dari dulu menolakku? Atau, lebih tepatnya, kenapa tidak melengkapi kekuranganku? Atau lebih-lebih tepatnya, kenapa tidak bersabar memahaminya?! (napas memburu).

    Grung! Kuningan, Kuningan!
    Kuningan, Mas? Mau ke mana?

    Begitulah, betapa mudah memberi harapan yang tinggi pada lelaki (geleng-geleng kepala). Perempuan memang plin-plan, membingungkan (tentu saja bukan over-generalisasi, saya hanya pakai majas Sinekdoke Totum pro parte). Dulu aku sudah berniat untuk mengundurkan diri dari setapak perjalanan mendekatimu, tapi ketika hendak pergi, kau menggodaku untuk kembali, kau memberi harapan. Kau seperti sebuah perangkap, menghisap, menyergap, tapi akhirnya mematikanku dalam sekejap. Kini, kau telah pergi dariku (menghela napas). Barangkali, sejauh ini, yang masih tersisa hanya sebuah adagium filsafat optimisme-keras kepala: “kutunggu jandamu” (tersenyum). Betapa lega, sungguh, betapa lega telah menumpahkan banyak hal yang sejauh ini menyesaki hati, seperti langit hari ini yang tampaknya ingin segera menumpahkan hujan…(tengadah ke langit).
    “Maaf, saya lihat sudah dua jam kamu di sini. Menunggu bis? Mau kemana? Atau menunggu seseorang?”

    Saya sedang menunggu seorang kekasih…
    Ya, menunggu kekasih… entah ia bernama harapan, atau hanya sebait hujan…
    Bandung-Sumedang, 19 Oktober 2008

    0 Responses to “Cerpen: Sentimentil, 19 Oktober”

    Post a Comment

    Subscribe