Wednesday 27 August 2008

0

Cerpen: Balada Lelaki Bermata Pisau

  • Wednesday 27 August 2008
  • Unknown
  • Share

  • Senja, cahayanya merapat pada batu-batu. Ada jejak yang masih hangat sepanjang jalan setapak. Ada dengus napas yang belum hilang sepanjang ilalang. Di samping pohon-pohon, lelaki itu berdiri di atas batu tertinggi. Rantai masa lalu di kaki kirinya berderak mengeluarkan suara yang pahit. Ia bicara pada angin, pada dedaun kering yang jatuh. Hanya inilah kebahagiaan sementara, selain suara kepak kupu-kupu yang melahirkan banyak sajak di kamarnya yang sempit, kamar pengap tempatnya berlindung dari dunia yang tak pernah selesai mengintai.
    Di atas batu itu, dia mencatat rasa marah pada kertas-kertas yang kemudian akan dibiarkan terbang oleh angin, dan dihanyutkan oleh sungai yang mengalir panjang. Dia ceritakan segala hal tentang dirinya pada setiap luka yang tiba-tiba menganga dalm lubuk jiwanya sendiri. Apa lagi senjata baginya hari ini untuk mempertahankan harga diri?
    “Ini kali pisau yang paling kupercaya adalah kebencian. Aku akan menusuk semua orang yang terlanjur mengenalku, ketika mereka membusungkan dada di hadapanku, ketika mereka datang mengejekku, ketika mereka berjalan membelakangiku, atau ketika mereka tengah tertidur pulas di hadapanku. Apa peduliku mereka lengah. Apa peduliku menikam mereka dari belakang. Apa peduliku mereka saudaraku sendiri. Mereka telah menghancurkan harapanku, menyesakkan napasku, membuat panas darahku. Bagiku, darah mereka halal.”
    Dia lahirkan sehitam geram yang lama terpendam. Atau semacam dosa yang tak henti ia sesali seakan-akan kekalahan itu semakin lengkap. Kekalahan yang ia akui sekaligus ia sanggah dengan beribu rasa marah dan kebencian.
    “Lihatlah, pisau kebencian bagi semua orang yang terlanjur mengenalku. Benar, semua orang, kecuali ibuku. Betapa tak berdaya kugoreskan kebencian sedikitpun pada ibuku, karena dia adalah napas dan darahku sendiri. Dia tak berdosa. Dia dan ayah hanyalah sepasang kekasih yang dipaksa untuk melahirkan anak-anak lemah bernama misteri dan ketidakbebasan.
    Bertahun-tahun lamanya hidup telah menjebakku dengan cantik dalam kejahatan membohongi diri sendiri, menipu diri sendiri. Tapi ternyata dunia telah begitu cepat membalasku dengan ribuan kesedihan, kekalahan, rasa bersalah dan kebingungan yang sewaktu-waktu siap meledak dalam kepalaku…”
    Air matanya pun menjelma puisi, dan ketika tanah tak menerima tetesannya, maka ia pun mengeras tajam. Dari sanalah air matanya meruncing menjadi sebilah pisau. Dia bawa pisau itu sepanjang jalan yang gelap, hingga sampai di depan pintu rumahnya, dan dengan marah yang membuncah, ia sergap semua bahasa dan suara, dicabik-cabiknya hingga tak sampai menjelma kata-kata. Lahirlah kebisuan yang keras kepala.
    Di dalam kamarnya, dia basuh rasa lelah perjalanan dengan resah dan amarah. Malam tak kunjung berani menyapanya. Begitu pula ayah dan ibunya yang hanya mampu mengurai air mata melihat anaknya kembali memulai kebencian dan kebisuan yang penuh marah.
    Mereka perlahan akan menghampirinya, dan menyapanya dengan air mata. Tapi apalah daya untuk mencairkan kesedihan yang makin beku, hanya jika setiap jemari dan kata mencoba menyentuhnya, ia selalu mudah tersinggung, lalu meledak di atap-atap kamar, melahirkan kebencian yang makin besar. Setiap orang akan tahu, jika hal itu terjadi, ia akan pergi menembus malam yang terkelam.
    “Kebencian hanya akan membunuh dirimu sendiri, Anakku. Tidakkah kau merindukan mereka sebagai sahabat masa lalumu yang setia mengajakmu bermain di atap langit yang damai? Tidakkah mereka adalah orang-orang yang mengenalmu dan akan memberitahumu banyak hal tentang kehidupan? Tidakkah mereka adalah saudara-saudaramu yang selalu memahamimu dengan cinta?” ucap ibunya dengan air mata berderai.
    “Dusta! Mereka adalah musuh-musuhku! Mereka hanya serigala yang perlahan ingin menerkamku seperti sekerat daging mentah!”
    “Bertahun-tahun mereka bersamamu, tapi lihatlah, mereka tak sedikitpun menerkammu. Masa lalu juga adalah sahabatmu. Adalah cahaya.”
    “Sahabat? Cahaya? Orang-orang membawa masa lalu, dan taring runcing mereka menyamar menjadi rasa bersalahku, rasa malu! Mereka menjadi rasa rendah diriku, menjelma kekalahanku! Sudah bertahun-tahun mereka diam-diam menggerogotiku dengan taring masa lalu yang sudah berkarat! Perih! Mereka tak membantuku untuk merdeka dari kubangan masa lalu. Mereka menganggapku benalu. Mereka menganggapku beban. Mereka menganggapku sampah yang menutup lubang-lubang doa. Mereka menganggapku bangkai!”
    Lelaki itu mendengus, dan tak lama kemudian berlari menembus dinding malam. Suara rantai terdengar menggetarkan senyap pepohonan. Ia berlari sepanjang jalan setapak dan ilalang. Ibunya menjerit-jerit histeris. Kesedihannya pecah berantakan. Sang Ayah menatap isterinya iba. Orang-orang berdatangan.
    “Dia telah memulai kebencian lagi. Dia ingin pergi dari sini. Tapi kalian lihatlah, rantai masa lalu masih membelenggu kaki kirinya. Dia tak akan pergi jauh. Aku tahu dia hanya bisa pergi sampai batu besar itu…”
    Orang-orang mafhum dan tersenyum, tetapi tidakkah mereka mendengar betapa pedih sang ibu mengeluarkan banyak jeritan dan air mata. Ia meronta-ronta memanggil anaknya. Bukankah cinta yang paling ambisius di dunia ini adalah cinta ibu pada anaknya? Ia terus menjerit, hingga sang ayah dan orang-orang terpaksa harus membawa sang ibu pada anaknya, seperti ingin mempertemukan sepasang kekasih. Lalu malam perlahan kelam. Angin bertiup kencang. Langit di atasnya selalu menyimpan rahasia. Seperti halnya rahasia pada mata ibu, rahasia yang lembut, selembut doa-doa yang bercahaya di sepasang bibirnya.
    “Bawa aku pada anakku. Cintaku pada anak itu lebih besar daripada cintanya pada dirinya sendiri…”
    Maka berangkatlah semua orang menuju batu tertinggi. Orang-orang mulai banyak menghimpun di sekitar batu besar itu. Lelaki di atas batu mengeluarkan banyak kata-kata dengan mata terpejam, seperti tengah menyusun mantra. Apa yang hendak dia lakukan ketika baginya doa-doa tak lagi bisa menolong? Apa yang hendak dia lakukan ketika dunia begitu kejam mengukumnya dengan setumpuk nyeri misteri?
    “Redalah, anakku, heninglah, demi cintamu pada kami. Berdamailah dengan kami. Merapatlah dengan kami. Kau tak pernah sendirian, kami selalu mencintaimu. Tidakkah kau melihat ibumu sudah demikian tak berdaya menerima kesedihan tentangmu.” Bujuk sang ayah dengan suara bergetar.
    Lelaki di atas batu meruncingkan tatapannya. Tajam merobek malam. Ia gerakkan kaki kirinya, terdengarlah suara rantai seperti sebuah tangisan yang panjang. Ia menatap ibunya yang terkulai lemas di pangkuan ayah. Baginya, malam itu ia kerahkan diri untuk sebuah peperangan dengan semua orang, kecuali ibunya.
    “Kemarilah ibu, bangkitlah, bersembunyilah di belakang punggungku yang kecil ini, aku telah menantang musuh-musuhku untuk 1000 tahun yang akan datang. Sebab mereka telah begitu lancang membuka pintu-pintu dendam dalam dadaku.”
    “Aku tak bisa hidup tanpa kau, seperti halnya aku tak bisa bahagia bersama orang-orang yang juga mencintaimu. Jika terus begini, kau malah menyakiti ibumu ini. Kembalilah, dan pulanglah. Rumah adalah kedamaian kita.” ratap ibunya. Mendengar itu, mata lelaki di atas batu mengalirkan banyak air mata. Ia terisak menahan kesedihan. Betapa ingin ia melepas belenggu masa lalu di kakinya, dan merangkul ibunya. Harapan terbesarnya adalah pergi ke tempat terjauh, memulai hidup baru dengan ibunya tanpa luka-luka masa lalu.
    “Kenapa ibu berpihak pada musuh-musuhku?”
    “Mereka bukan musuh-musuhmu. Mereka adalah saudara-saudaramu. Mereka juga selalu berdoa untuk melepas rantai di kakimu…” ucap sang ibu.
    “Mereka bohong, Bu. Mereka menipu kita…”
    “Tidak, anakku. Percayalah pada kebersamaan ini. Marilah pulang. Ibu akan membuktikan padamu bahwa dalam kebersamaan tak ada kebencian. Jika kau mau berjuang membunuh kebencian itu, betapa bahagianya aku…”
    Lelaki yang bergetar di atas batu perlahan turun, dan menghampiri ibunya. Ia merangkulnya. Semua orang yang menyaksikannya serentak bersuka-cita. Sang ayah merangkul keduanya, lalu membimbingnya pulang. Suara rantai yang bergerak di sepanjang jalan setapak terdengar pahit ditingkahi derap langkah orang-orang. Tapi benarkah ini akhir yang akan menutup pintu kesedihan?
    Malam, cahaya bulan merapat pada batu-batu. Ada jejak perlahan dingin tertiup kepak burung gagak. Ada dengus terakhir yang akan hilang sebelum menjelang siang. Tepat tengah malam, lelaki itu menggantung diri dengan tali tambang di kamarnya. Putuslah rantai masa lalu. Tak ada orang yang bisa hidup bahagia dengan dada yang penuh kebencian. Kematian telah melipatnya dalam ucapan selamat tinggal yang kekal. Ruh itu mendengar semua orang membicarakan dirinya dengan penuh hinaan. Ruh itu mendengar tangis ibunya menggema memenuhi langit…
    Sumedang, 2008

    0 Responses to “Cerpen: Balada Lelaki Bermata Pisau”

    Post a Comment

    Subscribe