Wednesday 27 August 2008

0

Cerpen: Catatan Dendam

  • Wednesday 27 August 2008
  • Unknown
  • Share

  • Di sana, di pojok sebuah taman, si Pak Tua menulis di buku hariannya, tentang kesedihan cinta, juga tentang dendam:
    Aku menerima cukup kesedihan sepanjang hidupku. Di masa kecilku, kesedihan yang paling menyakitkan terjadi setiapkali aku berada di kolam renang. Di usia remajaku, kesedihan yang sangat memalukan muncul setiapkali aku pulang sekolah. Di masa aku tumbuh dewasa, kesedihan itu terasa tajam ketika seseorang yang sangat kucintai meludahi wajahku. Dan kini, di usiaku yang tua, kesedihan itu setiap hari berputar-putar di depan mataku, dan menusuk-nusuk dalam dadaku. Hidup ini penuh kekecewaan…
    Pak Tua menghentikan tangannya sejenak. Ia menatap langit, lalu menghela napas dengan gemetar. Rambutnya yang mulai sedikit memutih dan garis-garis tua dan rasa takut di wajahnya, seolah-olah telah melipat menyembunyikan separuh ingatannya tentang masa lalu. Perlahan tangannya kembali bergerak:
    Ketika sekolah dulu, aku selalu kalah dalam ujian berenang. Ketika teman-teman lelaki yang lain mendapat tepuk tangan, aku hanya menjadi bahan tertawaan banyak teman-teman perempuan, termasuk Kirana. Ya, Kirana Amna, teman perempuanku yang cantik. Sudah lama aku suka padanya. Tapi kejadian di kolam renang itu membuatku sangat malu di hadapanya. Sepulang berenang, aku perlahan memberanikan diri mendekatinya, dan bilang meski aku tak bisa berenang, tapi aku pandai menggambar. Ah, Kirana sedikit pun tak tertarik. Ia lebih suka berjalan dengan yang lainnya, mengobrol tentang liburan akhir pekan dan boneka baru berwarna pink, tanpa sedikitpun mau memandangku. Aku sangat tersinggung…
    Tangan Pak Tua gemetar setiapkali teringat masa kecilnya. Ia merasakan kembali kesepian itu, saat ia duduk sendirian di pojok kolam renang, dengan tubuh menggigil, menatap diam-diam wajah Kirana sebelum akhirnya ditinggalkan banyak teman-temannya, karena tak pernah becus berenang. Mata Pak Tua mulai berkaca-kaca, justru saat ia tiba-tiba mengingat lagi banyak hal, dan menuliskannya:
    Aku memaksa orang tuaku untuk memasukkanku di sekolah menengah tempat Kirana bersekolah. Melihatku satu kelas dengannya, tak sedikitpun ia menampakkan rasa gembira, juga rasa sedih. Tak pernah ia tersenyum padaku, apalagi menyapaku. Segalanya terasa tawar. Masa remajaku, sungguh sepi, tak ada teman. Setiap kali pulang sekolah, aku sering di minta uang oleh kakak kelas, dan dipukuli. Mereka mendorongku, menyuruhku membuka baju dan merangkak. Mereka tertawa-tawa, menumbuhkan rasa dendam di dadaku. Tapi kenapa peristiwa itu harus terjadi di hadapan Kirana?
    Berulangkali kudekati Kirana, berulangkali ia menjauh. Berulangkali dengan gemetar kuucapkan perasaan cintaku padanya, berulangkali ia makin menjauh. Tak apalah, barangkali cinta butuh sikap keras kepala. Tapi aku tak tahu apa yang aku rasakan ketika suatu ketika Kirana meludahiku karena kesal yang tak aku pahami. Dalam dadaku saat itu, perasaan cinta, malu, marah dan sakit hati hanya terhalang sehelai kendali yang sangat tipis, dan akhirnya berbaur jadi satu. Kenapa cinta selalu menuntut kesempurnaan dan keberanian? Kenapa ia juga selalu menuntut kesabaran dan kebijaksanaan? Tapi kenapa di lain waktu, ia seringkali menuntut banyak hal tentang kekuasaan dan kemewahan?
    Pak Tua terhenyak, ia buka dompetnya, muram menatap photo lusuh wajah Kirana yang pernah ia curi bertahun-tahun yang lalu. Ia perlahan menutupnya, dan mulai menulis kembali:
    Selesai sekolah menengah, aku terpisah dengan Kirana. Keluarganya pindah ke Jakarta. Tapi, entahlah, jarak ini membuat cintaku jadi semakin kuat padanya. Beberapa tahun kemudian, aku memberanikan diri datang ke kotanya, dan berhari-hari aku mencari kabar dan alamatnya. Aku tak mengerti kenapa Kirana menyukai kota besar seperti ini. Kota yang bising dan panas. Tapi entahlah, kekuatan apa yang merasuki tubuhku, hingga masih kuat menahan lapar dan siksa cuaca. Jika setiapkali malam datang, aku tidur di mesjid-mesjid. Telah ribuan doa yang sama kupanjatkan pada Tuhan, doa harapan dapat pekerjaan di kota besar ini, dan harapan terbesar bertemu Kirana…
    Pak Tua terbatuk-batuk. Matanya berlinang air mata. Angin bertiup terasa dingin. Perlahan ia kenakan mantelnya, dan mulai menulis lagi:
    Satu dua pekerjaan sempat aku jalani, tapi ingatan tentang Kirana terus menghantuiku. Setahun kemudian, aku diajak seseorang untuk bekerja menjadi pengurus taman dan pelayan di rumah orang kaya. Ah, Tuan majikan yang sombong dan kasar, Nyonya majikan yang tiba-tiba hadir menyulut kekagumanku sekaligus kemarahan, juga dua pembantu yang menyebalkan. Hidup seringkali mengejutkan, kadang membesarkan hati, kadang pula perlahan menghancurkan hati. Kenapa Tuhan mengirim aku ke tempat yang…tak tepat?!
    Di rumah itu, sesekali aku dapat memanjakan harapanku, bisa bertahan hidup, bisa makan sehari-hari, dan mendapat upah yang cukup dari Tuan yang kaya itu. Tapi, kedua majikanku kerapkali merendahkan dan mengecewakanku dengan keseharian dan kenyataan mereka. Hingga terasa sepi di hatiku, juga terasa menyakitkan. Usiaku saat itu 28 tahun, usia yang masih kuat melakukan pekerjaan-pekerjaan berat, tapi kenapa teramat lemah menahan emosi dan gejolak perasaan?
    ***
    Malam makin menyembunyikan warna langit. Pak Tua perlahan berdiri, berjalan gemetar di halaman belakang rumah yang temaram. Lampu taman di salah satu sudut tampak pecah, hingga membuat gelap separuh taman, membuat gelap separuh wajahnya. Ia sentuh bunga-bunga taman dengan perasaan yang dingin. Ia menghela napas berat, perlahan menatap sekeliling. Rumah megah ini terasa semakin sepi. Pak Tua kembali duduk di bangku taman, dan menulis:
    Ketika usiaku mulai tua kini, segalanya tak berubah, tak terkecuali kesedihan. Aku masih bekerja di rumah ini, merawat bunga-bunga, mencuci mobil, dan menjaga pintu rumah semalaman. Selama 30 tahun itu, aku telah bekerja keras untuk bersabar dan menahan diri, tapi dendam terlanjur menumpuk. Siapa suruh begitu lancang melengkapi dendamku. Bertahun-tahun aku berikan kepatuhanku pada pasangan suami isteri itu, dengan cukup alasan tersembunyi tentang harapan dan perasaan. Apakah cinta juga mesti menuntut kepatuhan? Ah, mereka lebih memperlihatkan padaku sebuah kemesraan mereka daripada kata-kata yang menyenangkanku…
    Pak Tua berdiri dan mengela napas panjang. Terasa sesak penuh kesedihan dan kehampaan. Tak lama kemudian ia masuki pintu belakang rumah dan melangkah menuju dapur. Di sana ia melihat dua tubuh pembantu terpotong-potong bersimbah darah. Kemudian ia masuk ke ruang tamu, dan menaiki tangga menuju kamar majikan. Perlahan ia buka pintu kamar. Tampak Nyonya majikannya terbaring di atas tempat tidur. Tubuhnya berlumuran darah. Di lantai di bawah tempat tidur, tubuh Tuan majikannya berserakan terpisah-pisah. Si Pak Tua terbakar gentar. Menjelang sore tadi, ia telah membunuh mereka, juga dua pembantunya.
    Perlahan ia baringkan tubuhnya di samping mayat Nyonya majikannya. Dengan gemetar, ia sentuh wajah perempuan itu. Wajah yang mulai tua, tapi tak jua menghapus kecantikan mudanya. Pak Tua tersenyum melihatnya, dan perlahan mencium keningnya yang dingin. Perlahan ia ambil pisau di balik punggungnya. Dengan mata terpejam, ia tusukkan mata pisau itu dengan keras di dadanya sendiri. Darah mengucur dari lubang di dadanya. Ia perlahan terkulai, menatap redup wajah Nyonya majikannya.
    “Kenapa dari dulu kau tak pernah mau meminta maaf padaku? Kenapa dari dulu kau tak pernah mau mencintaiku, Kirana?” mulut Pak Tua mendesis parau. Di atas tempat tidur, ia genggam erat tangan Nyonya majikannya, tiga detik sebelum kematian akhirnya merenggut juga nyawanya.
    “Marman? Teman sekoalahku dulu? Oh, ya aku ingat, yang tak bisa berenang itu kan? Oh, yang merangkak tak pakai baju kan? Ha…ha… Sudah siap bekerja di sini? Sudah menikah belum? Lho kok belum menikah, kasihan banget. Kapan mau menikah?”***
    Sumedang, 2008

    0 Responses to “Cerpen: Catatan Dendam”

    Post a Comment

    Subscribe