Sunday 20 April 2008

0

Dari Minoritas Sampai Ironi Religiusitas

  • Sunday 20 April 2008
  • Unknown
  • Share
  • “Agama memiliki sembilan nyawa…” demikian Goenawan Muhammad bicara. Ia tak pernah mati-mati meskipun manusia—atau apapun namanya—menusuknya berulangkali. Bahkan nun di belahan dunia lain konon para sosiolog seperti Peter Berger, Jose Cassanova, dan Rodney Stark percaya bahwa dunia kita bukannya sedang mendekati kepada satu titik yang sekular, tapi justru kepada titik di mana agama-agama menjalani kebangkitannya…

    Betapa takjub saya menulisnya kembali, di sebuah taman yang lurus menghadap mesjid besar, sembari saya melihat orang-orang berbondong-bondong dan memenuhi mesjid. Ketika saya sempatkan diri masuk lebih dalam, saya dengar suara orang-orang ramai melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, dan setelah itu bicara tentang pribadi yang takzim pada agamanya yang besar; seperti juga yang kerap saya dengar dari ceramah dalam acara-acara keagamaan. Lalu di tempat lain, saya juga temukan ormas-ormas Islam, partai-partai Islam, komunitas-komunitas Islam, dan lainnya. Ternyata dimanapun orang masih menyimpan ingatan tentang agamanya dalam pelbagai bentuk. Ternyata denyut nadi “agama” masih hidup ditengah arus dunia yang sebenarnya mencemaskan iman. Toh disini keberagamaan umat tetap seksi, riuh dan terkadang hadir berlebihan dalam banyak ragam. Tapi rutinitas keberagamaan acapkali jadi lingkaran yang membuat saya tak bisa menemukan tikungan Islam yang sebenarnya. Banyak umat sudah kehilangan nikmat iman dan mereka melarikan kenyataan itu pada kemewahan mengekspresikan agama. Kita telah begitu jauh mempercantik iman dengan dunia. Harga mahal untuk merayakan ekspresi keberagamaan. Atau muncullah sebuah kecintaan yang berlebih pada agama sendiri: inilah agama yang paling suci, maka sayapun suci. Saya khawatir kecintaan pada diri sendiri dan apapun yang saya miliki menjadikan saya merasa selalu benar. Karena agama saya paling benar. Karena saya bagian dari umat terpilih yang mesti menjalankan amar ma’ruf nahyi munkar, bahkan dengan kekerasan, kemarahan dan ketololan sekalipun…


    Bahwa kemudian bisa dimengerti, tak mesti orang yang beragama secara otomatis benar dan baik. Karena pada dasarnya, beragama juga proses, seperti halnya orang yang mengaku tidak beragama dan berusaha merumuskan ajaran moral sendiri, tetapi di saat yang sama keduanya memang tidak dengan serta merta lengkap melunasinya. Selalu ada hal yang membuat orang khianat dari konsepsi moral, harmonitas dan konsistensi iman. Sebab manusia memiliki dua karakter negatif yang dapat membahayakan; yaitu ifsad fil-ardl (berkecenderungan membuat kerusakan di muka bumi) dan safk al-dima’ (potensi konflik antarsesama manusia). Qaaluu ataj ‘alu fitha man yufsidu fiiha wa yasfikud-dima’? Tak heran jika Quran menggambarkan protes malaikat seperti itu akan rencana penciptaan manusia. Dan kita tahu, semua orang dapat kalah oleh kedua potensi destruktif diatas. Disitulah manusia selalu ada dalam keadaan perang dengan bayangannya sendiri. Jika dua potensi yang telah disebutkan tadi lebih unggul menguasai lebih banyak bagian diri kita, saat itulah manusia berada dalam keadaan kalah oleh dirinya sendiri. Terlepas apakah dia beragama ataupun tidak. Karena intinya, beragama dan tidak beragama adalah proses kerja keras untuk menafsir, memahami dan melaksanakan apa yang mereka imani. Jika saya mengatakan orang tak beragama celaka dengan pilihannya untuk tak-beragama, maka pantas juga saya mempertanyakan apakah umat muslimin dapat celaka karena keliru menjalankan dan mengekspresikan agamanya? Atau justeru sebaliknya, orang yang mengaku atheis bisa lebih manusiawi daripada orang yang mengaku beragama?

    Mayoritas Memangkas Minoritas

    Memilih berdiri dibawah kibaran agama, dosa tidak lebih popular ketimbang pahala. Agama dianggap jaminan mutlak-kesucian bagi perilaku penganutnya. Wilayah sakralisasi kuasa dalam eksklusifitas keberagamaan kita dapat dengan tiba-tiba membuat segala hal mejadi halal dalam sentuhan tangan kita—seperti halnya Midas yang menyentuh apapun menjadi emas. Termasuk ketika darah saudara sendiri menjadi halal karena perbedaan iman dan pendapat dalam menafsirkan kitab suci. Dalam satu agama saja, perpecahan bisa terjadi. Muncullah kelompok yang selalu mengatakan di luar dirinya adalah kafir—di luar mazhabnya, di luar pendapat teologisnya, di luar agamanya. Islam jadi tampak begitu angkuh dan serakah. Egoisme pengetahuan kelompok dihunuskan dengan perangkat kekuasaan. Barangkali Faucoult telah bicara tentang power and knowledge. Dan kita kelak mafhum bahwa sebagian umat berada dalam sebuah labirin lokus politik yang berambisi untuk semacam ketakjuban sebuah harapan ad-dien wad-daulah, misalnya. Tapi gentarkah kita jika agama yang begitu lamat terdengar dari lubuk hati tiba-tiba harus bermetamorfosis menjadi raksasa yang bernama kekuasaan, menggerakan iman, dan menggerus iman yang lain dalam mekanika ideologis yang mengerikan. Drama kepongahan mayoritas-arus utama terhadap minoritas-pinggiran tak dapat dielakkan. Fatwa dijadikan kendaraan untuk melabrak-ratakan keyakinan-keyakinan minor yang tak memiliki power. Kaum minoritas agama lain, kaum minoritas yang punya pendapat lain dalam tubuh agama yang sama, berulangkali akan menjadi korban. Darah dan amarah bisa menjadi sah dalam pertarungan iman. Sesama saudara saling cakar merebut benar, demikian kutipan puisi Bisri menggambarkan kegilaan itu. Al-insan asykala ‘alaihil insan, keluh Abu Hayyan At-tauhidi; tak segan manusia memangsa yang lainnya hanya karena ingin paling benar. Klaim kebenaran agama (truth claim) secara berlebihan yang diteriakkan pemeluk agama harus ditempatkan sebagai penyebab utama dan jadi titik awal kajian tentang praktik pengingkaran manusia atas kesucian agama, setidaknya itulah yang diungkapkan Charles Kimball.

    Pemutlakan kebenaran dalam kunyah harfiah-literalis ketika memahami teks-teks kitab suci membuka celah bagi penyalahgunaan atasnya. Literalisme menghadirkan tafsir-tunggal yang memonopoli kebenaran dan kelak jadi sarana justifikasi teologis bagi praktik pengafiran (takfir) serta penyingkiran siapa pun yang memiliki tafsir keagamaan yang berbeda. Sikap dan pemahaman keagamaan yang ekslusif, skripturalis dalam penafsiran teks-teks kitab suci, telah melahirkan anak-anak iman yang fanatik, dogmatik, dan intoleran dalam menyikapi perbedaan, kenyataan dunia dan hubungan antaragama serta ideologi dalam skala global.

    Berulangkali kitab suci dibuka dengan dada yang bergemuruh. Ayat-ayat dibuatnya menyala. Ayat-ayat diseret-seret, diteriak-teriakkan, dikerdilkan tak berkembang, dibekukan tak cair. Dalam hal ini, menarik apa yang pernah diucapkan Sayyidina Ali, bahwa kitalah, sang pembaca, yang membunyikan kitab suci. Kitalah yang bersuara, bukan kitab suci. Ayat-ayat pun bisa ditajamkan, seperti pedang, seperti makian. Sehingga—meminjam ungkapan Caknun—yang kita jadikan pedoman kebenaran hanyalah kemauan kita sendiri, nafsu kita sendiri, kepentingan kita sendiri. Akibatnya, perselisihan luar-dalam ditumbuhkan dengan dalih perbedaan. Sementara di pihak lain, upaya untuk menggelar dialog antar-agama berulang-ulang dilakukan. Suara-suaranya berat bergema di ruang-ruang diskusi, seminar, dan di ruang yang megah. Namun umat yang bergumul dibawahnya nyaris tak melakukan hal yang sama. Akibatnya, terjadilah fenomena paradoksal, di mana pada satu sisi para elite agama berdialog dengan ongkos yang mahal, namun pada sisi yang lain kekerasan antar-agama terus terjadi pada level grass root. Semakin membara.

    Agama, kekerasan, Tuhan, ketakutan, berbaur menjadi satu. Umat yang kuat angkuh dengan tafsirnya. Di pihak lain, kaum minoritas ditebas-tebas batas imannya. Padahal penghormatan dan penghargaan terhadap keyakinan agama lain dengan serta merta adalah penghormatan dan penghargaan terhadap umat yang berbeda pendapat dalam agama sendiri. Bahkan, there will be no peace for our world unless there is peace among the religion, demikian Hans Kung berkata, tidak ada kedamaian dalam dunia tanpa kedamaian di antara agama-agama…

    Berani Mewartakan Ironi

    Orang beragama sekalipun punya potensi untuk melakuakan hal yang negatif. Tentu saja bukan karena ajaran agamanya jelek, tetapi karena manusia gagal memahami substansi dan mengerjakan ajaran agamanya. Sayakunu ba’di min ummati qaumun yaqra’unal Qur’an, laa yujawwizu halaaqii-mahum, hum syarrul khalq wal khaliiqah, demikian Sang Nabi meramalkan. Begitulah, hari ini terbukti tak sedikit orang sudah banyak membaca Qur’an ataupun mengerjakan ibadah-ibadah ritual agamanya, namun tidak mendapatkan substansinya. Pada titik inilah kita menemukan apa yang dinamakan ironi religiusitas. Orang bisa melakukan “kebodohan-moral” dengan agama. Orang bisa penuh dengki, kebencian dan melakukan kekerasan atas nama agama. Orang bisa lebih sekuler karena berlebihan mengekspresikan agamanya. Orang bisa lebih sombong ketimbang athesime ketika ia merasa bahwa agamanya paling suci dan penganut agama lain salah kaprah. Orang bisa jadi penindas atas nama agama, dan seterusnya…

    Setumpuk ironi itulah yang coba direkam oleh kegelisahan Ibn Ghifarie dalam kumpulan catatan hariannya ini. Kegelisahan yang ingin mengatakan pada kita bahwa refleksi kritis terhadap sikap keberagamaan kita mesti selalu berdenyut hidup, terus memberi kritik pada agama dalam kapasitasnya sebagai doktrin yang berada dalam sejarah dan menyejarah. Tak henti mengupas doktrin-doktrin keagamaan secara kritis agar agama tidak lagi dipahami sebagai dokumen teologis belaka. Tetapi menyangkut juga kompleksitas problem kemanusiaan, kesadaran mengamalkan dengan baik dan adil setiap makna-makna ibadah dan religiusitas kita di tengah-tengah umat. Hingga kelak mafhum bahwa hakikat ibadah (beragama) bukanlah terletak pada seberapa banyak aktivitas ritual keagamaan yang bersifat seremonial; tetapi seberapa mantap kita membangun harmonitas hidup. Setelah itu, tak ada lagi politisasi agama, manipulasi agama, komersialisasi agama, fanatisme agama, radikalisme agama, sakralisasi kekerasan karena perbedaan keyakinan menafsir kitab suci, kepentingan politik, ekonomi, dan lainnya. Hingga kita paham juga bahwa Tuhan tak memerlukan kemewahan ekspresi beragama hambanya. Maka seseorang yang telah menjalankan aktivitas keagamaan tetapi belum menemukan harmonitas hidup berarti ia masih belum sampai pada esensi ibadah.

    Untuk memunculkan kesadaran kritis akan keberagamaan dalam rangka menuju cita-cita harmonitas hidup, barangkali kita sedikit belajar dan diskusi bareng dengan Ibn Ghifarie dalam catatan hariannya kali ini. Setidaknya ia salah seorang—dari banyak penulis—yang berani mengajukan kritik dan mewartakan kabar tentang pelbagai ironi keagamaan. Dikemas dalam bentuk tulisan esei dan feature, kegelisahan Ibn Ghifarie bicara dari mulai ormas radikal berwatak barbar, iman minoritas, pudarnya pesan dan hikmah ritualitas keberagamaan dalam keseharian, sampai menyindir setiap ironi-ironi tingkah laku keberagamaan kita. Kumpulan catatan harian seperti ini tiba-tiba mengingatkan saya pada anak-anak muda yang berani kritis lewat catatan-catatan hariannya. Ingatan saya sampai pada catatan harian seorang Ahmad Wahib (AW). Hampir sama dengan Soe Hok Gie adik dari Soe Hok Djin (Arief Budiman) yang membuat catatan harian mengenai pemikiran kritisnya. Mereka adalah anak-anak muda yang kritis dan berani berpikir diluar mainstream ideologi yang telah eksis pada zamannya. Keberanian mereka untuk kritis telah menginspirasi kaum muda saat itu dan sekarang

    Bagitupun tulisan-tulisan yang kritis dan tajam buah tangan Ibn Ghifarie ini perlu kita baca menjadi semacam diskusi yang lebih dalam. Karena fenomena-fenomena yang direkam dalam catatan harian ini ada kemungkinan akan tumbuh terus dalam ragam bentuk, dan menjadi tanggung jawab kita untuk senantiasa mengamati, meneliti, memahami dan tak henti mengajukan kritik terhadapnya. Hingga kemudian agama tak lagi dijadikan sebagai alat untuk menghalalkan segala cara, tetapi kehadirannya tidak lain untuk mengikis sikap arogansi manusia yang cenderung berbuat kerusakan, memicu konflik antarsesama dan bersikap negatif. Hingga kemudian, semua pribadatan dalam Islam dapat diproyeksikan untuk menjaga harmonitas sesama manusia, dan pemeluknya agar tetap dalam koridor sifat kemanusiaan (humanisme) yang harmonis.

    Walhasil, tradisi berpikir kritis seperti Ibn Ghfarie ini mesti kita lestarikan. Hingga kesewenangan-wenangan dan tingkah tak terpuji dalam beragama dapat perlahan teraba dan kelak—mudah-mudahan—terkikis. Tanpa kesadaran kritis seperti ini, kita akan tetap berada dalam lembah kegelapan dalam beragama. Kalau boleh meminjam ungkapan Emha Ainun Nadjib, kita ini terlalu lama hidup dalam kegelapan, sehingga kita tidak mengerti bagaimana melayani cahaya, sehingga kita tidak becus mengurusi bagaimana cahaya terang…Bahkan, kita tak becus membedakan mana nasi dan tinja. Maka kinilah saatnya kita mafhum bahwa tak ada kesadaran akan noda dan kegelapan (dzulumat) dalam sikap keberagamaan kita tanpa terbuka sedikitpun pada kritik. Mudah-mudahan, catatan-catatan kecil ini menjadi semacam interupsi dan maklumat dari “sang lalat” yang senantiasa mengganggu lelapnya waktu “tidur” kita dan tak henti mengajukan kritik pada gelapnya lubang borok kesadaran kita. Ya, mudah-mudahan… []

    Ciromed, 19 April 2008

    0 Responses to “Dari Minoritas Sampai Ironi Religiusitas”

    Post a Comment

    Subscribe