Saturday 19 April 2008

0

Cerpen: Perempuan Berkaca Mata

  • Saturday 19 April 2008
  • Unknown
  • Share
  • Pernahkah kau mengalami bertemu dengan orang asing di sebuah jalan, dan setelah itu berulangkali kau bertemu dengannya di banyak tempat yang berbeda. Percayalah, jika ia punya usia yang bergairah, jika ia lawan jenismu, maka ia adalah kekasihmu, ia adalah kekasihmu…
    1
    Saya tiba-tiba jatuh hati pada perempuan berkaca mata. Namanya Nirmaniata. Saya mengenalnya ketika kebetulan saya berjalan satu arah dengannya di sepanjang jalan Braga. Ia perempuan sangat pendiam hingga saya bekerja keras bersikap lebih santun hanya sekedar ingin menanyakan siapa namanya, dimana alamatnya dan apa novel kesukaannya.
    Saya senang Nirmaniata juga mengunjungi pameran buku landmark. Tapi kami akhirnya berpisah karena Nirmaniata ingin mencari buku sejarah dan saya membutuhkan lebih banyak novel. Saya berkeliling sendirian dan berharap cuaca tak terlalu panas karena saya ingin segera pulang setelah membeli beberapa buku novel yang saya butuhkan.
    Saya tak menduga jika akhirnya saya melihat Nirmaniata lagi di sebuah stand buku yang sama. Ia terlalu sibuk melihat-lihat buku dan saya sibuk menghimpun keberanian untuk sekedar menyapanya. Nirmaniata melihat-lihat beberapa judul novel.
    “Kau juga menyukai novel?” saya tanya ia tiba-tiba. Nirmaniata tampak terkejut.
    “Kau sengaja mengikutiku?” ia balik bertanya dengan curiga yang berlebih.
    “Tidak. Justru saya yang berpikir kamu mengkuti saya.” Ucapku. Dia terpaku.
    “Saya cari novel-novel sejarah.” Ucapnya pelan. Saya manggut-manggut.
    “Kamu masih kuliah?” tanyaku
    “Tidak.” Jawabnya singkat
    “Kenapa kamu tak mengajukan pertanyaan yang sama padaku?” Tanya saya. Nirmaniata menatap saya, lalu tersenyum singkat.
    “Saya masih kuliah.” Ucap saya. Dia sedikitpun tak tertarik mendengar ucapan saya. Saya menelan ludah dan berharap tidak tampak terlalu bodoh dihadapannya. Tak lama kemudian Nirmaniata tenggelam lagi dalam kesibukannya mencari novel. Begitupun saya, dengan konsentrasi yang sedikit buyar.
    Aku menemukan novel yang ia cari. Dengan percaya diri, saya menawarkan padanya. Dia mengambilnya.
    “Tidak ada ucapan terima kasih?” tanyaku. Dia menatap saya.
    “Ya, terima kasih.” Ucapnya datar. Lalu ia berlalu dari hadapan saya. Setelah membayar buku yang ia beli, Nirmaniata pergi, tanpa sedikitpun menoleh padaku. Aku terus melihatnya sampai ia hilang di kejauhan. Saya menggelengkan kepala. Perempuan yang menjengkelkan. Saya berharap dia menyesal tak sempat tahu siapa namaku.
    Setelah saya mendapatkan beberapa novel yang saya butuhkan. Saya segera pulang. Cuaca cukup redup dan saya harus sampai ke rumah sebelum jam 4 sore. Saya harus membaca dua novel dalam waktu semalam untuk acara bedah buku besok siang di kampus.
    2
    Tak sengaja saya bertemu lagi dengan Nirmaniata di gerbang kampus. Saya memberanikan diri menyapanya. Iapun menatap saya dan mengerutkan kening seperti mengingat-ingat jam berapa ia harus mengikuti les bahasa inggris dan kapan terakhir kali ia menaruh boneka kesayangannya di meja belajar. Setelah saya menceritakan bahwa saya dan dia pernah bertemu di pameran buku dan sedikit mengingatkannya tentang novel sejarah, akhirnya dia ingat—atau pura-pura ingat. Entahlah.
    Setelah habis beberapa kalimat untuk basa-basi yang tak terlalu dipedulikan olehnya, akhirnya dia berlalu pergi. Saya menelan ludah. Kesat, seperti layaknya menelan sobekan kain sarung kakek saya. Tidak menarikkah diri saya sehingga dia tak sedikitpun dia meminta waktu berphoto dengan saya, atau minimal menatap saya berlala-lama dengan senyum mengembang?
    Saya kini tahu, dia satu kampus dengan saya setelah saya melihatnya berjalan sendiri dengan jas almamater kampus berwarna biru tua. Saya kecewa kenapa tempo hari dia mengaku tidak kuliah. Hm, mungkin dia kemarin takut saya bertanya banyak. Saya menatapnya dari kejauhan dan berharap ia menoleh barang sebentar. Tetapi sampai di tikungan jalan, ia tak sedikitpun tahu keberadaan saya. Ia hilang. Ingin sekali saya mengejarnya. Ingin sekali saya berbincang dengannya di sepanjang jalan, tentang puisi, warna langit dan aroma hujan di dedaunan. Tentang hati perempuan. Tentang suara malam. Tentang…
    “Tentang pembanding di bedah buku nanti, saya sudah konfirmasi. Katanya siap.” Ucap Ramdani. Saya bahagia menatap langit saat itu. Nirmaniata…
    Kawan, apa sebenarnya yang diinginkan seorang perempuan dari seorang laki-laki?

    0 Responses to “Cerpen: Perempuan Berkaca Mata”

    Post a Comment

    Subscribe