Monday 24 March 2008

0

Cerpen: Harga Bunga

  • Monday 24 March 2008
  • Unknown
  • Share
  • Isteriku telah lama mati, dan aku merasa sudah tua. Tapi aku memiliki anak-anak yang sangat mencintaiku. Mereka kurawat sendiri dan kusekolahkan sendiri. Sampai kini mereka sudah terlihat dewasa. Pandu, masih duduk di bangku SMP. Bunga, tiga hari yang lalu diwisuda. Dia cantik seperti ibunya.
    Kini, setelah aku berhenti bekerja, aku sepenuhnya berharap Bunga dapat menggantikanku mencari ongkos hidup kami dan biaya sekolah buat Pandu. Hanya dialah satu-satunya penolong hidup kami. Aku menyuruhnya bekerja. Terasa benar hidup mulai perlahan serba kekurangan. Tabungan mulai menipis, dan Bunga belum juga dapat kerja.
    Tapi Puji Tuhan, sebulan kemudian ada seorang lelaki yang melamar Bunga. Mereka katanya seminggu lalu bertemu di jalan. Dia masih muda, menaiki mobil dan penampilannya keren. Tanpa berpikir panjang lagi, saya menyetujui pernikahan mereka. Tersambung jugalah hidup kami.
    Setelah pernikahan mereka, Bunga jadi sering kirim uang ke rumah. Pandu girang dapat biaya sekolah. Begitupun aku bisa lebih tenang menjalani hari tua. Bunga memang malaikat penyelamat. Tak menyesal aku punya anak perempuan cantik seperti Bunga. Barangkali kekayaan hidupku hari ini adalah Bunga. Bahagia sekali aku menjalani sisa usia ini. Terima kasih, Bunga…
    Tetapi, lima bulan kemudian, Bunga mulai mengeluh tentang rumah tangganya. Dia bilang ia sering ditinggalkan sendiri di rumahnya.
    “Bunga sudah tak tahan, Bapak. Meski dia memberi Bunga banyak uang. Tapi jika jarang menafkahi bathin, Bunga jadi menderita. Dia juga jarang pulang.”
    Aku terdiam.
    “Bunga ingin suami yang benar-benar mencintai dan menyayangi Bunga. Tapi suami Bunga malah lebih mencintai pekerjaannya. Bagaimana ini, Bapak?”
    Aku terpaku.
    “Saya bingung, Bapak. Jika kami bertahan, itu artinya Bunga akan terus menderita. Dua hari yang lalu, Bunga memang sudah mengeluh padanya tentang ini, tapi dia malah menawarkan cerai. Bagaimana ini, Bapak?”
    Aku menghela napas panjang.
    “Perceraian itu tak baik. Bertahanlah. Semua butuh proses.” Ucapku. Aku lebih memilih mengajukan alasan bahwa ‘perceraian itu tak baik’ daripada harus mengajukan alasan bahwa suami Bunga lumayan kaya, punya rumah megah, mobil…
    Sejenak kami berdua terdiam. Pikiranku melayang tak tentu arah. Bagiku, pernikahan anakku adalah penyelamat hidup. Kami yang awalnya serba kekurangan, jadi serba enak. Pandu juga bisa lancar sekolah. Benar, Bunga adalah satu-satunya harapan. Pernikahan ini harus dipertahankan jika ingin hidup kami tetap terjamin.
    Bunga terlihat menunduk sedih. Tak lama kemudian, suami Bunga pulang dari kantornya. Seperti tahu Bunga sedang mengeluh tentang rumah tangganya, dia akhirnya mulai bicara panjang lebar tentang kebiasaannya hidup, kesibukan kerjanya. Dia bicara tentang Bunga, target hidup 2 tahun ke depan dan sebagainya. Akupun mulai sedikit bicara tentang keluhan Bunga. Dari sanalah pembicaraan mulai panas. Lelaki itu mulai sinis padaku. Dia terlalu banyak menyombongkan diri.
    Saya seorang pendiam, karena itu dia lebih berani bicara.
    “Bagi saya pernikahan hanya transaksi bisnis. Dengan…apa itu namanya, em maskawin, saya bisa mendapatkan Bunga. Saya pikir saya telah membeli Bunga dengan harga yang sesuai…Hari ini saya punya hak untuk menceraikannya dan mengembalikannya pada Anda. Tak apalah uang tak kembali juga…”
    Aku terkejut mendengarnya. Bunga terisak-isak menahan tangis. Lelaki itu pandai basa-basi, sekaligus pandai meremehkan orang lain. Bagaimana mungkin dia akan menceraikan anakku dan berhenti memberinya uang, sedangkan aku dan Bunga tak bekerja. Kami Tak punya uang sedikitpun untuk membiayai hidup. Tidak bisa!
    Dengan tenaga yang keras, saya meninju meja. Air tumpah. Suami Bunga terperanjat. Dia pikir dia bisa bersikap seenaknya, mau berbuat seenaknya. Jangan kira orang kecil tak bisa marah. Aku harus menegakkan kembali wibawaku sebagai orang yang lebih tua darinya. Akupunh berdiri dengan dada penuh amarah.
    “Bunga! Tetaplah jadi isterinya! Dan kau lelaki, barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan!! Permisi!”
    Aku pergi meninggalkan rumah mereka dengan kesal membuncah… []
    Ciromed, Maret 2008

    0 Responses to “Cerpen: Harga Bunga”

    Post a Comment

    Subscribe