Friday 25 April 2008

0

Cerpen: Sabda

  • Friday 25 April 2008
  • Unknown
  • Share
  • I

    Jam pikiran terus berdetak,
    tak ada seorangpun yang mampu melarangnya.
    Pukul 22:45, di tepi jalan yang sepi.
    Segala ingatan tentang kecemasan akhir-akhir ini selalu menggeliat mengusik tidurku. Angin dingin yang berhembus di gelap malam ini mengingatkanku pada seorang kawan dan sebuah rendezvous yang abadi. Akupun rindu menemuinya, sebab aku gelisah, aku kesepian, aku gemetar, dan bertanya-tanya. Kami akan bertemu dalam sebuah musim yang selalu hangat memberi keakraban seolah-olah kami mempunyai luka yang sama—dan aku merasa telah seribu tahun mengenalnya.
    Ini kali, aku menemuinya lagi, di lindap lazuardi, ketika ornamen senja melukis gelisah dalam graffiti kaki langit. Aku tahu, biografi kesahku masih lasak berkeliaran mencoba menghimpun harapan yang perlahan cabar dalam igauan yang berlarat-larat. Bayanganku di bawah langit terlihat gemetar menahan dedaun gundah yang terusik di musim kering. Tapi aku ingat, aku pernah mengatakan pada kawanku, bahwa keabadian untuk yang tersisa dapat dipertahankan dalam nganganya garit-garit luka.
    Kutemui kau, Radjar, kutemui kau ketika getar pikiranku kian membusuk sebab seabad lamanya masih mengental di ceruk-ceruk puisi berisi anggur—aku dapat mencium aroma larutnya yang khas, serupa anyir darahku yang bertahun diendapkan dalam diam yang jahanam. Bersitataplah kami dalam keasingan yang baru. Waktu berjalan menggerus setiap pribadi. Kau, siapa kau hari ini, kawan?
    Dalam pertemuan ini, hanya aku dan dia—ini mengingatkanku pada diri yang tiba-tiba sempat terbelah dalam sunyi, tak lagi tunggal, seperti ada sosok lain yang keluar dari jendela-jendela jiwaku dan kemudian menjelma sesuatu.
    “Sosok itu seperti cahaya tajam. Ia membuat tubuhku gemetar dan berkeringat. Sosok itu bernama kegelisahan. Ia bergejolak masuk menusuk di batok kepalaku, menjerit di dadaku. Aku tak mampu menghentikan gejolak itu. Ia seperti aku yang lain, kawan. Ingin sekali aku membunuhnya, tetapi itu bisa.  Tolonglah aku, kawan…” ratapku padanya. Kawanku masih diam demikian dalam. Lampu-lampu bercahaya kuning bergoyang di bilik-bilik rumah.
    “Kegelisahan?” tanya kawanku mendesis, “Terbelah?”
    “Tahukah kau, aku retak mendengar suara sosok itu. Gaung suara itu lebih kuat dari hentak kematian yang hebat. Aku tahu, suara itu berbau sepi yang berkarat, dan meledak melantak kebekuan kata. Barangkali dia  Jibril yang mewahyu.”
    “Jibril? Barangkali itu setan?”
    “Bukan, bukan. Itu bukan setan. Ia mewahyu kebaikan”
    “Lantas?”
    “Ia terkadang memelukku dengan lembut. Kudekati sosok itu, tahukah kau, ia  berkata: bukankah perjumpaan ini ilusi yang tak henti-henti menipu kelalaianmu itu?”
    “Lantas?”
    “Lantas sosok itu berteriak sangat keras, seolah melempar serapah padaku. Langit terasa pahit seakan tak habisnya mendera geriak gaung jeritnya. Sosok itu akhirnya berkata: ketika perjumpaan ini adalah pilu, maka ia telah menjadi candu, bagimu, bagimu. Bisakah “kita” menjadi “aku”, dan tak ada lagi perjumpaan yang menakutkan? Yang ada adalah “aku”. Maka apa yang terjadi dalam pikiran dan jiwamu, terimalah dan bebaskan. Bercahayalah sendiri. Aku hanya sekedar petunjuk.”
    “Kau mesti tahu siapa dia. Dia adalah “satu sisi” dalam diriku yang cukup menyesaliku. Seperti “satu sisi” lain dalam dirimu juga ketika rasa gelisah mengalami puncak. Ia akan mengejar dan memaksa kita berpikir tentang hakikat manusia, hidup, Tuhan dan semesta. Ia akan mengajak kita memberi kabar pada orang-orang. Ia memberitahu kita bahwa kenyataan ini punya masalah besar. Manusia punya masalah serius!”
    II

    Tataplah sekitar, bukankah kita semua memang
    dikejar-kejar oleh obsesi untuk menjadi diri sendiri?
    bersambung…

    0 Responses to “Cerpen: Sabda”

    Post a Comment

    Subscribe