Monday 28 April 2008

0

Cerpen: Tragedi Sayda

  • Monday 28 April 2008
  • Unknown
  • Share
  • Kota yang sepi, setelah orang-orang letih berselisih. Mereka memilih bersembunyi, hanya karena sudah terlalu banyak yang pergi dan rasa takut sudah terlalu kuat mengalahkan segalanya. Tapi ada yang masih terpendam, seperti dendam. Mereka meninggalkan rumah-rumah mereka sendiri, melakukan perjalanan yang jauh dan berpindah-pindah. Mereka dirikan tenda-tenda disetiap mata sungai, dan ketika malam tiba, mereka diam-diam mengintip di tirai tenda, melepas tatapan takut yang bersijingkat mendekati batas-batas tanah sendiri, siapa tahu seseorang akan menawarkan sebilah maut untuk dirinya hari ini…

    Lama anak-anak tak lagi bebas menatap langit dan berkejaran dengan angin. Tak lagi kau lihat gadis-gadis manis tersenyum sepanjang jalan karena ayah mereka melarangnya dan berkali-kali mengatakan bahwa ia tak akan pernah setuju pada rasa kehilangan. Lalu dengan wajah yang pucat ibu mereka menciumi anak-anaknya. “Diamlah, diamlah disini dan berhentilah bernyanyi.” Mereka berpelukan satu sama lain, mengeluarkan air mata yang banyak dengan mulut yang tak lelah mengulang-ulang doa.
    “Katakan Ayah, katakan kenapa kita harus berselisih?”
    Selalu tak ada jawaban, Sayda, hingga malam datang. Ia tahu kini tak ada lagi yang mau mengantarkannya melewati batas kota untuk menikmati senyum kekasih. Maka iapun mengunci diri dalam kesendiriannya dan menulis surat untuk kekasihnya. Tapi, kata-kata sekalipun enggan untuk menampung segala kerinduannya pada sang kekasih. Sungguh terlalu susah untuk diungkapkan. Ia pun tak tahu kemana surat ini harus dialamatkan. Orang-orang telah berselisih dan meninggalkan kota yang dibiarkan terbakar. Mereka menghanguskan tanahnya sendiri. Mereka melenyapkan tanahnya sendiri.
    Terasa berabad putaran waktu berputar dalam hitungan kerinduan. Sepi. Hanya sepucuk surat sang kekasih yang ia terima sebelum peperangan itu. Dicium wanginya berulangkali. Ditumpahkan air matanya berulangkali. Dibacanya berulangkali …
    Sayda…
    Kutitipkan sebuah doa tentang cinta padamu, kekasihku.
    Bacalah jika  kelak aku tak sengaja melupakanmu
    Bacalah jika kelak aku diliputi api kemarahan padamu
    Bacalah jika aku lelah menghimpun kesabaran
    Bacalah jika kelak aku lebih dulu tidur
    dalam pangkuan lembut kematian
    Jarak ini, Sayda, jarak ini…
    Tapi jangan bersedih jika cinta adalah kebenaran…
    “Bagaimana aku bisa menahan kerinduan ini, kekasihku, jika menahan air mata saja aku tak mampu…” Sayda menatap langit malam. Ia tahu beribu orang telah mati sia-sia dalam setiap peperangan. Banyak orang meninggalkan rumah mereka dan pergi menaiki gunung-gunung yang sunyi. Tapi kenapa harus kalah jika kita punya hak untuk menang? Kenapa harus pergi jika kita punya hak untuk tinggal? Mereka berselisih karena sepetak tanah dan iman. Lalu mereka sama-sama membumihanguskannya. Kini mereka sama-sama meninggalkannya. Hidup berpindah-pindah, hanya menyeret dendam sepanjang jalan. Sebagian orang yang mencintai perdamaian malah diberi kebencian. Kenapa harus terjadi?

    Katakan, kekasihku, katakan dimana kau berada.
    Aku hanya ingin mencintaimu…
    Bersambung…

    0 Responses to “Cerpen: Tragedi Sayda”

    Post a Comment

    Subscribe