Thursday 24 April 2008

0

Agama Kian Panas

  • Thursday 24 April 2008
  • Unknown
  • Share
  • Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih.
    Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka,
    tentang apa yang mereka perselisihkan itu.
    (QS. Yunus: 19)

    Jika di dalam rumah Anda ada dua orang bertengkar hebat, bisa saya pastikan Anda akan pusing mendengarnya dan mulai merasa tak betah tinggal di rumah. Anda akan stress. Barangkali Anda akan mencoba melerainya. Tapi jika pertengkaran itu tak bisa dihentikan, dan Anda malah kena damprat, bisa saya pastikan lagi Anda akan memilih keluar rumah dan mencari tempat yang tenang untuk mengurangi stress Anda. Di saat seperti itu, mungkin Anda akan mengeluh: “Rumahku adalah nerakaku…”
    Begitu pun dengan “rumah” bernama agama Islam di Indonesia belakangan ini. Layaknya satu kelompok dengan kelompok umat lain tengah tenggelam dalam “lumpur pertengkaran”. Tentu saja, pasalnya adalah permasalahan klasik bernama: perbedaan pendapat. Bukankah sudah lama kita tahu bahwa bangsa ini masih belum sepenuhnya dewasa dalam menyikapi setiap perbedaan pendapat?
    Hari ini, misalnya, ada berita yang lagi hot. Saya menyaksikan sebagian besar umat Islam Indonesia (mayoritas) sedang “bertengkar” dengan jemaah Ahmadiyah (minoritas). Ahmadiyah dituduh sebagai aliran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali menelorkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menodai ajaran Islam. Bisa dipastikan—setidaknya—sebuah fatwa ibarat gema takbir yang membakar semangat umat. Maka bergelombanglah ormas-ormas Islam berdemonstrasi mendesak presiden untuk membubarkan Ahmadiyah dari bumi Nusantara ini.
    Dari dulu, keberadaan jemaah Ahmadiyah memang tak pernah diberi tempat yang aman di negeri ini. Dari mulai dihujani fatwa sesat, pengusiran dari kampung sendiri hingga kekerasan, bahkan pembakaran rumah.
    Gerakan anti-Ahmadiyah memang setahun terakhir ini kian meruncing. Mereka keukeuh menganggap Ahmadiyah adalah ajaran menyimpang karena tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai khataman-nabiyyin. Banyak umat Islam sudah gerah pada keberadaan aliran Ahmadiyah di Indonesia yang juga dituduh mempunyai Nabi dan Kitab Suci sendiri. Mereka giat melakukan demonstrasi dan mendatangi tempat-tempat jemaah Ahmadiyah. Tak heran jika jemaah Ahmadiyah merasa terancam dan tak khusuk dalam menjalankan ibadahnya.
    Namun di lain pihak, Ahmadiyah melakukan pembelaan diri. Dari beberapa wawancara di televisi, mereka mengaku tak menyimpang dan menodai ajaran Islam. Mereka masih memakai syahadat, sholat, percaya pada kitab Qur’an. Mereka juga mengakui Nabi Muhammad sebagai pembawa syariat dan Mirza Ghulam Ahmad hanyalah guru, mursyid, dan sebagai pembaharu yang tugasnya adalah menghidupkan kembali syariat. Mereka tak mau dianggap menyimpang. Bahkan mereka meminta Presiden SBY tidak melarang keberadaan Ahmadiyah di Indonesia karena melanggar UUD 1945 dan Hak Asasi Manusia.
    Tapi keadaan kian memanas. Pro-kontra pendapat di kalangan masyarakat bersilangan seperti siraru. Alih-alih agama yang seharusnya jadi ruang beribadah dengan tenang, malah dijadikan cerobong untuk menyalahkan dan mengutuk kelompok lain yang berlainan pendapat dengannya. Dzikir kita sudah pabaliutdengan caci maki. Ibadah kita sudah terkontaminasi dengan dengki dan jahil pada sesama.
    Sebenarnya “cacat” seperti itu seringkali ditemukan dalam tubuh agama Islam. Kita mungkin sudah akrab dengan perselisihan umat mulai dari soal pertikaian dalam hal-hal furu’ atau kalap dalam ikhtilaf dengan umat seagama. Pikiran dan waktu kita dihabiskan di sana. Sampai kini, agama Islam masih merupakan bentuk yang retak di beberapa bagian. Islam—setidaknya di Indonesia—ternyata bukanlah umatan wahidah atau jama’atun wahidah, tetapi—meminjam bahasa Quran: “…mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah.”
    Islam Yang Santai

    Agama gonjang-ganjing Umat sibuk kasak-kusuk
    Bagaimana ibadah bisa khusuk?

    Menghadapi fenomena “pertengkaran” antara ormas-ormas Islam (plus MUI) dengan jemaah Ahmadiyah, saya jadi teringat ungkapan lama namun tetap indah dari Muhammad Said al-Ashmawy dalam Againts Islamic Extremism: “Keadilan mendahului hukuman, semangat lebih penting ketimbang teks, dan semua umat agama adalah satu komunitas.” Karena satu komunitas, menjaga indahnya persaudaraan dan perdamaian menjadi kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
    Perbedaan adalah rahmat. Menyikapi perbedaan dengan damai dan santai adalah nikmat. Tak perlu ada tradisi saling menyalahkan. Toh, dalam kasus Ahmadiyah, jemaah Ahmadiyah mengaku Islam, nabinya Muhammad, kitabnya al-Qur’an dan Tuhannya sama dengan umat Islam. Jika katanya Ahmadiyah hanya menafsirkan khataman nabbiyyin untuk Nabi Muhammad sebagai orang dengan kedudukan dan martabat yang paling luhur dan afdhal dalam segala hal, why not? Toh ini hanya perbedaan dalam menafsir. Kita tak perlu merasa paling benar. Bukankah kita tak mau menjadi bagian pengikut Rasul yang membuat agama terpecah belah, seperti apa yang digambarkan Allah dalam QS. Al Mu’minuun : 53: “Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).”
    Maka sejatinya setiap umat beragama berhak menjalani keyakinan dan ibadahnya dengan tenang. Jika kita menghormati hak asasi itu, saya yakin harmonitas umat seagama (bahkan antar agama) akan terwujud dan perpecahan tidak akan terjadi. Semua akan baik-baik saja, atau istilah kerennya—meminjam istilah Dr. Yudi Latif—I’m Ok, You’re Ok. Selebihnya, tanggung jawab kita adalah beribadah dengan tenang dan santai serta menciptakan kemashlahatan dan menghindari kerusakan (jalb al-mashalih wa daf al-mafasid) di muka bumi ini.
    Umat yang berbeda pendapat tak perlu dilukai keyakinannya. Saya pikir jemaah seperti Ahmadiyah tak bermasalah; yang justru bermasalah adalah orang-orang yang merusak dan melakukan kekerasan pada mereka. Itulah yang bermasalah dan merusak citra Islam di mata dunia. Oknum umat setitik, rusak Islam sebelanga. Ahmadiyah bukan teroris yang jelas-jelas merusak nama baik Islam.
    Janganlah terlalu tegang dalam menjalankan agama, santai sajalah. Ahmadiyah juga adalah bagian dari masyarakat Islam. Karena bagian dari masyarakat Islam, maka hormatilah keberadaan mereka. Jika tidak, saya khawatir kita termasuk umat yang dzalim dan berdosa. Ada ungkapan indah yang patut kita renungkan, bahwa “Tangan (kekuatan) Tuhan beserta jamaah (masyarakat). Barangsiapa memecah jamaah, memecah pula Tuhan…” Saya tak segan mengatakan, “mengganggu” dan menyakiti umat lain adalah dosa. Bukankah dosa itu tersembunyi, bahkan dalam jubah yang dianggap suci sekalipun?
    Walhasil, sikap kita dalam beragama harus segera diperbaiki; harus segera didewasakan. Ketegangan dan kekerasan bukan cara yang arif. Bukan Islam stress yang kita harapkan, tapi Islam santai. Islam yang genah, merenah, tumaninah, gemah ripah-repeh-rapih loh jinawi. Jangan banyak bertengkar, agar umat betah dan khusuk beribadah. Mulailah berbuat baik pada sesama dalam beragama, bukan malah merugikan. Karena, yang paling baik di antara kamu ialah yang paling bermanfaat bagi sesamanya, demikian Rasulullah bersabda. Dan Allah juga berpesan dalam Qur’an, “Tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya…” So, apakah mulai hari ini kita mau menegakkan agama atau malah memecah-belahnya? Saya berdoa kelak Islam tidak termasuk “barang pecah belah”. Semoga. Wallahu ‘alam. []

    0 Responses to “Agama Kian Panas”

    Post a Comment

    Subscribe