Wednesday 10 October 2007

0

Cerpen: Sang Babi

  • Wednesday 10 October 2007
  • Unknown
  • Share
  • Betapa singkat usia kebenaran. Betapa singkat usia kepercayaan. Hanya karena dendam dan amarah. Apakah setiap kemenangan dan kebenaran selalu disambut dengan tepuk tangan? Malam yang tua. Cahaya lampu minyak. Bayangan api di bilik rumah. Suara angin menerpa jendela, juga gorden. Tapi cukup lama seseorang diam, seperti batu. Lalu Mustafa menghampirinya perlahan.

    “Desa itu sangat miskin, Usman. Mereka perlu bantuan kita.”

    Tak ada suara lagi. Mustafa menatap wajah kawannya lekat-lekat. Usman menghisap rokoknya terlalu dalam. Menit-menit menghimpun jam.


    “Aku tak mau membantumu menemui orang-orang.” Ucapnya. Wajahnya berpaling dingin. Mustafa terkejut mendengarnya.


    “Kenapa?” tanyanya. Lama Usman tak menjawab. Terdengar ia batuk-batuk dan menghela napas yang panjang.


    “Aku orang melarat. Masalah hidupku hanya perut. Lalu siapa yang peduli? Aku menderita dengan kemiskinan ini. Jadi jangan ganggu aku dengan tetek-bengek masalah kemiskinan masyarakat itu.” Ucapnya mendengus. Hati Mustafa panas mendengarnya. Ia menatap Usman dengan tajam.


    “Usman, ini soal keinginan bercita-cita dan bekerja bersama orang-orang.” Ucap Mustafa meyakinkan.


    “Persetan dengan orang-orang. Aku saja kewalahan berpikir dan bekerja untuk diri sendiri, apalagi berpikir dan bekerja untuk orang-orang!”


    “Tuhan akan menolong kita. Tuhan akan memudahkan kita jika kita bekerja sama. Membangun apapun butuh tangan-tangan yang banyak. Mungkin keberhasilan kita hadir di tengah orang banyak. Orang banyak adalah pelajaran berharga yang belum terbuka. Jika mereka menemukan arah yang terang, mereka akan bergerak cepat ke arah yang lebih baik. Akan menjadi kekuatan.” Ucap Mustafa gemetar, terus meyakinkan.


    “Tuhan? Tuhanku kini hanya nasi dan uang! Kenapa tak habisnya kau menasehatiku. Selama ini aku mencoba sabar dengan ocehanmu. Tapi sudah lama aku muak dengan segala khayalanmu tentang orang-orang. Kau begitu berambisi jadi pahlawan. Jangan ajari aku berbuat baik dalam kehidupan. Hidup telah menjajah aku. Dunia telah menghina aku. Ya, aku begini karena dunia menghina! Aku terus terhina. Jadi jangan salahkan aku jika melawan. Aku berontak. Aku bebas menentukkan keinginanku. Aku ingin berperang dengan dunia dan aturan-aturan yang membodohiku! Nasehat-nasehat yang membuatku terpenjara dalam ketakutan yang bukan-bukan!” Bentaknya marah-marah.


    Lama mereka bersitatap. Tegang. Malam mengendur lebam. Mustafa perlahan berdiri, dan pergi meninggalkan Usman dengan perasaan yang pedas. Yang retas. Tapi keesokan harinya Mustafa bertekad pergi sendiri ke desa terpencil itu. Desa kecil, penuh penyakit dan bau kemiskinan. Hiruk-pikuk dunia tiba-tiba menyeruak pikiran Mustafa. Ia dengar anak-anak menangis. Ia dengar ada orang-orang mengeluh. Ia dengar erang kemelaratan dan kesedihan. Ia masuki ladang rusak, tempat ibadah yang sepi, sawah kering, sekolah yang berantakan dan rumah-rumah kumuh. Ia melihat orang-orang menangis di beranda rumah mereka. Ia mencium bau kelaparan. Tak ada petani. Tak ada pekerja. Ada banyak pemuda pengangguran. Tibalah Mustafa di sebuah surau di pinggir perkampungan. Ada beberapa orang yang duduk melingkar di teras surau. Mereka tampak lama memperhatikan kedatangannya.


    Datangilah para pemuda, Mustafa, karena mereka menyimpan hati yang terbuka.


    Dan Mustafa bekerja memasuki hati mereka. Hari-hari demi hari berjalan kesat. Lalu akhirnya ia mulai berjalan dengan para pemuda, memasuki ladang dan mencoba mengolah alam. Mereka bersama perlahan belajar tentang kemandirian bekerja. Mereka bekerja mengubur kemalasan. Mereka belajar keluar dari ketergantungan hidup pada orang lain. Mereka mulai bekerja keras. Kemudian perlahan semangat itu menjalar ke setiap orang. Bulan demi bulan berganti, Mustafa berdiri disamping mereka, terus memberi semangat dan bimbingan bekerja. Anak-anak gadis mengolah keterampilan. Para pemuda membangun desa, memenuhi waktu mereka dengan kegiatan-kegiatan yang menghasilkan. Kaum tua mendukung dan bekerjasama, ibu-ibu membantu, para janda bekerja, anak-anak bersorak. Penyakit diobati. Lalu kemudian alam mulai dianyam. Setahun sudah, tanpa lelah. Mereka panen hasil tanam dan mereka jual ke luar kota. Proses jalur dagang mulai berjalan. Sawah ditanami. Ternak dipelihara.


    Maka tahun demi tahun, sembuhlah luka-luka. Desa yang dulu terpuruk kini bangkit lagi. Kini ada keberanian dan keperkasaan memenuhi kebutuhan serta memecahkan permasalahan hidup dengan kekuatan yang ada pada diri mereka. Orang-orang bersuka-ria. Mustafa menyuruh mereka menabung hasil kerja. Mustafa melarang mereka boros. Kebutuhan hidup mereka mulai terpenuhi. Perlahan tak ada lagi bau kemiskinan. Tak ada lagi gelepar kelaparan. Mereka mulai cukup dan saling mencukupi. Mereka mulai berkumpul dan bermusyawarah. Peraturan disusun. Mereka melakukan pemilihan lurah dengan demokratis. Hingga, kagumlah mereka pada Mustafa. Ia dielu-elukan. Kelak ia dianggap utusan dewa. Ia dianggap nabi. Orang-orang memanggilnya nabi. Orang-orang menghormatinya. Mereka takjub padanya.

    “Jangan panggil aku nabi, aku bukan orang suci…”


    ***


    Malam temaram, sebelum sebentar lagi tengah malam. Di teras mesjid Mustafa berkumpul dengan para pemuda. Desa yang tentram, tapi seseorang telah menemui mereka dengan lari yang tergesa-gesa…


    “Nabi, saya membawa berita buruk. Tiga kepala keluarga melaporkan kehilangan uang. Tiga hari yang lalu laporan pertama sampai pada pak lurah, dan saya diminta pak lurah untuk menjemputmu. Beliau ingin bermusyawarah di rumahnya.”


    Para pemuda terkejut. Mustafa mengerutkan kening. Mereka pun segera menuju rumah pak lurah.


    “Sepertinya babi ngepet, Mustafa.”ucap pak Lurah. Orang-orang terkejut. “Sudah tiga kali Ronda melihatnya keluar dari desa ini dan hilang di pekuburan. ”


    Kemudian setiap malam mereka bermusyawarah. Kejadian demi kejadian kehilangan uang menimpa sebagian keluarga. Uang tabungan mereka raib tiba-tiba. Ludes. Hari demi hari kesialan itu dialami hampir semua warga. Mereka resah. Mereka marah.


    “Malam ini kita mulai rapatkan penjagaan.” Ucap Mustafa. Para pemuda pun mulai menyiapkan jebakan dan bambu runcing. Kakek-kakek tak mau ketinggalan. Beberapa perempuan juga merelakan waktu tidurnya hilang untuk menjaga tabungan keluarga mereka. Disetiap sudut tempat di desa itu mata dan telinga dipasang dengan kuat. Setiap semak bergerak, mereka kepung. Setiap suara aneh terdengar, mereka buru. Tapi sudah dua malam mereka tak menemukan babi itu. Pak lurah mulai gelisah. Mustafa kembali mengatur strategi. Orang-orang mulai mengurangi penjagaan langsung di jalan-jalan desa. Mereka mulai melakukan penjagaan ketat dari tempat-tempat yang tersembunyi., dengan tajam senjata, dengan tajam telinga dan sepasang mata. Hingga akhirnya seseorang dari arah timur desa berteriak: “Babi ngepet! Disini!” Serentak orang-orang memburu sumber suara.


    “Saya melihatnya lari ke kebun jagung!” teriak seorang ronda. Orang-orang pun merangsak kebun jagung. Mereka nyalakan obor. Pak Lurah ikut mencari. Mustafa mulai mengejar. Orang-orang berpencar. “Kepung kebun jagung!”


    Mustafa segera berlari ke arah pekuburan yang gelap, yang lainnya berpencar mengepung kebun jagung. Sesekali Mustafa mengendap. Matanya mencoba menerobos gelapnya semak-semak. Tiba-tiba akhirnya ia menemukan benda hitam bergerak keluar dari pepohonan. Tak menunggu lama ia memukul babi besar itu dengan tongkat dan menangkapnya. Suara babi itu terdengar aneh. Dengan tali tambang Mustafa segera mengikat tubuh babi dan mereka bergulingan. Bergulat. Mustafa coba mengunci gerak babi itu dengan sekuat tenaga. Napas Mustafa sesak. Di kejauhan suara penduduk masih ramai. sekitar kuburan keadaan cukup gelap. “Kena kau babi jahanam!” dengus Mustafa.


    “Argh…grok…Mustafa…Ini aku Usman…kawanmu. Lepaskan aku.””


    Mustafa terkejut mendengar babi itu bicara. “Usman?!” pekik Mustafa bingung.


    “Ya, Mustafa, aku Usman. Aku babi ngepet.”


    “Ya Tuhan! Kenapa kau lakukan ini, Usman?!”


    “Aku terpaksa, Mustafa, aku butuh uang…”


    “Kau gila, Usman, kau keji! Kau bisa mati terbunuh! Kau mesti tobat!”


    “Arghh…Aku mohon, Mustafa, lepaskan aku. Aku tak mau mati…grok”


    “Tidak, Usman! Kau harus menebus dosamu! Kau telah tertangkap! Aku akan menyerahkanmu pada orang-orang!”


    “Jangan, Mustafa, lepaskan aku. Aku menyesal. Aku bertobat! Aku menyesal! Grok… lepaskan aku, Mustafa. Aku berjanji tak akan mengulangi kejahatan ini, asal kau mau melepaskanku sebelum orang-orang itu membunuhku. Arrgh..kumohon, Mustafa! Kau dulu pernah bilang bahwa pintu tobat selalu terbuka. Apa kini kau lebih memilih membunuhku daripada menghidupkan kebenaran untukku?”


    “Aku tak percaya pada kata-katamu!”


    “Bertahun-tahun kita bersama, Mustafa. Kau sendiri pernah bilang bahwa sebelum menemui kebenaran, tumbuhkanlah kepercayaan…”


    Mustafa terpejam kuat. Perang bathin berkecamuk dalam dadanya. “Apa kau mau berjanji akan bertobat?”


    “Demi Tuhan, Mustafa, lepaskan aku. Sebelum matahari terbit, aku akan bertobat!”


    Mustafa mulai mengendurkan cekikannya. Ia menatap langit malam. Ia melihat sekeliling dan menghela napas panjang. “Baiklah, aku akan membawamu pergi dari sini.” Ucap Mustafa. Ia berdiri dan sedikit kewalahan mendekap babi gemuk itu. Ia perlahan menerobos semak. Tetapi, ketahuilah Mustafa, siapa yang tengah memperhatikanmu dengan gemetar dan hati yang marah…


    “Nabi, mau kemana kau?!”


    Mustafa kaget. Ia membalikan tubuhnya dengan gemetar. Dua orang warga tampak keluar dari semak-semak yang gelap. Cahaya obor dinyalakan. Satu-persatu warga berdatangan. Pak lurah muncul diantara mereka. “Ada apa ini?”


    “Pak Lurah, ternyata babi sialan itu peliharaan Mustafa! Kita tertipu selama ini. Ia datang menyuruh kita bekerja keras, banting tulang, cari uang, dan akhirnya dia merampas hasil jerih payah kita dengan cara yang keji dan memalukan!” ucap seorang warga yang tadi mengintip Mustafa. Semua warga terkejut. Mustafa kaget.

    “Dia penjahat!!”

    “Jangan panggil aku penjahat, aku bukan orang bejat…”


    “Apa yang kau katakan?! Itu fitnah! Perlu kalian ketahui, ini babi jejadian. Ia manusia. Ia ingin bertobat! Aku berniat akan membawanya pergi jauh dari sini.”


    “Enak saja kau, Mustafa! Ayo kepung, si jahanam ini kawan-kawan!” teriak seorang warga. Serentak orang-orang memburu Mustafa dengan senjata terhunus. Pekik babi terdengar dan Mustafa mencoba berlari menerobos semak-semak. Warga serentak mengejarnya. Disebuah kaki bukit, Mustafa bersembunyi dan menatap tajam babi jelmaan Usman. “Kau harus berjanji akan tobat. Aku kini melepaskanmu. Pergilah.” Ucap Mustafa bergetar. Babi itu meloncat dan merasuki semak-semak. Hilang. Tak lama Mustafa pun berlari menghindar dari kejaran warga. Tapi akhirnya ia tertangkap warga. Ia diikat di pohon besar dan dijaga beberapa orang. Pak lurah dan yang lainnya masih terus mengejar babi ngepet. Setelah menjelang shubuh dan pencarian babi tak berhasil, kembalilah mereka menuju Mustafa yang terikat. Betapa terkejutnya mereka. Tubuh Mustafa sudah bersimbah darah tanpa kepala.


    Shubuh lewat. Hari demi hari berjalan sesak. Desa kembali was-was. Perasaan itu telah menyita waktu kerja mereka. Keputusasaan mulai muncul lagi. Hingga disebuah malam, kejadian terulang dalam suara yang lain…


    “Ada hantu Mustafa!”


    “Ada babi ngepet!”


    “Bu lurah melahirkan anak babi!”


    “Anakku mati!”


    Suara saling besahutan. Dan mereka yang tak punya uang, akan teriak kehilangan uang. Hanya karena mereka ingin marah-marah saat perut amat lapar. Hanya karena hidup tiba-tiba kembali gegar…[]

    Jatinangor, Ramadhan 2007

    0 Responses to “Cerpen: Sang Babi”

    Post a Comment

    Subscribe