Wednesday 12 September 2007

0

Menggugat Narsisme Religiositas

  • Wednesday 12 September 2007
  • Unknown
  • Share
  • Iduladha baru saja berlalu. Senjata apa yang terbaik untuk menyembelih “leher kebinatangan” pada diri kita?
    DALAM Islam, setiap ibadah tidak hanya menjelaskan hubungan “mesra” antara seseorang dan Tuhan (habluminallah). Esensinya juga menjelaskan pentingnya spirit akuntabilitas sosial (hablun minannas). Tanpa implikasi sosial dan kepedulian terhadap sekitar, salat seseorang kerap pada akhirnya hanya menjadi semacam hypocrisy (kemunafikan). Allah tak segan menyebutnya sebagai “pendusta agama” (Q.S. 107 : 1-7).

    Sejatinya, dua matra kesadaran ibadah tersebut bermuara pada komitmen takwa yang akan melindungi kita dari “penyakit” hawa nafsu yang sewaktu-waktu akan membuat kita jadi manusia “sakit” dan lupa diri. Demikian pentingnya kesadaran kritis untuk menangkap pesan substansial dari setiap ritus ibadah dalam menjangkarkan tanggung jawab amar makruf nahi mungkar.

    Tanpa kesadaran kritis menerjemahkan makna simbolis dari setiap ibadah, kita akan terjebak dalam “narsisme religiositas”. Kita pun hanya membiarkan ibadah Ramadan yang telah lewat misalnya, sekadar menjadi acara rutin tahunan. Kita lupa di bagian mana dalam tubuh ini, kita menaruh hikmahnya dan tak berdaya lagi mengamalkannya saat ini. Jika itu yang terjadi, bersiaplah menerima ego kebinatangan dan banalitas yang tiba-tiba demikian berkuasa mematikan rasa kemanusiaan kita.
    Demikian pula halnya ibadah haji atau lainnya, yang sering dilakukan tanpa semangat pemaknaan yang lebih dewasa. Ibadah dianggap sebatas praktik ritual an sich. Akibatnya, praktik ibadah jadi statis. Juga salat yang disebut dalam Alquran dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, pada kenyataannya tak dapat dibuktikan dalam keseharian hidup ini.
    Begitu mengherankan, mendengar bahwa kanker korupsi di negeri yang notabene mayoritas Muslim ini, masih ganas. Padahal, Allah mengecam praktik sesat ini (QS 2: 188). Yang tak kalah celaka, budaya hura-hura korupsi itu terus menggurita-ria di atas kemiskinan rakyat. Pada saat bersamaan, kita bersikap masa bodoh karena terlalu tenggelam dalam rutinitas keseharian. Bukankah ini membuktikan bahwa sebagian orang di negeri ini belum bisa menjadikan agama sebagai instrumen mengikis sifat kebinatangan dan mempertebal kepedulian sosial?

    Ibadah sebagai muhasabah

    Setiap kali ritus ibadah dijalani, setiap itu pula hadir kemungkinan adanya kesadaran penting soal kritik dari Allah. Seperti ibadah-ibadah lainnya, momen Iduladha yang baru kita lalui adalah sebuah interupsi dari Allah. Kita sering tak menyadari masih belum memahami ibadah sebagai proses “tahu diri”. Diri kita sudah terlalu berkarat oleh kotoran hawa nafsu yang jarang dikoreksi. Oleh sebab itu, setiap konsepsi ibadah memberi wilayah yang luas untuk tumbuh kembangnya kritik. Semua itu mesti dilakukan dalam rangka membangun ketakwaan. Tentu saja, kualitas ketakwaan hanya bisa dikokohkan melalui proses belajar sepanjang hidup (lifelong education). Proses belajar itu bisa dilakukan dengan kemauan keras untuk introspeksi (muhasabah) terus-menerus.
    Upaya mengembangkan tradisi muhasabah dalam ranah sosial juga perlu diawali oleh kesadaran diri, bahwasanya manusia diciptakan Allah untuk beribadah. Hayyatuna kulluhu ibadah, demikian Ali bin Abi Thalib berkata bahwa hidup ini seluruhnya ibadah. Muhasabah menjadi teramat penting dalam ungkapan Ali tadi. Karena hidup ini dalam rangka ibadah, semangat ketakwaan dan kemauan untuk introspeksi mesti dilakukan di segala keadaan dan keseluruhan aktivitas.
    Ibda binafsik, kata pepatah, mulailah dari dirimu sendiri. Pada mulanya muhasabah binafsi (introspeksi diri). Introspeksi sebagai pelajar dan pengajar bisa berarti mengajukan kritik pada tingkah laku sebagai pelajar dan kualitas mengajar kita. Introspeksi sebagai pemimpin, bisa berarti melontarkan kritik pada kelemahan cara memimpin kita, dan seterusnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas dan fungsi diri. Setelah itu muhasabah “dikolektifkan” lewat tanggung jawab tawasaubil-haq (kritik membangun satu sama lain), baik level antarpersonal maupun level pemerintahan, dalam rangka fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan). Hal itu bisa dilakukan dalam bentuk penghargaan terhadap hak asasi manusia, bekerja sama memberdayakan rakyat kecil dan sebagainya. Introspeksi menjadi senjata penting untuk melumpuhkan sifat kebinatangan diri yang acap kali enggan menerima kritik dan berusaha memperbaiki diri.
    Hatta, sudah sepantasnya kita terus bertanya apakah selama ini kita termasuk umat yang “mendustakan agama”, umat yang tidak hirau pada problem sosial, umat yang tega menghardik penderitaan sesama dan tak henti mengisi hidup ini dengan kecurangan, kesombongan, kezaliman, keserakahan, dan kelalaian? Tentu saja, persoalannya apakah kita mau menerima tawaran Allah untuk lebih serius menjalani setiap ibadah sebagai medium memperbaiki kualitas diri atau tidak? Pilihan ada pada manusia. Wallahualam.***
    Artikel ini dimuat di: Pikiran-Rakyat

    0 Responses to “Menggugat Narsisme Religiositas”

    Post a Comment

    Subscribe