Monday 10 September 2007

0

Cerpen: Republik

  • Monday 10 September 2007
  • Unknown
  • Share
  • Menurut seorang pengamat pendidikan, setidaknya ada tiga sebab kenapa persahabatan Rocky (bukan nama sebenarnya) dan Junnedy hancur berantakan. Pertama, kebodohan; kedua, puisi dan ketiga, lagu kebangsaan. Tetapi belakangan pakar ekonomi malah menambahkan, yaitu pekerjaan, uang dan problem pengangguran.

    Tapi justru problem pengangguranlah yang pada mulanya mempertemukan kedua pemuda itu. Rocky adalah seorang pemuda yang putus sekolah sejak kelas 1 SD. Sedangkan Junnedy, seorang sarjana ekonomi. Apapun latar belakang pendidikan mereka, keduanya sama-sama terjerumus dalam lubang hitam pengangguran dan kemiskinan selama 3 tahun terakhir ini. Jangan bilang mereka pemalas, nanti mereka marah besar. Lubang hitam itulah yang kemudian membuat mereka seperti satu tubuh: jika Rocky menderita, maka Junnedy pun terluka. Tapi hari ini seorang dari mereka terlihat gembira. Dialah Junnedy…

    “Sepertinya kau membawa kabar yang bagus.” Ucap Rocky tersenyum sambil melebarkan kedua bola matanya.

    “Tentu saja, Rocky!” seru Junnedy. Ia pun buru-buru duduk bersila. Sebelum ngomong, Junnedy menenggak segelas air putih punya Rocky hingga habis dan mengambil napas yang dalam. “Kau perlu tahu, Rocky, empat hari lagi kita akan dapat uang!”

    “Hah?! Uang?”

    “Yeah! Uang!”

    “Percayalah, ini bukan semacam keberuntungan judi, rampok bank atau misi menolong nenek kaya yang disekap penculik. Duduk yang manis dan dengarlah. Tadi aku ketemu kawanku semasa kuliah. Dia kini mengabdikan diri sebagai pengasuh di Kelompok Paduan Suara Kampus. Aku sama dia dulu pelopor klub paduan suara itu lho.”

    “Pelopor? Paduan suara? Apaan tuh?”

    “Ya, semacam kelompok penyanyi, semacam group! Kelompok Paduan Suara Kampus kini dapat panggilan menyanyikan lagu kebangsaan di hari kemerdekaan nanti. Tapi, ada dua personel yang gak bisa hadir di acara besar itu. Yang satu sakit keras, yang satunya meninggal karena kecelakaan. Padahal acara empat hari lagi. Dan kau tahu, Rocky, ia memelas meminta bantuan aku untuk ikut paduan suara dan juga minta bantuan aku untuk mencari satu orang lagi agar personel lengkap. Dia sangat percaya aku. Lalu tiba-tiba aku berpikir bahwa pahlawan-pahlawan untuk menolong kesulitan klub itu adalah kita berdua, Rocky!” Junnedy girang.

    “Personel?”

    “Ya, semacam anggota dari kelompok.” Ucap Junnedy sedikit mengkel. “Besok kita diminta datang ke tempat mereka untuk latihan, Rocky! Mau?”

    “Nyanyi? Nyanyi apa?”

    “Ya, nyanyi. Nyanyi Indonesia Raya. Di depan presiden?”

    “Di depan presiden?!”

    Pikiran Rocky melayang. Ia memang hapal sedikit lagu itu. Tapi, nyanyi? Dapat uang? Yeah! Dia jadi ingat setahun lalu ketika Junnedy mengajak nyanyi di panggung Agustusan, di depan Lurah dan Camat. Penampilan mereka disambut meriah. Junnedy main gitar, dibantu anak-anak gadis kampung nyanyi Tanah Airku. Rocky saat itu nyanyi keras, joget, baca puisi dan melawak. Junnedy memujinya habis-habisan. Ia dijuluki penyanyi bersuara emas oleh Pak Camat. Betapa gembira ia. Betapa bangga ia. Lalu kini ia merasa jadi seorang penyanyi yang dibutuhkan bangsa. Rocky ingat Junnedy yang telah mengajarinya nyanyi, baca puisi, main gitar, baca dan menulis. Sungguh, akan luka jika ia tak memenuhi permintaan Junnedy ini kali. Apalagi ini uang. Ini pekerjaan…

    “Aku ikut, Junnedy!”

    “Yeah!”

    Kedua sobat itu tertawa-tawa senang. Kemudian menjelang malam, mereka tak mau sedikitpun melepas kegembiraan itu. Mereka bernyanyi bersama, menghapal bersama, dan segalanya terdengar hampir sempurna.

    “Kita pasti layak, Rocky!”

    “Tentu saja.”

    “Bahkan kita bisa jadi personel tetap klub paduan suara itu! Kita punya suara emas! Kita akan punya pekerjaan!”

    “Yeah!” Rocky tertawa girang. Mereka tertawa senang. Lalu nyanyi-nyanyi terdengar lagi. Sesekali gitar dipetik Rocky sekedar mengiringinya. Sesekali Rocky lupa liriknya, segera Junnedy membetulkannya. Rocky terus belajar membaca lirik dan menghapalnya. Junnedy terus belajar memperhalus suaranya. Mereka berdua berdiri dan bernyanyi di depan cermin. Semalaman suntuk mereka mengolah suara agar terdengar lebih bening, syahdu, lirih dan menggetarkan. Dimana-mana mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ketika di kamar mandi, Junnedy menyanyikannya. Ketika tengah buang hajat, Rocky melengkingkan lagu itu. Mereka tak bisa lepas dari nyanyian itu. Di tempat nongkrong mereka nyanyi. Di pos ronda mereka nyanyi. Terus berlatih. Nyanyian mereka menerobos jendela-jendela mesjid dan lamat-lamat memasuki rumah-rumah penduduk…



    ***

    “Rocky, akhirnya kita akan punya pekerjaan. Mulai sekarang nasib kita akan berubah.”

    “Kita akan dapat uang. Betapa senangnya aku.”

    “Ya, setelah hampir 3 tahun lebih aku cari kerja kesana-kemari. Setelah 4 tahun kau mengamen di jalanan…”ucap Junnedy lirih. “Ini awal kebahagiaan. Bayangkan, Rocky, sedih sekali ketika dulu aku cari kerja. Capek. Selalu saja di tolak. Ijasah sarjanaku gak berguna mencari kerja. Aku hidup di jalanan, sampai akhirnya aku ketemu kau, ngamen dan tidur di jalanan. Kau ingat itu, kan? Dan kini malah ada orang menawari uang!”

    Rocky tertawa renyah. Ia mereguk kopi. Rebahan. Lalu tersenyum sendirian. “Junnedy, pengalaman apa yang pernah buat bangga seumur hidup kau?”

    “Bernyanyi di depan umum lalu dipuji banyak orang, baca puisi dalam demonstrasi lalu di kasih tepuk tangan meriah sama dosenku dan temen-temen mahasiswa!”

    “Wah, hebat!”

    “Kalau kau?”

    “Pengalaman indah ketika mengamen dalam bis dan seorang perempuan cantik memintaku menyanyikan lagi lagu bagus. Ia memujiku. Ia tersenyum dan memberiku uang besar sekali!” ucap Rocky dengan muka cerah.

    “Uang? Uang!”

    “Ya, punya uang banyaaaak!!” teriak mereka berbarengan. Mereka tertawa-tawa senang. Keduanya bangkit dari taman dan berlari-lari seperti anak kecil. Mereka bergulingan. Mereka bergandengan tangan. Mulai bernyanyi Indonesia Raya lagi. Lalu tertawa-tawa. Barangkali terlalu luas untuk mengungkapkan kegembiraan mereka dalam kata-kata.



    ***

    Hari kemerdekaan, 17 Agustus, telah tiba. Cuaca cerah. Jalanan berwarna dengan bendera-bendera merah-putih. Di kejauhan, pawai rakyat sepanjang jalan merayap menuju alun-alun kota, suaranya ramai. Mobil rombongan yang ditumpangi Kelompok Paduan Suara Kampus perlahan melaju menuju gedung upacara hari kemerdekaan di tempat lain, di lapangan luar gedung Istana Negara. Kedatangan mereka disambut ramah oleh panitia upacara kenegaraan. Mereka diantar menuju gedung bagian belakang. Rocky gemetar, juga Junnedy. Mereka baru pertama kali mengikuti acara aneh semacam ini. Pengasuh Kelompok Paduan Suara Kampus menghampiri mereka berdua.

    “Kalian siap?”

    “Siap, Bang!” sahut keduanya mulai mantap

    “Oke, aku percaya pada kalian berdua. Ya, semuanya. Mulai atur napas dan suara. Tagakkan keseimbangan tubuh. Pandangan lurus ke depan. Jangan tegang. Kalian siap?!”

    “Siap!!”

    “Ok. Sukses!” seru pengasuh. Mereka pun kemudian mulai mempersiapkan barisan di tempat khusus paduan suara.

    Beberapa menit kemudian, upacara tampak segera akan dimulai. Pembawa acara upacara akbar hari kemerdekaan mulai terdengar bergema. Semuanya sudah lengkap. Tamu undangan. Prajurit upacara. Pasukan pengibar bendera. Pejabat. Microphon. Juru kamera. Semuanya sudah siap. Tak lama kemudian Presiden dan wakil presiden mulai tampak memasuki wilayah upacara. Suasana terasa agung. Acara satu demi satu mulai berjalan khidmat. Sampai tibalah saatnya regu Paduan Suara Kampus akan menyanyikan lagi Indonesia Raya. Saat bendera dibentangkan. Saat kaki prajurit ditegapkan. Kelompok paduan suara berdiri tegap. Musik pengiring mulai terdengar, dan tangan-tangan memberi hormat.

    Rocky menatap langit, juga orang banyak di depannya. Rasa bangganya menggeliat, lebih beberapa tahap dari rasa bangganya ketika acara Agustusan tahun lalu. Kini, betapa orang-orang di kampung akan melihat dalam televisi bahwa ia akan menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan penampilan yang rapi dan gagah. Dia tak menyangka moment paling istimewa ini akan terjadi seumur hidupnya. Seolah-olah kebahagian paling sejati telah terbuka. Seakan tiba-tiba udara segar kebahagiaan mulai menghapus pengap hidupnya selama ini. Tak perlu lagi ejekan masyarakat padanya. Tak ada lagi kesulitan hidup. Tak ada lagi kemiskinan. Lagu Indonesia pun mulai dinyanyikan. Suaranya randah dan merdu. Rocky ingin memberikan penampilan yang terbaik hari ini.



    Indonesia, tanah airku…

    Tanah tumpah darahku…



    Bergetar perasaan Rocky pada peristiwa ini. Nyanyi? Presiden? Uang? Pekerjaan? Tepuk tangan? Rocky tersenyum gembira. Ia perindah suaranya. Semangat hidupnya menggeliat. Kehormatan. Harga diri. Keistimewaan. Panggung Agustusan. Orang banyak. Pujian. Kebanggaan dan Rocky ingin membuatnya lebih…lalu tiba-tiba di tengah-tengah lagu Rocky keluar dari barisan dan ia membaca puisi keras-keras, tepat di depan kamera. Karuan semua orang terkejut. Mereka yang bernyanyi kaget. Tubuh mereka berkeringat dingin. Bergetar. Nyanyian gemetar. Muka mereka pucat! Tapi Rocky terus membaca puisi dengan senyum rekah dan wajah bangga.

    Upacara sedikit kacau. Beberapa petugas dan panitia upacara mulai kasak-kusuk mengamankan Rocky. Seribu pandangan tertuju dan seolah-olah meninju. Rocky bingung. Dia diseret ke belakang, masuk gedung, dijatuhkan di ruang sempit, dibentak, di pukul-pukul…

    Mereka, Junnedy dan Rocky, diusir dengan kasar. Lalu kembali ke jalanan. Tanpa uang sepeserpun…

    “Kau perlu tahu, Rocky, kau membuatku malu, membuatku kecewa. Kau bodoh! Itu acara resmi kenegaraan, bukan Agustusan! Tadi lagu Indonesia Raya, bukan dangdutan! Kau tak perlu baca puisi. Disana gak ada tepuk tangan! Kau hancurkan harapan kita dapat uang, dapat pekerjaan! Setahun sekali kita bahagia. Setahun sekali orang-orang seperti kita dibutuhkan. Selebihnya miskin, bokek, pengangguran! Dan mereka gak akan peduli! Gak akan peduli! ”

    Rocky mematung. Dengan jalan gegas, Junnedy meninggalkannya. Pawai belum reda. Betapa riuh suara rakyat. Bisingnya memabukkan. Rocky ingin pulang, berjalan kaki sendirian, tanpa sepeser uangpun. Hatinya sakit. Di sebuah gang, ia terduduk lemas dan tiba-tiba menangis perih…[]


    Dari pertemuan kecil, Jhellie…

    Sumedang 2007

    0 Responses to “Cerpen: Republik”

    Post a Comment

    Subscribe