Sunday 26 August 2007

0

Waktu dan Keteladanan

  • Sunday 26 August 2007
  • Unknown
  • Share
  • Setiap angka tahun berganti, sebuah mimpi baru direncanakan
    dan setiap ramalan diberi tanda kutip; sebab sebuah repetisi
    terlanjur jenuh untuk kita imani.
    Berulangkali kita butuh gairah faktisitas dan
    kemungkinan-kemungkinan baru.
    Namun, “kini” bukanlah tuhan, “dulu” bukanlah berhala,
    dan “nanti” bukanlah dewa; ketiganya adalah unsur yang
    mesti bermuara pada satu wajah “waktu”—mungkin sebagai
    pelajaran dan kenangan sekaligus variabel-variabel
    kesadaran akan makna dalam ketidakcukupan hasrat yang sublim.

    Tahun baru berulangkali akan lahir. Tetapi kesadaran tidak dengan serta-merta meletakkan sebuah alibi terhadap mata rantai peristiwa dalam kelangsungan waktu. Kita “dikutuk” untuk punya beban menyejarah. Jadi, cukup konyol ketika seorang revolusioner mendewakan masa depan di satu sisi, dan di sisi lain ia hirau pada beban hutang. Cukup aneh pula bila seorang konservatif memberhalakan masa lampau, lalu menafikan kemungkinan-kemungkinan baru yang hadir dan ia tempuhi. Bahkan waktu dapat menggilas pongahnya seorang oportunis dengan kehampaan ruang harapan dan nihilitas kenangan. Begitupun bagi seorang pencinta  mengejar sang kekasih, dari dulu, kini dan nanti; maka waktupun menempatkan makna yang lain disana. Waktu adalah pengertian totalitas meretas parsialitas ruang. Ia terdiri dari unsur-unsur yang saling melengkapi. Time is the syintesis of present, past and future, ucap Luijpen dalam Eksistensial.

    Setiap angka tahun berganti, gema terompet terdengar di sepanjang jalan. Ada ingatan menghimpun silam di tepi kalender yang lewat. Kita mungkin sempat lupa mengganti angka baru di belakang angka lama dalam catatan harian atau lainnya. Tapi angka baru pada akhirnya tetap bukan angka lain untuk merayakan semacam amnesia terhadap peristiwa-peristiwa lalu dan agenda pembenahan. Yang usai bukan berarti selesai. Ingatan sarat peristiwa menjadi labirin yang kerap menginterogasi akal budi dan kesadaran. Mungkin bagi seseorang, tahun baru adalah mimpi buruk, kesepian, air mata, munafik, putus asa, patah hati, brengsek dan nonsense; iapun menyulam romantisisme. Tapi bagi yang lain, tahun baru adalah moment ulang tahun yang paling bagus, peristiwa pernikahan atau kebahagiaan lainnya; iapun mengais optimisme. Thus, setiap jeda waktu (baca:tahun) dapat menegaskan faktisitas yang ragam. Selalu ada anomali dalam menyikapi gelinjang waktu—tak terkecuali mungkin engkau yang terperangkap kebimbangan sebuah pergulatan dan kompromi antara harapan dan kenyataan.

    Persoalan-persoalan, beribu-ribu jamnya, mungkin dapat menjadi timbunan defresi yang tak usai. Ia kadang menjadi agony dalam jamah kesadaran. Tahun demi tahun, kita diingatkan tentang harapan, usia, janji, kerja, prestasi, karya atau bahkan kecemasan yang minta ditepati sekedar meyakini kepastian; sementara tugas-tugas menumpuk seperti sampah yang kelak siap akan mengubur nasib kita jika kita enggan menyelesaikannya satu-persatu. Lalu tepat juga apa yang diteriakkan Sir Iqbal dalam puisinya: “Jangan salahgunakan waktu! Waktu adalah pedang!”. Namun, tahun yang baru menghimbau kita mencerna pelajaran dari peristiwa lewat. Nalar telah menafsir waktu: kita mau mengenal masa lalu, menjalani proses hari ini dan menerka masa depan yang misterius. Ketika tahun berganti, ungkapan Santayana terdengar menarik: setiap yang tak mengenal masa silam, akan dihukum untuk mengulanginya. Tapi, lagi-lagi, masa lampau bukanlah berhala. Memberhalakan masa lampau sama lemahnya dengan orang yang tak berani menghadapi perubahan. Lalu “Bakar masa lalu!” hasut Nietszche. Bahkan, kata orang bijak, orang yang tak mengubah pendiriannya adalah seperti air tergenang dan menghasilkan pikiran yang busuk, Naudzubillah! Namun, bagaimanapun juga, tahun yang lewat adalah cermin bagi kita untuk berkaca pada peristiwa-peristiwa yang terjadi. Masa lampau menjadi teladan bagi kini. Hari ini menjadi teladan bagi hari nanti. Kita-kini menjadi teladan bagi mereka-nanti. Maka, kini harus memberi pelajaran untuk nanti. Sebab kita akan gugur. Kita akan tua dan—meminjam baris puisi Amir Hamzah: “lalu waktu, bukan giliranku…” Mungkin saja tahun baru kelak adalah peti maut bagi kita; maka berkaryalah dan berartilah agar menjadi teladan!. Sebab keteladanan memang sangat penting dalam estafeta bergulirnya zaman; karena jangan-jangan benar apa yang dikhawatirkan Kuntowijoyo bahwa kita mengalami krisis keteladanan. Kita tak dan atau enggan menemukan keteladanan pada orang-orang di masa silam. Maka, lanjut Kunto, kita butuh semacam keteladanan, sebuah exemplary centre, pada orang-orang dulu, peristiwa-peristiwa dulu, bagi kini dan untuk nanti.

    Setiap tahun berganti, memang bukan sekedar perubahan angka, tentu saja. Ada sesuatu yang sakral dalam pergantian angka, perubahan ruang—semacam pola kosong yang mesti tak henti di beri motif dan makna. Kita menyusuri koma, mencari titik (atau mungkin juga tak ada titik?). Selalu ada misteri positif dalam ruang dan waktu yang patut kita telusuri untuk benahi jati diri dikemudian hari. Karena, sebagai manusia yang mengklaim diri sebagai manusia religius, kita dengan serta-merta tengah menerima sebuah konsepsi heterogenitas-waktu sakral—mungkin seperti ala Eliade; kita berproses dalam “ereksi” spiritualitas dan berakhir pada “orgasme” ilahiyah. Sebab homogenitas-waktu profan ala non-religius, desakralisasi dan menon-aktifkan sinyal spiritualitas kita terhadap Tuhan, niscaya bikin kita terasing dalam kehidupan dunia.
    Setiap tahun baru harus meniscayakan kelahiran generasi yang mampu memahami sebuah keteladanan yang terbaik; mampu menerima detik-detik waktu yang sakral. Let gones be by gones. Tapi jangan pecahkan cermin. Biarlah optimisme hadir dan jaga penting arti sebuah harapan dan perubahan. Kita mencoba belajar menggali keteladanan dan kearifan masa lalu; menggali hikmah dari lubuk waktu; berproses menyusuri ilmu dalam setiap tikungan waktu. Sebuah hadist Nabi jauh hari mengajari kita tentang keyakinan dan proses: carilah ilmu ke negeri berperadaban tinggi; carilah ilmu dari keteladanan terbaik. Rayakan gerak dan kesadaran dalam persetubuhan masa lampau, masa kini dan masa depan. Sebab fitrah kita akhirnya ingin tetap berakhir pada titik kemesraan: kenangan dan harapan untuk bahagia. Selalu ada penghargaan yang dinamis pada kondisi yang lebih baik. Walhasil, jika waktu adalah ladang keteladanan, maka bekerjalah menanam pelajaran dan kelak memanen hasilnya. Sebab mempelajari keteladanan dapat berarti mengukur diri dalam kebaikan. Paelajarilah kesalahan yang lewat dan bergegaslah menolak menjadi keledai, menepi untuk tak jatuh berulang pada lubang yang sama.

    Mari kita berbuat sesuatu yang terbaik dan berkaryalah di hari ini untuk menjadi teladan bagi hari kemudian. Selalu punyai hasrat akan perubahan ke arah yang lebih baik; agar kelak kehadiran kita menjadi pelajaran bagi kini dan masa depan. Mudah-mudahan. []

    Cipadung, 2005-2006

    0 Responses to “Waktu dan Keteladanan”

    Post a Comment

    Subscribe