Friday 24 August 2007

0

Poligami: Politik Gairah Suami

  • Friday 24 August 2007
  • Unknown
  • Share
  • TAHUN 2006 yang lalu, kita kembali dikejutkan dengan jebolnya “tanggul” perdebatan yang lebih massif tentang poligami. Gegap-gempita perdebatan yang melelahkan itu hadir ketika seorang dai kondang mempraktikkan jenis pernikahan tersebut. Tak ayal, bak kisruh soal smackdown, poligami pun jadi pembicaraan hangat yang dikonsumsi banyak media dan kalangan masyarakat luas dari mulai anak-anak, ABG sampai orang tua. Tentu saja, tanggapan masyarakat terhadap tokoh publik itu jadi ragam, ada banyak umat yang sepakat, tak kalah banyak juga umat yang melaknat. Bagi yang melaknat—kebanyakan aktivis perempuan—praktik poligami yang selama ini diminati banyak laki-laki berpotensi besar melukai dan melecehkan kaum perempuan. Lebih tegas mereka menganggap bahwa poligami akhirnya merupakan salah-satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Mengutip Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan pasal 11, menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat—atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan baik secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan-perbuatan tertentu, dan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.

    Mengacu pada definisi diatas, Jurnal Perempuan [No. 31/2003] memasukkan poligami sebagai kekerasan terhadap perempuan berdasarkan salah satu data LBH APIK Jakarta (tahun 2003) yang mengungkapkan bahwa poligami telah melahirkan dampak tertentu bagi isteri. Dampak yang paling dialami adalah isteri tidak lagi diberi nafkah (37 orang), isteri diterlantarkan atau ditinggalkan (23 orang), isteri mengalami tekanan psikis (21 orang), isteri dianiaya secara fisik (7 orang), pisah ranjang (11), mendapat teror isteri kedua (2 orang) dan diceraikan (6 orang). Data tersebut diambil dari isteri yang melapor, belum lagi isteri yang takut melapor atau isteri yang [di]manut[kan] menerima perlakuan diskriminatif dari suami dalam institusi poligami; bahkan ia tak berani untuk sekedar speak out atau menyuarakan derita yang terjadi. Disisi lain, kita tahu, tak sedikit dari kaum laki-laki masih gemar poligami dengan perasaan tak risau, dari mulai rakyat biasa, dosen, pengusaha sampai ulama.


    Dari Kuasa ke Internalized Oppression

    Kenapa seseorang mesti poligami? Pertanyaan itu harus diajukan pada semua lelaki yang mulai punya niat berpoligami. Sebenarnya selama ini permasalahan poligami hanya dipahami dari sudut kepentingan lelaki belaka. Meski pada kenyataannya, para pelaku poligami bersikukuh membela poligami dan mencari pelbagai legitimasi dari aneka sumber. Tentu saja, masih meruyaknya legitimasi dalam fenomena poligami mengakibatkan kian kokohnya praktik itu terjadi masyarakat. Lewat legitimasi—baik legitimasi kultural, sosial, ekonomi, atau agama—kepentingan politik gairah suami mendapat pembenaran dan akhirnya meresap lebih lebar dalam sulbi kesadaran perempuan. Sampai sini dapat dipahami bahwa poligami merupakan bentuk konstruksi kuasa laki-laki yang mendaku superior dengan nafsu menguasai perempuan; disisi lain, lagi-lagi faktor biologis atau seksual juga mendominasi bahkan demi prestise tertentu. Dalam hal itu, gairah lelaki (suami) punya peluang membangun siasat untuk memenuhi keinginan dan kepentingannya. Jikapun penolakan isteri muncul, ia mesti berhadapan dulu dengan “konsep kepatuhan isteri kepada suami” (disobidience to the husband) yang mesti dijalani oleh isteri tanpa ruang lebar untuk kritis; melenceng dari itu—dalam beberapa kasus—tak segan vonis “durhaka” (bahkan kekerasan fisik) mesti ditelan perempuan karena dianggap tidak patuh terhadap suami dan tidak teguh iman menerima “rahmat” poligami. Selain itu, rayuan “jaminan syurga”, “sunah Rasul” acap dibalutkan pada pola pikir perempuan. Akibatnya, perempuan tak mampu mendefinisikan dirinya. Logika dominasipun muncul, jika suami bahagia berpoligami, isteri harus patuh dan ikut bahagia. Tak heran jika banyak perempuan menerima poligami bahkan bersedia membelanya sekedar ingin kepuasan mendapat citra “perempuan solehah”—versi laki-laki—yang patuh pada suami, hukum dan tafsir sepihak dalam agama .
    Disinilah tirani politik birahi laki-laki bermain dan akhirnya menjadi ekspresi anggun sebuah kekuasaan atas perempuan. Segala cara mereka lakukan untuk melestarikan poligami dari mulai merumuskan hukum yang seksis, merekayasa kesadaran perempuan, mengkonsumsi tafsir misoginis sampai politisasi ayat-ayat kitab suci. Pribadi dan seksualitas perempuan dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan laki-laki dan dikontrol lewat jejaring indoktrinasi. Dampaknya, perempuan dengan begitu saja menerima setiap ready made values, setiap nilai dan tafsir yang telah dikonstruksikan oleh selera hasrat-hasrat hegemonikal laki-laki sepanjang sejarah. Mengenai hal itu, ada catatan menarik dari LBH-APIK tentang korban poligami, bahwa adanya fakta bahwa sejumlah perempuan yang menerima poligami tidak menghilangkan hakekat diskriminasi seksual dalam institusi poligami tersebut dan penerimaan mereka terhadap poligami adalah bentuk “internalized oppression”. Artinya, sepanjang hidupnya korban poligami telah disosialisasikan pada sistem nilai yang diskriminatif dan menekan bawah sadarnya (unconsciesness). Ada legitimasi dan doktrinasi basi, rantai nilai-nilai dan hukum “meusum” yang selama ini dirumuskan untuk membungkam kesadaran perempuan, hingga korban poligami kebanyakan tak menyadari pelecehan yang menimpa dan menempanya.

    Dicari, lelaki yang bisa adil!

    Is poligamy allowed in the Qur`an? Is it legal?
    Soal legitimasi, sudut agama memang yang lebih marak dipakai pelaku untuk mengabsahkan praktik poligami. Bagi kaum muslim, anda jangan sumringah dulu menemukan sepotong ayat al-Qur`an yang seolah-olah membolehkan poligami. Soal munculnya wacana poligami dalam kitab suci memang wajar. Faktanya, perempuan kala itu dalam kondisi terpinggirkan. Konon, Al-Qur`an merekam praktik itu sebab ia adalah jawaban terhadap realitas sosial masyarakat saat itu. Thaha Husein (1889-1950) dalam Fi Syi’r al-Jahili (tt. h. 25-33) misalnya, dengan berani mengambil hipotesa bahwa al-Quran pada dasarnya adalah cermin budaya masyarakat Arab Jahiliyah (pra-Islam). Karena itu, seruan poligami dalam teks itu harus dipandang sebagai sebuah proses yang belum final dan masih terbuka bagi “pembacaan lain” sesuai dengan konteks sosial kontemporer. Jika hipotesa Husein dikembangkan, akan dijumpai pemahaman bahwa al-Quran sesungguhnya adalah respon terhadap berbagai persoalan umat kala itu. Sebagai respon, tentu saja al-Quran menyesuaikan dengan keadaan setempat yang saat itu dipenuhi dominasi budaya patriarki (ideologi laki-laki). Pelarangan poligami yang absolut untuk konteks masayarakat kala itu amat tidak mudah. Oleh karena itu al-Qur`an mengambil cara—meminjam istilah Asghar Engineer—ideologis pragmatis. Kini keadaannya sudah berbeda; baju ketat penafsiran terhadap ayat dalam konteks tempo dulu sudah tak layak pakai untuk pertumbuhan konteks kekinian.

    Muhammad Abduh (1849-1905) turut menambahkan, poligami telah dipraktikkan secara luas oleh kaum Mukmin generasi terdahulu (as-Salaf ash-shâlih), tetapi kemudian berkembang menjadi praktik penyimpangan hawa nafsu yang tak terkendali, tanpa rasa keadilan dan kesamaan sehingga tidak lagi kondusif bagi kesejahteraan masyarakat. Lantas, masih menurut Abduh, alasan dibolehkannya poligami di masa awal generasi Islam saat itu karena jumlah laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan akibat banyak yang mati di medan pertempuran. Dengan dalih melindungi dan mengayomi, laki-laki dibolehkan menikahi perempuan lebih dari satu. Juga dengan begitu penyebaran Islam semakin cepat dengan terus menambah jumlah pemeluknya. Sebab perempuan yang dinikahi diharapkan masuk Islam beserta keluarganya. Selain itu, dengan poligami kemungkinan pecahnya konflik antar-suku dapat dicegah. Saat ini, keadaan sudah jelas banyak berubah; justru poligami melahirkan banyak persoalan yang mengancam keutuhan bangunan mahligai rumah tangga. Sering timbul percekcokan. Belum lagi efek domino bagi perkembangan psikologi anak yang lahir dari pernikahan poligami yang seringkali tak disadari. Sering mereka merasa kurang diperhatikan, haus kasih sayang dan, celakanya, secara tidak langsung dididik dalam suasana yang kedap perselisihan dan percekcokan tersebut. Karena itulah Abduh jelas-jelas melarang praktik poligami mengingat syarat adil yang diminta teks tidak mungkin bisa dipenuhi. (Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar IV, tt. h. 347-350)—seluruh pendapat itu jelas kontras dengan kalangan skripturalis yang menganggap poligami sebagai ajaran Islam yang abash sepanjang masa.

    Terkait dengan pendapat Abduh diatas, tentu saja, disini asas keadilan yang dibebankan pada pernikahan poligami bukan sekadar keadilan kuantitatif semacam pemenuhan materi (nafkah lahir) atau waktu gilir antar-istri. Tetapi ada hal yang sangat penting, yaitu mencakup keadilan kualitatif yang hakiki (kasih sayang dan cinta yang merupakan fondasi dan filosofi utama kehidupan rumah tangga). Hal itu sesuai dengan kandungan dalam term yang diajukan al-Qur`an, yaitu `adâlah, yang bermakna lebih kualitatif, bukan qisthun—nah, inilah yang sangat-sangat susah. Bagi sejumlah pemikir muslim, lagi-lagi keadilan yang amat ketat itu tidak mungkin bisa terpenuhi oleh seorang laki-laki. Sebab itu, mengapa di ujung ayat yang sering dijadikan dasar bagi kebolehan (mubahah) praktik poligami, Allah mewanti-wanti, “Dan apabila kamu takut tidak bisa berbuat adil, maka nikahilah seorang saja” [QS 4 :3]. Itu berarti ideal moral yang dicanangkan al-Quran adalah praktik monogami. Pertanyaannya, siapa lelaki angkuh di dunia ini yang merasa sudah mampu adil hingga amat berminat poligami? “Dan sekali-kali kamu tidak akan dapat adil diantara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung…” [An-nisa:129]

    Dalam kasus poligami Rasulullah, rasa adil itupun tak begitu utuh. Konon, Aisyah sempat cemburu karena dalam hampir curhatnya Nabi selalu menyebut Khadijah. Aiyah juga pernah bertengkar dengan Hapsah karena Rasul lebih menyayangi Aisyah. Tak kalah penting, seperti diungkap Hilaly Basya, ketua Departemen Kajian Islam Youth Islamic Study Club Al-Azhar, bahwa ayat Annisa 129 belum turun ketika Nabi mulai poligami. Muncullah dilema kalau Nabi akhirnya menceraikan isteri-isterinya. Pasalnya, isteri-isteri beliau berasal dari suku-suku yang berbeda. Jadi ada pertimbangan politik: kalau dicerai semuanya akan memecah belah suku yang sudah bersatu tersebut. Pun selain Aisyah—setelah wafatnya Khadijah—perkawinannya dengan Hafsah binti Umar, Umm Habibah binti Abu Sufyan, Juwairiyah dari Bani Musthaliq dan lain-lain, utamanya merupakan perkawinan politis, meskipun motif kasih sayang tetap melekat dalam perkawinan itu (Bint Asy-Syathi, Tarajim). Lebih lanjut Hilaly Basya menyambung pendapatnya diatas, bahwa sebenarnya Nabi punya semangat poligami yang berbeda dengan poligami sekarang. Perempuan yang dinikahi adalah janda punya anak atau yatim. Pada waktu itu, janda dalam masyarakat Arab tidak punya akses apapun ke masyarakat, berbeda dengan janda sekarang. Kini poligami sudah tak sejalan dengan moral al-Qur`an. Kini poligami lebih berdampak kemadharatan ketimbang kemaslahatan. Bukankah Tuhan tidak menyukai hambanya yang senang berlebihan? Sebab poligami kini tak lebih dari tirani birahi laki-laki yang mengeksploitsi perempuan atas nama Tuhan—alih-alih billahi, justeru birahi yang berkedok tafsir agama. Poligami kini hanya mimikri-miniatur penuh carut-marut dari semangat poligami kaum musyrik Arab pra Islam, dengan kecenderungan hura-hura libido yang wajib dapat ganjaran perlawanan.


    Sekedar Penutup: Menyelami Monogami

    Sejauh ini perjuangan menentang poligami selalu saja mendapat kendala yang sepele. Tentu saja, bukan hanya karena sistem dan nilai-nilai patriarkal yang menguasai mindset laki-laki, tetapi juga karena sistem dan nilai yang sama juga menguasai mindset perempuan, sehingga hilangnya keberpihakan kaum perempuan pada kaum mereka sendiri. Mereka tak sadar, bahwa dalam poligami banyak terjadi pengabaian hak-hak kemanusiaan yang banyak dirasakan korban poligami, tetapi dari yang banyak itu, kasus-kasus kekerasan dalam poligami masih saja tenggelam seperti dasar terbawah fenomena gunung es. Memang ada sebagian pelaku yang dapat memeberikan pengalaman yang nyaman tentang praktik poligaminya, tetapi itupun memakai standar dirinya sebagai pelaku poligami. Meskipun begitu, perjuangan menolak setiap perbuatan yang dapat melecehkan perempuan harus terus digulirkan. Kita ingat semangat cucu-cicit Husein anak Ali yang melakukan gerakan anti poligami dinegaranya. Tak kalah juga Aisyah bin Thoha, keponakan Aisyah isteri Rasul yang begitu lantang menentang poligami. Zaman sudah berubah, perempuan zaman sekarang sudah cerdas memahami keadilan dan kritis pada kondisi ketimpangan. Perempuan hari ini mesti melakukan “ex-sentralisme”, yaitu keluar dari grand narrative patriarki yang meletakkan laki-laki sebagai pusat kuasa dalam segala hal.

    Kinilah saatnya kita tak lelah membebaskan perempuan dari supremasi dan eksploitasi kaum laki-laki, menolak “mengubur hidup-hidup” perempuan dan mulai bertanggung jawab untuk segera menghentikan pusaran penindasan (circle of opressions) yang tak henti melanda kaum perempuan akibat kedzaliman politik gairah suami yang berdalih agama. Perempuan mesti keluar dari kungkungan tafsir yang melulu memanjakan kepentingan laki-laki. Kita mesti mencitra ulang perempuan dalam ajaran dan tafsiran teks kitab suci. Ayat-ayat al-Quran bukan barisan kalimat dalam poster iklan yang dapat diraih sekali baca. Al-Qu`ran tak miskin makna dan ia butuh pemaknaan mendalam yang lebih manusiawi.

    Walhasil, orang bijak Habib Bu Ruqayba pernah mengungkapkan: “Keluarga adalah tonggak masyarakat, dan keluarga dapat berhasil dengan baik hanya dengan dasar saling menghormati dan menghargai antar pasangan. Salah satu bentuk untuk saling menghormati dan menghargai adalah dengan melaksanakan pernikahan monogami.” Tentu saja, menuju monogami bukan hanya pelayaran harapan ingin mengangkat derajat dan martabat perempuan, tetapi lebih dari itu, adalah untuk menyelami hubungan monogami yang dapat menciptakan suasana saling menghargai dan menghormati antara pasangan sebagai usaha maksimal untuk melahirkan anak-anak yang baik. Wallahu `alam bissawab []

    0 Responses to “Poligami: Politik Gairah Suami”

    Post a Comment

    Subscribe