Tuesday 10 April 2007

0

Cerpen: Taman Air Mata 2

  • Tuesday 10 April 2007
  • Unknown
  • Share
  • II
    Sukidi mulai heran, baru pertama kalinya selama beberapa bulan bertugas menjaga taman, dia menemukan pemuda seaneh itu. Apalagi jarang orang yang mau berlama-lama tinggal di taman. Awalnya Sukidi menyangka pemuda itu orang sinting, tetapi kemudian Sukidi percaya bahwa pemuda itu berakal sehat. Dia lumayan ramah. Bicaranya lancar dan teratur. Tetapi pemuda itu kelihatannya pendiam. Kepribadiannya seperti sepi. Pun beberapa hari terakhir ini Sukidi jarang melihat ia makan. Tapi ia kelihatannya hobi minum air putih, berbotol-botol ditenggak, berbotol-botol diguyurkan ke seluruh tubuhnya. Meski aneh, Sukidi mulai kasihan melihat pemuda itu. Ia jadi ingin tahu apa yang terjadi dengan anak muda itu. Suatu malam, Sukidi menghampirinya.
    “Sebenarnya apa yang ingin kau lakukan disini, Anak Muda?” Tanya Sukidi. Anak muda itu terdiam lama. Lalu ia menghela napas panjang.
    “Aku ingin membuat sebuah patung seorang perempuan paling indah.”
    “Untuk apa?”
    “Entahlah, mungkin untuk seseorang?”
    “Hm, seseorang? Apakah dia seorang penikmat seni? Atau pejabat? Atau kawanmu? Atau seorang duda seperti aku?” Tanya Sukidi. Yang ditanya tertawa kecil, lalu berdiri, kepalanya tengadah ke langit malam. Tak ada bintang-bintang. Hanya sesekali ada kepak kelelawar melintas menggaris langit.
    “Dia kekasihku…” sahut anak muda itu lirih. Sukidi menghela napas panjang.
    “Siapa namanya? Tanya Sukidi kemudian.
    “Namanya Delaila.”
    “Dimana dia sekarang?”
    “Entahlah…”
    “Maukah kau menceritakan sebuah kisah tentang kalian?” Pinta Sukidi. Anak muda itu tersenyum. Lama hening. lalu akhirnya ia mulai bercerita.
    “Baiklah. Dulu, hampir setahun lamanya, sebelum pos jaga itu berdiri dan sebelum Pak Tua menjaga taman ini, aku sempat menjalani masa muda disini, di taman ini. Aku salah satu pekerja termuda yang membangun taman ini. Awalnya taman ini dibangun sebagai simbol keindahan kota, tapi pemerintah setempat tak serius merawatnya dan mempercantiknya. Hingga tak ada orang yang tertarik dengan tempat ini. Kemudian akulah yang tertarik dengan tempat sepi ini. Berhari-hari aku duduk disini. Sampai suatu hari aku menyukai seorang perempuan muda yang mungkin telah ribuan kali lewat di depan taman ini, ribuan kali melintas gegas dalam ingatanku. Beberapa hari kemudian aku memberanikan diri menyapanya. Betapa aku merasa tiba-tiba waktu seakan-akan mempertautkan dia jadi separuh bagian diriku. Kami berdua akhirnya saling mengenal. Aku bicara banyak padanya, tapi dia bicara sedikit padaku. Lalu hari-hari telah kami habiskan disini. Betapa gembira aku menemukan seseorang yang mau mengurai kesepianku. Sampai akhirnya aku benar-benar jatuh cinta padanya…” Anak muda itu sejenak berhenti bercerita. Matanya terlihat tajam menusuk langit. Lalu dia melanjutkan.
    “Suatu hari, aku mengatakan rasa cinta padanya dan mengajaknya untuk menikah. Saat itu dia tampak terkejut bukan main. Kenapa seseorang harus terkejut mendengarnya? Aku tahu, meskipun hanya kata, segala sesuatu akhirnya mempunyai dorongan yang kuat, ragam realitas, masa depan, nasib, ancaman sekalipun dan sebagainya dan sebagainya. Ketika aku tanya apakah dia mencintaiku, dia diam. Lalu aku tanya apakah dia mau menikah denganku, dia juga diam. Aku gentar. Siapa berani bermain dalam kebisuan? Siapa berani bermain dengan misteri? Siapa berani bermain dalam ketidakpastian? Tanya dalam bentuk apapun akhirnya seperti semacam hasrat yang mesti terpenuhi. Kita memang tak dapat membunuhnya, kita hanya mampu melumpuhkannya. Kita tak dapat mengelak darinya. Betapa kita butuh jawaban untuk semua hal.”
    “Lalu?”
    “Aneh memang, beberapa minggu kemudian ketika aku tanya dia apakah mau jadi kekasihku, dia mau, dia sepakat. Tapi ketika aku tanya dia lagi apakah dia mencintaiku dan mau menikah denganku, dia tetap diam, dia tak mau menjawab, dia bungkam. Pak Tua…dia tak pernah mengatakan cinta padaku. Awalnya aku merasa terikat temali keraguan yang sangat kuat. Aku heran, ruang yang aku berikan padanya telah ia masuki tanpa memenuhi semacam prasyarat. Padahal ruang itu begitu dahaga, sudah terlalu tega dalam duga. Seperti ruang dunia yang menuntut tanya. Atau seperti ruang ayat-ayat suci yang butuh tafsir… ”
    “Lalu?”
    “Setelah itu kami menjalani keseharian, detik demi detik, menit demi menit, bulan demi bulan. Aku kian percaya bahwa aku benar-benar telah jatu cinta padanya. Mungkin ia juga perlahan telah jatuh cinta padaku, meski dia tak mengatakannya. Ada yang lebih tinggi dari kata, itulah dalihnya; semesta dapat diterka tanpa kata; semesta dapat terasa tanpa kata. Tapi jangan salahkan jika seseorang begitu gelisah karena kesulitan untuk menyebut sesuatu. Ya, kami jalani kebersamaan dengan berani. Berulangkali kami membuat janji untuk bertemu. Ah, waktu seperti lipatan kartu. Aku berkelahi dengan banyak terka. Aku berkelahi dengan banyak prasangka. Aku merasa bergelut dengan sesuatu yang rapat tersembunyi. Tak ada kata yang seharusnya dapat menata pepuing purbasangka. Hingga selalu aku ingin berlari lebih cepat dari misteri. Selalu aku ingin lebih berkuasa dari bahasa. Selalu ingin aku lebih menang dari ketidaktahuan. Tapi, aku hanya gelisah setiapkali kesulitan menebak beberapa detik kedepan. Beribu kali aku melihatnya lewat di taman ini, dan aku bicara panjang. Beratus kali aku melihatnya lewat di taman ini, dan aku hanya bicara sebentar. Berpuluh kali aku melihatnya lewat di taman ini, dan ia hanya tersenyum. Sempat dia bilang, dia punya banyak pekerjaan. Selebihnya, aku hanya menjumpai seorang perempuan yang lebih banyak bicara dengan matanya. Apa yang sebenarnya terjadi dalam hati, aku tak pernah tahu. Sebab perasaannya tak banyak terwakili kata-kata. Bukankah kata-kata demikian menghibur? Selalu aku gemetar dalam helai-helai tipis yang membedakan dua kenyataan, dua definisi, dua istilah—seperti kesulitanku membedakan mana berjalan dan mana berlari. Waktu memberiku bias gerak. Dan hati, juga pikiran, demikian terbuka merayakan macam-macam prasangka… ”
    “Terakhir kali kami bertemu disini, dia bilang aku masih kekasihnya. Tapi ketika aku tanya lagi apakah dia mencintaiku, dia masih diam. Ketika aku tanya juga apakah dia mau menikah denganku, dia masih bungkam. Aku tak tahu, dimana dia tempatkan perasaanku dan dimana ia tempatkan perasaannya sendiri. Ia seperti meneguhkan jarak-jarak tak bernama. Tak jelas kuringkas petanda dalam diamnya. Aku tak percaya diri. Tapi dia hanya memberiku sebuah arloji, mungkin sebuah jawaban simbolis bahwa aku harus menunggu jawaban yang sebenarnya. Entahlah. Tapi aku bilang, aku ingin tetap menunggunya. Aku ingin tahu apakah ia mencintaiku. Maka aku mengajaknya bertemu lagi di taman ini esok harinya untuk memberiku sebuah jawaban, tapi dia bilang ada pekerjaan. Aku bilang dua hari lagi, dia tak bisa. Aku bilang sembilan puluh sembilan hari lagi, dia tak setuju. Tapi akhirnya kami sepakat, kami akan bertemu lagi setelah dua puluh empat bulan lamanya. Kelak kekasihku akan memberiku kepastian dan jawaban. Sejak saat itu, dia tak pernah lewat lagi kesini, sampai hari ini. Tapi aku berjanji padanya akan membuatkan sebuah patung yang indah di taman ini, karya terbesarku. Kelak, ketika ia datang, patung itu harus beres…”
    “Hm…”
    “Pak Tua, aku akan tetap menunggunya. Aku yakin dia datang…”
    “Ya, akupun yakin, Anak Muda, kelak dia akan datang ke taman ini.” Sukidi tersenyum. Malam kian kelam. Angin kian dingin. Satu-dua hujan jatuh, lalu tiga, lalu sembilan dan seterusnya dan seterusnya.
    “Anak muda, hujan akan segera turun. Mungkin akan deras. Mari berteduh di pos jaga.”
    “Tidak, Pak Tua, ini kali aku rindu mandi air hujan.” Ucap Anak muda itu sembari membuka bajunya. Tak lama, hujan pun turun deras. Sukidi berlari menuju pos jaga. Lama dia melihat anak muda di taman itu.
    “Anak muda! Kemarilah berteduh! Bawa juga tanah-tanah liat itu! Lumayan sudah setengah jadi! Aku tak mau melihat pekerjaan patungmu itu hancur diinjak-injak hujan!” Sukidi terdengar berteriak-teriak dari pos jaga.
    “Tidak, Pak Tua! Aku disini saja! Patung ini juga disini, biar perlahan hancur! Aku berharap agar esok bekerja lebih kuat lagi! Aku ingin terus bekerja! Agar hari-hari tak terasa! Agar bulan-bulan tak terasa! Agar hitungan tahun tak terasa! Agar rindu tak binasa! Agar harapanku penuh kenikmatan yang panjang! Agar aku berjumpa banyak kemungkinan!” sahut anak muda itu dengan gelak tawa, menyaingi gemuruh hujan. Sukidi hanya menggelengkan kepalanya. Sukidi melihat anak tingkah anak muda itu. Sukidi melihat hujan deras. Sukidi melihat tanah-tanah liat yang telah terbentuk itu perlahan seperti leleh, menjadi kembali remeh…

    III
    Hari berganti hari, dan bulan-bulan bertumpuk membentuk tahun dan seterusnya. Anak muda itu terus membentuk patung, terus bermain dengan tanah liat dan puisi. Siang berganti malam dan hujan turun lebat, ia tampak berdiri tegak ke langit, merentangkan tangan dan berteriak sekeras-kerasnya. Tubuhnya basah kuyup. Sukidi lama-kelamaan cukup kesal melihatnya. Betapa tidak, siang malam anak muda itu bekerja dan berharap membentuk patung, tapi ia biarkan bentuk patung itu rusak di terjang hujan. Dibentuk, dibiarkan rusak. Dibentuk, dibiarkan rusak, dan seterusnya dan seterusnya. Apalagi anak muda itu jarang makan. Makanannya puisi dan teriakan. Sukidi merasa ada perasaan semacam ngeri merambat di rongga-rongga dadanya. Sukidi mulai sangat khawatir.
    “Kenapa kau jarang makan? Kenapa kau tak mau tidur enak? Kenapa kau menyiksa diri seperti ini?” Tanya Sukidi akhirnya.
    “Entahlah, Pak Tua, awalnya aku ingin merasakan kenikmatan rasa rindu dan harapan dengan utuh, tanpa campur tangan kenikmatan tubuh. Aku merasa ada sesuatu yang lain, sesuatu yang mesti dinikmati terlepas dari yang lain. Ah, tapi bentuk penyiksaan diri ini jadi tak merasa membuat diri ini sakit…” Ucap pemuda itu sembari tertawa kecil. Sukidi tambah kesal mendengar jawabannya. Lalu kenapa Sukidi menyibukkan diri merasa peduli padanya, merasa khawatir padanya, toh dia bukan anaknya? Entahlah, Sukidi juga tak paham, mungkin naluri kemanusiaan. Karena rasa khawatir itulah, Sukidi sangat kesal. Kenapa anak muda itu amat keras kepala? Kenapa anak muda itu menyiksa dirinya? Tapi, kenapa Sukidi juga menyiksa diri sendiri dengan bujukkan-bujukkan agar orang lain harus merasa nikmat menurut apa yang ia anggap nikmat, yang kebanyakan orang anggap nikmat?
    Masih saja Sukidi diam-diam tak habis pikir. Kenapa dia tak mau makan? Mungkin jawabannya sederhana: dia tak punya uang untuk membeli sebungkus nasi! Sebab anggapan sederhana itulah, Sukidi keesokan paginya membeli dua bungkus nasi dari uang tabungannya, satu untuk anak muda itu, satunya lagi untuk dirinya. Lalu ia berikan sebungkus nasi, tapi anak muda itu hanya bilang: terima kasih, tanpa sedikitpun menyentuh nasinya, hingga siang datang, hingga malam datang, hingga hujan deras datang. Ya, hujan turun deras tampak mengguyur tubuh anak muda itu, patung itu, nasi itu. Nasi itu…Hanya beberapa menit Sukidi mampu menahan kesabarannya. Selebihnya, Sukidi bangkit dari kursi kayunya. Sukidi berjalan kasar menghampiri pemuda itu. Sukidi membentak.
    “Kenapa kau biarkan tubuhmu tersiksa?! Kenapa kau biarkan patung itu hancur kembali?! Kenapa kau biarkan nasi itu basah?! Aku bekerja menjaga taman ini dan diam-diam mengusir rasa jenuh untuk mendapatkan uang! Aku beli nasi yang mahal! Tapi kau membiarkannya! Kau sinting, heh!?” Sukidi benar-benar memasang wajah marah.
    “Kenapa kau marah-marah, Pak Tua, hanya karena sebungkus nasi yang telah kau berikan dan telah menjadi hakku.”
    “Tapi kau tak menghargai pemberianku! Kau banyak bicara cinta tapi tak memakainya dalam segala hal, dalam sepenuh sikap. Bathinmu dingin! Cintamu palsu, egois!” bentak Sukidi. Anak muda itu bangkit lalu berjalan cepat mengumpulkan nasi yang diberantakkan air hujan itu, yang sudah tak mengundang selera itu. Anak muda itu memakannya dengan lahap, sampai habis tak tersisa. Lalu ia berdiri gemetar menatap tajam Sukidi.
    “Aku sudah memakan habis pemberianmu, Pak Tua.”
    “Kau tak ikhlas memakannya!” Sukidi kesal
    “Kau juga tak ikhlas memberiku!” balas anak muda
    “Kau sinting!” hardik Sukidi.
    “Kau juga!” hardik anak muda itu lebih lantang.
    Sukidi dibakar amarah. Ia tinju muka anak muda itu. Pukulan yang sangat keras. Anak muda itu terjungkal. Ia ambruk. Tapi segera dia bangkit kembali. Awalnya Sukidi menyangka anak muda itu akan menyerang balik dirinya. Tapi anak muda itu tampak berlari ke arah tugu taman dan memanjatnya. Ia lalu berteriak sekeras-kerasnya, dan ia berpuisi: “Aku ingin menjadi Sulaiman yang perkasa dalam lipatan firman Tuhan! Ingin kubakar cinta yang melata diatas tahta dalam tipuan kata dalam tumpukkan harta dalam selubung dusta! Aku ingin bebas dari beribu ringkas batas-batas!” suara itu membahana. Gaungnya mendengung.
    Sukidi tampak gemetar. Sementara hujan kian lebat. Halilintar menggelegar di kaki langit. Anak muda itu kelihatan turun dari tugu, berlari-lari mengelilingi taman menembus larik-larik hujan, berteriak-teriak hingga suaranya terdengar serak. Tak lama kemudian ia menjatuhkan diri dihadapan Sukidi. Berlutut. Tiba-tiba ia bangkit dan menjambak kerah baju Sukidi. Mereka bersitatap tajam. Tubuh mereka berdua basah kuyup. Lalu anak muda itu mendadak menggeram. “Pak Tua, katakan padaku tentang sisa-sisa manusia yang tak tersiksa dusta dunia, tersiksa selaksa luka. Jadikan aku mereka! Jadikan aku mereka!!” Teriak anak muda itu memekakkan telinga Sukidi.
    “Kau tak percaya diri…”desis Sukidi. Anak muda itu mendengus, lalu ia goyang-goyangkan tubuh Sukidi. Ia tekan tubuh Sukidi berulang-ulang. Lebih keras. Lebih cepat. Tiba-tiba amarah Sukidi kembali buncah menghadapi tingkah anak muda itu. Ketika anak muda itu masih berteriak-teriak, Sukidi mendaratkan pukulan sekali lagi di muka anak itu. Anak muda itu ambruk, tak mencoba bangkit lagi. Darah mengalir dari kedua lubang hidungnya, bercampur air hujan. Hanya suara napasnya yang terdengar keras, seperti gemuruh hujan deras, seperti gemuruh lelah. Dada Sukidi turun naik, seperti menopang amarah. Tak ada lagi teriakan. Hanya suara hujan ramai terdengar menyentuh lantai taman, menabuh tanah basah. Tiba-tiba ada rasa sesal menggumpal di dada Sukidi karena telah memukul anak muda itu. Lama ia tatap tubuh lunglai anak muda itu di tanah basah. Hatinya kembali menghalus. Perlahan ia jongkok, tangannya gemetar menyentuh tubuh anak muda itu.
    “Bangunlah. Maafkan aku, Anak Muda.” Ucap Sukidi pelan. “Sebuah pukulan memang bukan sebuah jawaban yang bijak.” Sukidi menghela napas panjang. “Aku tahu, kita selalu rapuh, gemetar dan gamang dalam rasa kehilangan. Kau kehilangan seorang kekasih dan bekerja keras membangun harapan untuk bertemu dengannya kembali dan membahagiakannya. Seperti juga aku, bertahun-tahun kehilangan isteriku, entah kemana dia perginya…” Sukidi terdiam sejenak, “Awalnya akupun menunggunya, tapi aku gagal. Aku juga ingin membuktikan cinta padanya dengan keinginan menerbitkan tulisan-tulisanku. Aku gagal. Aku miskin. Aku bukan orang berpendidikan. Saat itu ingin sekali aku terbebas dari segala kegagalan. Ingin sekali ketika itu aku menjadi Tuhan yang maha kuasa. Aku sempat bosan menunggu cintanya kembali. Aku marah. Dulu, dia pergi karena dia tak tahan hidup denganku. Dia bilang aku miskin. Dia bilang aku hanya seorang penulis yang sengsara. Dia bilang aku PKI. Aku malah berharap diri ini percaya bahwa dia telah mati ketimbang aku menyesali hatinya, menyesali cinta dan kesetiaannya. Aku telah cukup nyeri mencarinya. Aku telah cukup pilu menunggunya. Aku diremehkan. Akhirnya aku sadar, mencari dan menunggunya hanya mampu mempertautkan aku lebih erat dengan banyak ingatan saja, tak lebih. Meski marah, aku tetap mencintainya. Aku mengkhawatirkannya. Aku merindukannya. Aku juga selalu yakin dia sangat mencintaiku, sangat merindukanku, hanya saja mungkin dia lupa. Mungkin tak ada orang yang benar-benar tak mencintai orang lain, hanya saja dia lupa…” ucap Sukidi datar. Matanya berkaca-kaca.
    “Kau pandai menghibur, Pak Tua.” Anak muda yang sedari tadi terkapar itu tiba-tiba bicara. Batuk-batuk. Lalu dia terlihat berusaha bangkit. “Terima kasih atas pukulannya, Pak Tua.” ucapnya sembari tertawa.
    “Maafkan aku…” ucap Sukidi amat menyesal. Anak muda itu mencoba tersenyum. Sukidi merangkul anak muda itu dengar rapat. Begitu lama. Ia seperti kembali mengingat dirinya sendiri ketika usianya masih muda. Ia merasa, ia dan anak muda itu seperti dilahirkan dari rahim kisah yang sama. Sementara hujan belum juga reda.
    “Tidurlah di pos jaga.” Pinta Sukidi sembari melepas rangkulannya.
    “Apakah ada pukulan lagi jika aku membuatmu kesal lagi?”
    “Hm, apakah itu artinya kau menolak ajakanku?”
    “Tepat, Pak Tua.”
    “Terserahlah. “
    “Malam ini, apa kau masih yakin kekasihku kelak akan datang?” Tanya anak muda itu. Sukidi mengangguk pasti. “Jika dia memang mencintaimu, dia akan datang ke tempat ini, menemuimu. Aku akan berdoa untukmu.”
    “Tinggal lima puluh lima hari lagi dari dua puluh emat bulan.” Lirih anak muda itu. Sukidi tersenyum.
    “Patungmu belum beres.” Ucap Sukidi sambil tertawa renyah. Anak muda itu garuk-garuk kepala. Ya, tak terasa waktu berjalan, tahun berjalan, hanya karena malam dan siang dibiarkan saling bersentuhan, berurutan. Sukidi akhirnya melangkah menuju pos jaga. Ia masuk dan segera membuka baju dan celananya yang basah kuyup. Ia mengenakan sarung dan perlahan merebahkan tubuhnya di atas tikar. Hujan lebat lagi. Deras. Sukidi memejamkan mata rapat-rapat, terus berusaha ingin melupakan anak muda itu dari ingatannya. Sebab khawatir. Sebab getir. Jam menunjukkan pukul sebelas lebih lima puluh enam menit. Cukup lama Sukidi kesulitan memulai tidur. Ada banyak hal yang tak bernama bersilangan di benaknya. Sukidi pelan menuju mejanya. Ada banyak hal yang segera harus ia catat. Sebab ia gelisah. Diluar pos, tak lama kemudian, Sukidi lamat-lamat mendengar kembali ada teriakan puisi, seperti mantra-mantra yang saling bersahutan dengan riuh hujan…

    IV
    Cuaca lumayan cerah. Burung-burung kecil hinggap di tugu taman. Matahari terhalang awan, memancarkan sisa garis cahaya di reranting hingga muncul bayangan di diatas tanah, bergoyang-goyang, seperti wayang kulit.
    “Pak Tua, betapa sulit aku membuat patung yang sempurna. Duh, kini aku merasa kesulitan membentuk imajinasi dan ingatan dengan tanah liat.” Keluh si anak muda.
    “Itu karena kau tersiksa dengan keinginanmu akan sesuatu yang mesti sempurna. Barangkali keserakahan memperbudakmu. Barangkali kau tak mencintai hidup.” Ucap Sukidi terkekeh, “Manusia tak akan bisa membuat sesuatu yang sempurna, kecuali Tuhan. Hanya Dia yang bisa membuat segalanya dengan sempurna. Manusia tak bisa berkeinginan sesukanya. Kita diciptakan hanya dari tanah, bisa lepuh dan keriput. Maka rendah hatilah, jangan sombong. Sebab kita juga akan kembali ke tanah. Kita fana, mana mungkin membuat sesuatu yang benar-benar sempurna. Kita tak kekal. Kita kembali akan hanyut pada muasal. Kita tak bisa kekal, karena kita punya awal. Di dunia ini kita sekedar mampir, karena kita punya akhir…” Sukidi memberi wejangan.
    “Padahal aku ingin patung itu begitu halus dan kuat, Pak Tua, seperti batu cadas atau baja, seperti indahnya kulit manusia, agar kelak bertahan bertahun-tahun. Agar kelak bertahan berabad-abad. Agar kelak orang pun jatuh hati padanya. Cukup lama aku membuat patung untuk orang banyak, semuanya tak membuatku puas. Selalu tak puas.”
    “Hm, selalu tak puas adalah sikap yang tidak menyerahkan dirinya dalam hakikat diri. Bukankah cinta tak mengajarkan sikap yang berlebihan? Lakukanlah sesuatu yang memang kau mampu melakukannya. Jangan berharap lebih dari apa yang tak kau mampu. Kita manusia, bukan Tuhan. Ada saja celah salah. Ada saja sesal dan gagal. Kita juga jangan berharap lebih dari apa yang orang lain tak mampu. Bisa berantakan. Jangan-jangan kau tak mencintai pekerjaanmu, hingga selalu tak merasa puas dengan kenyataan…”
    “Hm, nasehat yang lumayan bagus, Pak Tua.”
    “Tapi wajah patung perempuan ini lumayan membentuk. Cantik. Anggun.” ucap Sukidi memberi komentar pada patung karya si anak muda di ruangan luar pos jaga. “Tapi kurang halus.” Tambahnya pula sembari memasang wajah serius.
    “Ya, Mungkin ada sisa beberapa hari lagi untuk memperbaiki kekurangannya.” Ucap si anak muda, “Apakah wajah patung perempuan ini mirip dengan kekasihku, Pak Tua?” tanyanya.
    “Mana kutahu. Aku saja belum lihat wajah kekasihmu.”
    “Ya paling tidak belajar membaca imajinasiku.”
    “Ah, ada-ada saja kau.”
    “Tak terasa, sembilan hari lagi…”
    “Hah?!”
    Setelah itu, detik ke detik dan menit ke menit berlari, anak muda itu kian giat merapikan karya patungnya. Siang dan malam bergerak, ia begitu teliti menghaluskan setiap lekuk sudut-sudut patung. Hari ke hari berloncatan. Si anak muda benar-benar bekerja keras. Tapi ini belum pantas, itu belum pantas—selalu si anak muda belum puas dengan patung buatannya. Berkali-kali Sukidi bilang karya itu sudah nyaris cukup. Nyaris cukup.
    “Tapi aku punya ide, Pak Tua! Aku akan membuat patung perempuan ini seolah-olah duduk di taman itu! Bagaimana, Pak Tua.?”
    “Hm, jadi kau akan membuatkan pantat dan kaki untuk patung itu?” Tanya Sukidi terkekeh.
    “Tepat, Pak Tua!”
    “Boleh juga…”
    Si anak muda mengangkut tanah liat lagi dan membentuknya. Patung-patung yang belakangan dikerjakan di pos jaga, kini diangkut kembali ke sudut sebelah timur taman itu. Sukidi hanya melihat pekerjaan anak muda itu dari kejauhan. Dia tak henti menggelengkan kepalanya, tapi dia juga tak henti memberinya semangat. Dia juga tak begitu paham, kenapa dia tiba-tiba merasa gembira menyaksikan anak muda itu berharap dan bekerja, begitu semangat. Apakah karena kecintaannya yang dalam pada kekasihnya itu? Cinta telah membuatnya bekerja. Cinta telah membuatnya mengingat hitungan detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun dengan penuh makna. Betapa cinta mampu menamai keseluruhan waktu. Betapa cinta membuatnya optimis. Betapa cinta pandai merencana, memakna dan membahagiakan. Sukidi hanyut dalam pikirannya sendiri. Ia merasa hanyut dalam arus darah anak muda itu, tetapi kemudian juga terasa hanyut di permukaan alam, tanah dan tetumbuhan. Ya, betapa cinta menjadikan semesta bagian penting dari diri kita. Betapa cinta menjadikan sang kekasih adalah separuh dari diri kita.
    Apa jadinya jika tak ada cinta? Rumah tangga akan berantakan tanpanya. Politik akan mencekik tanpanya. Penguasa akan lalim tanpanya. Pemerintah akan tak peduli pada nasib rakyatnya hanya karena tak mengerti arti cinta. Cinta juga dapat berarti penyerahan diri penuh kerelaan pada sesuatu yang ia cintai. Cinta perlu pengorbanan. Cinta akan membuat keteraturan, rasa menjaga, memperbaiki, kepedulian dan menumbuhkan kepekaan pada sekitar. Apa jadinya jika menjalani kehidupan tanpa gairah cinta, tanpa kekuatan cinta? Tanpanya kita tak malu meremehkan satu sama lain, merendahkan satu sama lain. Tanpanya kita tak segan berdusta. Tanpanya kita tega saling menyakiti satu sama lain, menistakan satu sama lain. Tanpanya kita hirau pada rasa sakit orang lain, pada nelangsa orang lain. Suami yang tak mengerti cinta akan menganggap isterinya seperti hewan pelayan. Guru yang tak mengerti cinta akan menganggap muridnya bak robot belaka. Orang yang mengaku sang pecinta tapi tak mengerti cinta sesungguhnya, dia akan menganggap kekasihnya sebuah benda belaka. Berjam-jam Sukidi membiarkan pikirannya berputar-putar. Terkadang ia tersenyum menemui banyak kenangan dalam hidupnya. Lembar-lembar kenangan itu akan dia rawat dengan ikhlas, hingga hatinya tiba-tiba melembut setiapkali ia membacanya…
    Senja habis dan malam datang. Berkali-kali cuaca dipergilirkan, siang dan malam dipergilirkan. Berulangkali hari-hari berlari dan usia rekah bertambah. Hari-hari begitu cepat berganti. Hari demi hari, jari-jari Sukidi merasakan kehalusan yang hebat pada permukaan patung itu. Karya yang nyaris sempurna, tak henti Sukidi terkagum-kagum. “Patung perempuan yang cantik.” puji Sukidi pelan. Posisi patung itu duduk dengan tegap, tapi mengesankan posisi yang lembut. Jika cahaya matahari menerpa permukaannya, Sukidi seperti melihat warna permukaan telaga yang penuh cahaya. Jika ia melihat patung itu dari kejauhan, ia seperti melihat patung itu hidup. Fantastis! Belum pernah Sukidi melihat karya patung sehebat ini. Tak heran juga, karena selama ini anak muda itu bekerja siang dan malam.
    “Pak Tua, seandainya aku Tuhan, akan kuhidupkan patung itu untukku. Agar aku puas. Agar penantian ini usai. Agar kecemasan ini selesai. Agar kerinduan ini terlunasi…” ucap anak muda itu dengan bibir yang gemetar. Sukidi menghela napas yang panjang.
    “Tidak, Anak Muda, itu artinya jiwamu lemah, cintamu lemah.” Ucap Sukidi. Ia tengadah ke langit. Betapa ia merasakan orang disampingnya ini seperti tengah bekerja keras menjinakkan riap harap di dalam dirinya.
    “Aku tahu, Anak Muda, tinggal dua hari lagi pertemuan kalian, disini…” ucap Sukidi setengah berbisik. Anak muda yang duduk disampingnya perlahan berdiri. Kemudian ia berjalan pelan menuju patung. Tangannya tampak gemetar membelai wajah patung.
    “Pak Tua, akhir-akhir ini hatiku terus bergetar. Apakah dia mencintaiku? Apakah dia merindukanku? Jika ia kelak datang, aku akan merasa separuh cintaku terlengkapi. Keraguanku kelak bertepi, hingga kerinduan tak lagi diratapi. Aku berharap dia akan menepati kenangan-kenangan itu. Aku berharap dia datang… ”
    “Aku juga berharap demikian, Anak Muda…”

    V
    Tak tersasa, satu hari lagi perjumpaan itu. Sukidi turut gembira. Ia menyibukkan diri menyapu seluruh taman hingga tampak bersih. Ia juga memangkas rumput liar yang sudah merambat tak karuan. Entah kenapa Sukidi jadi merasa semangat bekerja akhir-akhir ini. Jangan-jangan semangat memang menular. Sukidi terus bekerja merapikan dan mempercantik taman, seperti akan menyambut isterinya saja. Sukidi tersenyum gembira. Sementara di kejauhan, si anak muda tengah sibuk juga membersihkan sisa-sisa tanah liat yang menempel di lantai taman. Sesekali menggosok wajah dan tubuh patung dan memandangnya lama-lama dari kejauhan, seperti tengah memandangi sapuan cat warna pada lukisan. Mereka tenggelam dalam kesibukan sendiri-sendiri, seperti akan menyambut calon pengantin yang terhormat, seperti akan merayakan sebuah pesta pernikahan yang sangat megah. Mereka terus bekerja, hingga matahari sembunyi, hingga senja tiba. Ketika adzan maghrib terdengar di mesjid yang sangat jauh, mereka menghentikan kesibukannya. Mereka berdua kelihatan tampak sangat lelah.
    “Wah, taman yang cantik dengan patung yang sangat cantik. Perpaduan nuansa yang anggun dan lembut.” Ucap Sukidi bak kritikus.
    “Terima kasih atas bantuannya, Pak Tua.” Ucap anak muda itu sembari menjabat tangan Sukidi dengan erat.
    “Kau harus cukup istirahat malam ini, Anak Muda. Agar esok hari segar bugar. Besok adalah hari penantian selama dua puluh empat bulan lamanya…”
    “Itu pasti, Pak Tua. Aku akan tidur malam ini di pos jaga. Ada selimut?” Tanya si anak muda sambil terkekeh.
    “Ada. Hanya satu. Kita berbagi saja.” Ucap Sukidi ikut terkekeh.
    “Aneh, Pak Tua, malam ini hujan tak turun…” si anak muda menatap tajam langit.
    “Itu bagus!” seru Sukidi. Mereka terus bicara sembari berjalan bergandengan menuju pos jaga. Mereka tertawa. Mereka gembira malam ini. Mereka tertidur pulas malam ini.
    Tapi ketika lewat tengah malam, anak muda tersentak, seperti terdampar dalam sebuah ruang yang maha lengang. Ia bermimpi bertemu kekasihnya…
    Dalam mimpi itu, si anak muda bertemu kekasihnya di gerbang menuju taman.
    “Akhirnya kau datang juga, kekasihku…” ucap si anak muda sumringah. Kekasih si anak muda itu tersenyum manis, tetapi mulutnya masih diam. Si anak muda begitu bahagia melihat kedua matanya yang jelita.
    “Mari, akan kutunjukkan karya patung terindah yang pernah kubuat.” Ucap si anak muda sembari memegang erat tangan kekasihnya. Mereka berdua berjalan pelan menuju taman. Tampak sebuah benda tertutupi kain sutera. Perlahan si anak muda mendekati patung itu dan menyingkap kain. Tampaklah patung itu.
    “Ini karya terbaikku, untukmu. Selama dua puluh empat tahun aku bekerja membuatnya, untukmu kekasihku…” ucap si anak muda lembut. Lama suasana hening. Kedua mata sang kekasih masih dingin.
    “Apakah kau bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan?” tiba-tiba ia bertanya.
    “Bisa.”
    “Apakah aku khayalan atau kenyataan bagimu?”
    “Kenyataan.”
    “Lalu patung itu?”
    “Kenyataan juga.”
    “Kenapa kau sebut ia kenyataan?”
    “Karena dalam kenyataanlah aku bekerja keras membuatnya. Ini karya nyata!”
    “Lalu yang mana kekasihmu yang sebenarnya.”
    “Kau.”
    “Bohong. Jika kau begitu bangga terhadap karya indahmu ini, kenapa kau menungguku? “Tapi patung ini dibuat untukmu. Bukan untukku.”
    “Bukan untukmu? Lalu kenapa kau bekerja keras membuatnya?”
    “Karena patung ini untukmu. Karena aku ingin membuktikan cintaku. Karena aku mencintaimu!”
    “Bagaimana kalau aku mati? Mana yang berharga bagimu: mayatku atau patung indah itu?”
    “Kenapa kau bertanya seperti itu?”
    “Jika patung itu hidup, mana yang akan kau pilih: aku atau patung hidup?”
    “Pertanyaan konyol!”
    “Kau tak mampu menghidupkan patung kebanggaanmu itu, kan?”
    “Ah!”
    “Kau tak mencintaiku!”
    “Aku mencintaimu!
    “Kau mencintai khayalan!”
    “Aku mencintai kenyataan!”
    “Patung itu kenyataan yang kau bentuk dari khayalan tentangku!”
    “Tidak! Tidaaaaak! Kau tega padaku!”
    “Ya, aku tega padamu!”
    “Tidaaak!”
    Sukidi terbangun karena teriakan si anak muda. Sukidi melihat jam dinding: pukul dua lebih lima menit. Sukidi membangunkan anak muda itu.“Apa yang terjadi? Kau mimpi buruk?” Tanya Sukidi setelah anak muda itu terbangun. Anak muda itu bengong.
    “Ya, aku mimpi buruk.” Ucap si anak muda dengan suara yang serak. Wajahnya pucat. Sukidi buru-buru mengambilkan segelas air putih.
    “Minumlah, lalu tidurlah kembali. Kau baik-baik saja, kan?” Tanya Sukidi. Si anak muda tak menjawab. Ia tampak perlahan berbaring lagi. Matanya berkaca-kaca. Banyak keringat yang keluar sekitar lehernya, mungkin di seluruh badannya juga. Napasnya terengah-engah seperti telah berlari sangat jauh. Sukidi tampak tidur kembali. Sementara si anak muda sampai beberapa lamanya belum juga memejamkan matanya. Tatap matanya demikian tajam menusuk atap. Lampu berwarna kuning agak redup. Ada cicak berlari menuju lubang udara. Detik jam terdengar bersahutan dengan degup jantung. Si anak muda gelisah. Kian gelisah. Ia cemas mengingat mimpi buruk tadi. Ia mendengar suara malam. Ia mendengar hela napasnya yang berat. Ia mendengar dengkur Sukidi. Segalanya tampak bergoyang, bergelombang dan samar. Ia seperti digulung pikirannya sendiri—gelap. Ia merasakan ada rajutan silang yang acak dalam ruang benaknya. Berputar kasar berulang-ulang. Lalu ia merasa tenggelam dalam lubuk malam. Perlahan ia merasakan tubunya bangkit dari alas tikar dan berjalan berat menuju dapur buatan di pos jaga ini. Ia mengambil sesuatu dari lemari kecil dan memasukkannya ke balik pinggangnya. Tak lama kemudian ia keluar dari pos jaga dengan langkah yang berat.
    Di luar, angin malam terasa menusuk-nusuk kulit anak muda itu. Ia berjalan pelan menuju taman. Lampu taman yang redup menerpa tubuhnya. Matanya menangkap bayangannya sendiri diatas tanah. Samar dan gemetar. Ia melangkah, bayangan itu ikut bergerak. Ia berputar, bayangan itu ikut berputar. Ia berlari, bayangan itu ikut berlari. Ia ingin sekali terpisah dari kejaran bayangannya sendiri. Perlahan tangannya meraba pinggang, ia mengambil sebuah benda dari balik pinggangnya. Cahaya lampu taman mengkilaukan benda itu: kapak! Lalu ia tak ragu menghujamkan kapaknya diatas bayangannya sendiri. Berkali-kali. Tak lama iapun berhenti. Napasnya memburu. Kemudian ia perlahan berdiri dan tajam menatap patung dihadapannya. Betapa ia ingin melihat kekasihnya sedang duduk dihadapannya. Tapi ini hanya patung. Lamunannya berputar-putar. Lama, bekelindan dengan hening malam menjelang shubuh. Tiba-tiba ia terperanjat. Dadanya bergemuruh hebat. Matanya tampak memancarkan sorot ganas. Ia tengadah ke langit, seakan ingin menembus lapisan langit malam, seakan ingin menembus angkasa.
    Ia kembali perlahan mengalihkan tatapnya ke arah patung itu. Lama sekali. Tiba-tiba dengan cepat anak muda itu membacokkan mata kapak itu berkali-kali di leher patung. Sangat keras. Suaranya sangat keras. Hancurlah! Terpisah dan jatuhlah kepala itu dari tubuh patung, Suaranya terdengar keras. Sangat keras! Tak ada yang melarangnya. Tak ada yang menyaksikannya. Suasana hening kembali. Anak muda itu terpejam. Betapa ia ingin membantah kenyataan. Tetapi ia berkali-kali memaksa ia percaya, bahwa nyanyi sunyi yang panjang ini mengisyaratkan sesuatu yang mesti ia lepas, ia tanggalkan—seperti kepala patung yang ia banggakan itu. Tetapi bisakah ia melupakan kekasihnya? Anak muda itu terpejam. Sang kekasih seperti membaur dengan hela napas, dengan arus darah. Anak muda itu kemudian berjalan gontai menuju pos jaga kembali…

    VI
    Pagi terbit. Matahari berderit membuka pintu cuaca.
    “Anak Muda!” teriak Sukidi tampak cemas di depan pintu. Anak muda yang tengah tertidur terperanjat. “Ada apa, Pak Tua?”
    “Patungmu…”
    “Kenapa dengan patung?” Tanya anak muda itu datar. Sukidi menyeretnya keluar.
    “Kepala patung itu terpisah dari badannya.” Ucap Sukidi setengah teriak keheranan. Kesal. Si anak muda menatap tajam patung itu.
    “Barangkali semalam aku kesulitan membedakan mana mimpi dan mana kenyataan.”
    “Apa yang kau lakukan semalam?” Tanya Sukidi penasaran. Matanya menatap tajam anak muda itu penuh curiga.
    “Semalam aku pinjam kapakmu…”
    “Hah!? Sinting! Jadi kau yang menghancurkannya!?”
    “Entahlah, Pak Tua, selama ini aku seperti dipermainkan mimpi dan khayalan, seperti semalam. Kenyataan seperti mimpi. Mimpi seperti kenyataan. Keduanya bercampur dalam hidupku. Seperti campuran air cinta dan air mata. Seperti campuran luka dan suka cita.”
    “Kau sinting! Kau sinting!” kesal Sukidi kambuh lagi. Anak muda itu menciutkan tatapan yang sangat kosong. Sementara Sukidi pergi dengan langkah-langkah yang berat menuju pos jaga. Ia terdengar membanting pintu dengan keras. Tinggal si anak muda sendiri di taman ini dan ia merasakan kelengangan yang sangat dalam. Tapi hari ini akan menjadi hari yang istimewa. Hari ini ia akan bertemu dengan kekasihnya. Anak muda itu berlari menuju tugu taman, memanjatnya dan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Angin berhembus seperti menembus jantungnya. Angin berhembus mempermainkan rambutnya. Ia berteriak sekeras-kerasnya, menggetarkan pagi, menggetarkan reranting dan dahan-dahan pohon. Terlihat burung-burung berterbangan dari balik pepohon, dan riuh melesat ke arah utara. Teriakan terdengar lagi lebih keras. Sementara Sukidi diam-diam mengintip anak muda itu di balik tirai pos jaga. Ia menangis menyaksikan semuanya, menyaksikan segalanya. Ia terpaku diatas meja, di depan kertas-kertas yang berserakan.
    Detik demi detik bertambah, menit demi menit meninggikan matahari, jam demi jam. Sukidi melihat anak muda itu mulai duduk sendirian di taman. Kekasihnya akan datang hari ini. Ia menunggu, dengan pakaian seadanya. Ia menunggu, dengan harapan yang megah. Matanya terpejam, mulutnya seperti mendzikirkan sesuatu, mungkin mantra-mantra puisi itu lagi, atau mungkin doa, atau mungkin nama kekasihnya yang berulangkali disebut, atau mungkin nama Tuhan, atau mungkin kata-kata suci. Entahlah. Sukidi terus memperhatikannya diam-diam dari balik jendela. Ia pun mendzikirkan sesuatu, semacam doa-doa. Siang menuruni cuaca, lalu senja pun meriap. Kekasihnya belum juga muncul. Ia tetap duduk dan menunggunya. Senja habis dan malam hadir, tapi kekasihnya masih tetap tak hadir. Lalu malam mulai tua, tak juga muncul. Lewat tengah malam, tak juga. Menjelang shubuh, apalagi. Anak muda itu berulangkai melirik arlojinya. Ia berulangkali menghela napas panjang. Hitungan menit seperti hitungan sayat mata pisau disekujur hatinya. Tapi ia masih duduk disana. Sukidi semalaman suntuk ikut terjaga. Betapa ia ingin meyaksikan perjumpaan dua orang kekasih. Tetapi sang kekasih tak jua muncul menemui anak muda itu, hingga pagi keesokan harinya terbit. “Mungkin hari ini…” gumam anak muda itu. Seperti kemarin, dari pagi, siang, malam sampai shubuh di keesokan harinya, sang kekasih tak juga muncul. Anak muda itu terus meracau: mungkin hari ini-mungkin hari esok. Sukidi mulai merasa sangat khawatir.
    “Sudah dua hari kekasihmu tak juga muncul…” ucap Sukidi. Kedua mata anak muda itu terbuka.
    “Pak Tua, apakah ini berarti dia tak mencintaiku?”
    “Anak Muda, ia mencintaimu, hanya mungkin ia lupa dengan cintanya…Hanya mungkin ia terlambat. Istirahatlah dulu.” Ucap Sukidi pelan. Dia mencintaiku, dia mencintaiku, desis anak muda itu, terus-menerus sampai terasa mengeringkan mulut dan tenggorokannya.
    Hari berganti hari, sang kekasih tak juga muncul. Hari ini anak muda itu masih menunggu kekasihnya di taman. Kali ini ia menunggu sembari terus menulis. Ia tetap mencatat kesehariannya. ia tetap mencatat perasaannya, harapannya, cintanya. Ia tetap mencatat kisah penantiannya. Selembar, dua lembar, tiga, empat, sembilan, lima belas, dua puluh tujuh lembar, berlembar-lembar berpacu dengan waktu, berpacu dengan hari-hari. Tak terasa, sudah lima hari anak muda itu menunggu, sang kekasih tak kunjung datang. Maka terlihatlah ia mulai berbenah, memasukkan baju ke ransel, mengenakan kemeja, mengenakan sepatu dan jaket tebalnya.
    “Mau kemana kau?” Tanya Sukidi
    “Jika aku tak berjumpa dengannya dalam menunggu, maka aku harus berjumpa dengannya dalam mencari. Terlalu lemah jika aku hanya menunggu, barangkali ada bedanya…”
    “Mau kau cari kemana dia?”
    “Sudah beberapa hari dari hari yang kami janjikan terlewati, maka aku berani meninggalkan taman ini untuk mencarinya. Aku akan berangkat ke kota dimana dulu ia lahir. Aku akan mencari dimana-mana.” Ucap anak muda itu. Sukidi terdiam lama. Mereka terdiam lama.
    “Baiklah, hati-hati di jalan. Carilah ia.” Ucap Sukidi. Ia sebentar rangkul anak muda itu, lalu menatap wajahnya lekat. Anak muda yang keras kepala, pikir Sukidi. Maka berangkatlah si anak muda ketika hari menjelang sore. Setelah beberapa jam anak muda itu pergi, Sukidi kembali disergap kesepian. Siapa sebenarnya yang sedang pergi: anak muda itu atau ia? Akankah ia harus sendirian lagi di taman ini sepanjang tahun? Kenapa harus disini? Lalu kemana harus bergerak? Sukidi melangkah pelan menuju taman. Ia duduk dan tengadah ke langit. Betapa bisu langit malam. Ia menatap sekeliling taman. Kemudian perlahan ia berjalan mengelilingi taman. Iapun berhenti dihadapan patung. Kepalanya copot. Sukidi menyesali perbuatan anak muda yang aneh itu. Lalu ia memungut kepala patung itu, menyimpannya dengan hati-hati diatas potongan leher badan patung. Betapa indah patung ini. Tak lama kemudian, Sukidi berjalan gontai menuju pos jaga dan memasuki kamarnya. Ia matikan lampu. Di luar, angin menjelang malam berhembus kencang. Daun-daun kembali jatuh. Kepala patung kembali jatuh…

    VII
    Tiga hari kemudian, anak muda itu kembali ke taman. Sukidi merangkulnya dengan erat. Sukidi tahu, anak muda itu tak berhasil menemukan kekasihnya. Berhari-hari Sukidi menghiburnya.
    “Selama tiga hari ini, aku menyusuri kota dimana dulu ia pernah singgah. Tapi tak sedikitpun aromanya kucium. Tak sedikitpun jejak-jekanya aku temukan. Ia pindah. Ia hilang. Semua orang tak tahu dimana kini kekasihku tinggal. Ketika itu ingin aku teriakkan namanya berhari-hari di jantung kota, agar di dengar semua orang, agar didengar kekasihku, agar di dengar kerabatnya. Tapi di dunia ini, satu nama bisa jadi milik beribu orang. Ah, aku ingin tetap mencintainya, hingga terasa sangat sakit. Aku ingin pusatkan keseluruhan takzimku padanya, hingga terasa sakit. Itu sebabnya mungkin kenapa aku hancurkan karya patungku. Kini aku kembali ke taman ini. Aku memutuskan untuk kembali ke taman. Kembali menunggunya. Barangkali memang benar, ia lupa. Kerinduan kian sungkan menepi. Aku berharap ia ingat dan datang menemuiku di taman ini. Jika ia mencintaiku, ia akan datang ke taman ini. Jika ia mencintaiku, ia akan ingat aku. Atau barangkali ia memang tak mencintaiku, Pak Tua?”
    “Mungkin ia lupa dengan cintanya.”
    “Ya, mungkin ia lupa dengan cintanya. Aku yakin, suatu saat ia akan ingat kembali. Aku yakin ia akan datang ke tempat ini. Aku yakin. Aku akan tetap menunggunya disini…”
    Penantian itu digelar kembali. Anak muda itu telah duduk berhari-hari, akan duduk berhari-hari. Sukidi sudah tak bisa apa-apa lagi untuk melarangnya. Anak muda itu terus menunggu, dibalut siang dan malam berulangkali. Hujan pun datang lagi, anak muda itu tetap di taman. Ia menulis catatan berlembar-lembar. Ia menulis puisi berlembar-lembar. Ia menggumamkan puisi-puisi berulang-ulang—seperti nada-nada mantra. Sampai terik matahari merajam, dia masih bertahan disana. Sampai hari-hari berganti, bulan bertambah. Siang dan malam mungkin ia tak tidur. Atau mungkin tidur sambil duduk. Entahlah, siang dan malam ia menunduk. Lalu di sore harinya, ia selalu bangkit, mengajak bicara patung, seolah-olah patung itu hidup dan mendengarnya. Ia juga sesekali tampak menari dihadapannya. Ia bergulingan. Ia tertawa seperti tengah bercanda, dan bertingkah seperti sedang memperlihatkan pada patung itu semacam keahlian bermain silat. Ia juga mengenakan jaket di tubuh patung, seolah-olah ia sedang bersama kekasihnya. Saat kepala patung jatuh, ia angkat dan meletakkannya kembali di leher patung. Jatuh, meletakkannya kembali. Lalu jatuh lagi, meletakkannya kembali dan seterusnya dan seterusnya. Sampai akhirnya ia lelah dan jatuh berlutut, perlahan bersujud dan tak henti memukul-mukul lantai taman. Ia meraung kecil. Sukidi akhirnya diam-diam menangis di balik jendela melihat semua itu. Pilu. Ia takut. Ia kalut.
    Tapi setiapkali Sukidi terlelap diatas meja, diatas kertas-kertas catatan yang berserak, ditengah malam dalam waktu yang teratur, anak muda itu akan berdiri, tengadah ke langit, merentangkan kedua tangannya dengan mata yang terpejam. Anak muda itu meresapi angin. Ia merasa ingin mencari kebebasan. Ia merasa, angin seakan menghembuskan tahun-tahun di tubuhnya. Angin seakan menggugurkan angka-angka di kalender dan menerbangkannya jadi burung-burung kecil bernama kenangan. Kenapa kenyataan ini berbatas, tetapi batas-batas itu tak kunjung berbatas? Anak muda itu membuka matanya, menutup matanya, lalu membuka matanya lagi, lalu menutupnya lagi dan seterusnya dan seterusnya, hingga ia lihat segala yang tampak dan ia tak melihat segala yang tampak. Jika hal itu dilakukan berulang-ulang, akan tampaklah segala apa yang tampak dalam pejam dan tak pejam matanya. Ia seperti telah melihat semesta dalam gulita. Kenapa ia begitu keras kepala menegaskan cinta? Bukankah cinta mengajarkan kita tentang kerelaan. Tapi bukankah cinta juga mengajarkan kita tentang harapan? Anak muda itu tersenyum, tetapi pahit.
    Sampai di suatu malam, lewat tengah malam, Sukidi terbangun mendengar gegelar halilintar menggetarkan kaca jendela. Tak lama kemudian, niatnya untuk tidur kembali buyar mendengar teriakan anak muda di luar. Sukidi segera bangkit dari alas tikar. Ia menyingkap tirai. Ia melihat anak muda itu berdiri merentangkan tangan. Samar ia lihat tangan kirinya memegang sebilah pisau, berkilau ditempa cahaya lampu taman. Sukidi curiga ia akan bunuh diri. Iapun bergegas keluar dari pos jaga, menghambur menuju taman.
    “Anak Muda, apa yang terjadi?!” Tanya Sukidi setengah teriak cemas. Anak muda itu tak menjawab. Terdengar ia seperti batuk-batuk. Tiba-tiba tangan kirinya melemparkan pisau penuh darah yang digenggamnya jauh-jauh. Ya Tuhan! Sukidi terkejut bukan kepalang. Anak muda itu telah menusuk kedua belah matanya dengan sebilah pisau! Sukidi menghambur merangkul anak muda itu yang mulai lunglai. Ia menangis meraung-raung. Ia mengusap-usap wajah anak muda yang penuh darah itu. Ia menjerit histeris. Gelegar halilintar kembali membahana menggetarkan kaca jendela dan langit malam. Sukidi tak tahu, pemuda itu tampak tersenyum puas…
    Pak Tua, aku ingin pusatkan keseluruhan takzimku padanya, hingga terasa sakit…

    VIII
    Keesokan harinya, Sukidi amat berduka. Betapa tidak, kedua mata anak muda itu kini telah buta. Sukidi menyesali kejadian itu, Sukidi menyesali kenyataan ini. Hari demi hari Sukidi seperti tak merasakan kehadirannya. Karena hari demi hari mulut anak muda itu terkunci. Hari demi hari ia tak mendapati lagi tatapan tajam anak muda itu. Kini dia buta. Entahlah, kenapa kita lebih percaya bahwa kehadiran segala sesuatu dapat terasakan dalam bulatan bola mata yang hidup? Sukidi tak henti-henti menangisi kenyataan ini. Ia menyesali keputusan anak muda itu. Ia kasihan pada anak muda itu. Tak lelah ia ikut membantu mengobati kedua mata yang luka itu. Ia nyeri melihatnya. Ia ngeri tiba-tiba melihat anak muda itu tergopoh menyusuri jalan taman, meraba-raba dan tengadah ke langit. Jika Sukidi khawatir dengan keadaannya, dan bertanya kemana dia hendak pergi, anak muda itu akan menjawab: “Aku akan menunggu kekasihku dan aku yakin dia akan datang…” Lalu Sukidi melihat anak muda itu berjalan perlahan sendirian ke taman. Kepalanya berputar setengah lingkaran, seperti hendak membaca cuaca dan alam dengan kedua matanya yang buta. Tangannya meraba-raba dan berhenti ketika jemarinya menyentuh patung dan mengelusnya. Beberapa menit kemudian ia duduk disamping patung tanpa kepala itu, menunggu kekasihnya. Setiap hari ia akan melakukan hal yang sama. Setiap hari dilakukan berulang-ulang.
    Hingga bulan berganti bulan; hingga anak muda itu duduk tegap seakan telah mempunyai tubuh yang kebal terhadap dingin malam dan panas matahari. Hingga ia kebal lapar. Hingga ia kebal dahaga berhari-hari. Hingga ia tak lagi beranjak dari tempat duduknya. Hanya mulutnya saja yang meracau, seperti mendzikirkan sesuatu. Sementara Sukidi belakangan ini merasakan tubuhnya sakit-sakitan, batuk, demam dan muntah-muntah. Tubuhnya lunglai di kamar pos jaga, seperti kehilangan kerangka tulang. Tak kuat lagi ia untuk sekedar berjalan, bahkan berteriak. Ia hanya mampu gerak merayap, menyingkap tirai jendela dan menangis pilu setiapkali melihat anak muda itu duduk sendirian di taman itu, berhari-hari. Rasa nyeri menggerogoti hati dan rongga dadanya. Kenapa tak seorangpun yang lewat ke taman ini dan menemukan mereka berdua. Sukidi berdoa. Dimana pak walikota? Dimana pembantu-pembantunya? Dimana warga? Dimana orang banyak? Dimana sang kekasih? Sukidi meracaukan doa-doa yang sunyi. Ia gemetar menggerakkan pena. Tak lama ia lelap, tak ingat apa-apa lagi.
    Hingga entah malam keberapa setelah ia siuman dari pingsannya, ia sepertinya mendapat kekuatan kembali untuk sekedar berjalan. Ia dengar diluar hujan turun deras. Halilintar sesekali bergetar. Ia mendapati ruangan kamar yang gelap. Ia nyalakan lampu. Lalu ia bangkit. Ia singkap tirai jendela. Ia masih melihat anak muda itu diam tak bergerak di taman itu, disamping patung, diguyur hujan, duduk sendirian, menunggu kekasihnya. Tak menunggu lama Sukidi meraih senter, kemudian ia berjalan ringkih menuju taman. Betapa ia ingin segera memeluk tubuh anak muda itu dengan erat dan membawanya masuk ke pos jaga, membaringkannya dan menyelimutinya. Hujan membuat basah kuyup baju dan celananya. Sukidi perlahan mendekati anak muda itu. Taman tampak gelap bila hujan deras. Ia sorotkan senter. Ingin ia berteriak, tetapi apalah daya suara yang sesak dan suara hujan yang bergemuruh lebih keras.
    Kilatan cahaya halilintar mewarnai remang taman. Dahan-dahan pohon beringin bergoyang dihembus angin lumayan kencang. Lampu-lampu taman mengerjap. Mata Sukidi perih diguyur hujan. Semakin dekat ia menyentuh anak muda itu. Betapa ia ingin semua ini selesai. Ia pegang erat tangan anak muda itu. Dingin, sedingin hujan campur angin.
    “Anak Muda, ikutlah denganku…” ucap Sukidi pelan dan gemetar. “Anak Muda, ikutlah bersamaku…” Ia menekan nada suaranya. Tak ada jawaban, hanya disahut gelegar halilintar dan suara napasnya sendiri. Anak muda itu masih diam tak bergerak. Sukidi akhirnya merangkul tubuh anak muda itu. Lama sekali. Tapi kemudian Sukidi merasakan keanehan yang luar biasa dengan tubuh anak muda itu: sangat dingin, dan keras. Sukidi melepas rangkulannya. Sukidi meraba-raba dan menekan sekujur tubuh anak muda itu: keras. Sangat keras. “Anak Muda!” teriak Sukidi mulai cemas. Sukidi mencoba menggoyang-goyangkan tubuh itu. Tapi tak sedikitpun bergerak. Tubuh itu seperti kokoh menancap dan menyatu dengan tembok taman, seperti menembus bumi. Lalu ia robek-robek baju anak muda itu, hingga kulit tubuhnya yang mengeras tersingkap. Sukidi mulai meraba-raba dan menekan kembali: keras. Sukidi menjerit dan berkali-kali memukul dada anak muda itu dengan senter, lebih keras, lebih cepat—Tubuh anak muda itu benar-benar keras. Wajah Sukidi pucat. Ia mundur beberapa langkah ke belakang. Ia takut. “Tuhan, tubuhnya mengeras! Seperti patung! Seperti batu! Tuhan, ia menjadi batu! Ia menjadi batu!!” pekik Sukidi ketakutan. Ia lalu berlari tanpa arah. Menjerit-jerit. Menangis meraung-raung. Ia berlari-lari ketakutan. Tapi ia hanya lari berkeliling seputar taman. Seperti orang gila. Berteriak, menangis tak karuan. Terdengar gelegar halilintar. Terdengar suara hujan kian gencar…

    Keesokan harinya, Sukidi tampak berlari tergopoh sepanjang jalan. Napasnya memburu, sesak. Ia menangis sepanjang jalan. Ia meraung di tikungan jalan. Jika kebetulan bertemu seseorang, ia akan bertanya sambil memelas: “Apa kau punya cinta? Berapa harganya?” Tak segan ia akan memasuki kantor-kantor dan bertanya: “Tolonglah, apa kau punya cinta? Berapa harganya?” Maka diusirlah dia oleh satpam, ditendang-tendang, dijambak, dibentak-bentak. Lalu ia masuki mesjid dan mengajukan pertanyaan yang sama pada ulama. Ia juga bertanya pada guru-guru pengajar yang lewat. Ia bertanya pada dosen-dosen. Ia bertanya pada polisi. Ia bertanya pada preman-preman. Ia berteriak-teriak di halaman rumah pejabat, di halaman rumah sakit, di halaman pengadilan, di halaman gedung perwakilan rakyat, di halaman rumah-rumah penduduk, di halaman rumah majikan, di halaman pabrik-pabrik, di rumah ibadah, setiap tempat ia masuki, menemui banyak orang dan diusir banyak orang. Ia ditendang-tendang seperti hewan. Tak jarang dipukuli preman. Wajah Sukidi babak belur. Sekujur tubuhnya berkeringat campur debu. Wajah Sukidi luka-luka. Tulang kakinya patah. Sukidi berjalan terpincang-pincang, tanpa arah yang pasti.
    Sukidi menangis sepanjang jalan, ia seperti bernyanyi-nyanyi di sepanjang jalan. Ia meraung di tikungan jalan. Ia memasuki pasar dan bicara ngelantur dengan orang banyak. Lalu mulai bertanya: “Apakah kau punya cinta? Berapa harganya?” Mereka juga mengusirnya. Tak sedikit juga orang lari ketakutan. Lalu setelah Sukidi memasuki perkampungan, anak-anak kecil akan mengikutinya di belakang, memukul kaleng, bersorak dan berteriak-teriak: “Orang gila! Orang gila!” sampai akhirnya anak-anak itu berlarian kabur ketakutan setelah Sukidi menangis meraung-raung, tertawa-tawa, mengamuk, bernyanyi-nyanyi, meraung-raung lagi dan berteriak-teriak: “Aku tidak gila! Aku tidak gilaaa!”
    Berbulan-bulan kemudian, orang-orang kampung memanggilnya dengan sebutan: si Gila. Mereka mulai bertanya-tanya kenapa Sukidi gila. Orang-orang kampung yang awalnya mengenal Sukidi, tak lagi memanggil Sukidi lagi, mereka akan memanggil Si Gila. Tak ada wajah Sukidi lagi, yang ada adalah lelaki gila yang mulai agak bongkok dan berjalan terpincang-pincang. Wajahnya penuh luka dengan kumis dan jambang yang tak terurus. Rambutnya kusut. Bajunya kucel, robek-robek dan bau apak.
    Jika semua orang mengusirnya, jika semua orang memukulinya, Sukidi akan berlari ke pos jaga dan mengunci pintu rapat-rapat. Ia akan meraung dan menggengam pena dengan tangan yang gemetar. Ia mencatat segalanya berlembar-lembar, berpuluh-puluh lembar. Ia akan menangis berpanjang-panjang. Lalu ia akan menghambur lari ke taman dan merung-raung di hadapan patung. Sampai suatu malam, Sukidi meneriakkan nama Tuhan dengan suara yang paling keras melebihi suara gemuruh hujan malam itu, disahut suara gelegar halilintar. Seorang ronda di kampung sebelah yang semalam mendengar teriakan dari arah taman segera melapor pada pak lurah. Karena semalam hujan sangat tak bersahabat, barulah keesokan harinya pak lurah mengajak masyarakat untuk melihat keadaan taman itu. Mereka terkejut ketika mendapati Sukidi si penjaga taman tergeletak tak jauh di gerbang taman.
    Mereka bersyukur Sukidi rupanya masih hidup. Tak menunggu lama, pak lurah segera menyuruh sebagian warganya mengangkat tubuh Sukidi ke balai pengobatan desa. Sebagian warga lainnya terus menemani pak lurah menyusuri jalan menuju pos jaga dan taman. Mereka memeriksa pos jaga sampai akhirnya mereka dikejutkan teriakan seorang warga yang menemukan dua buah patung di taman sebelah timur. Serentak semua warga melihatnya. Patung yang indah, tapi warga merasakan nuansa aneh. Yang satu patung warna abu berkulit halus tanpa kepala, kondisinya cukup rusak. Dan satunya lagi patung warna abu seorang lelaki dengan robekan baju dan celana rombeng. Patung lelaki ini lebih lengkap dan halus.
    “Hm, patung tanpa kepala, dan patung tanpa bola mata. Tapi sangat indah.”
    “Apakah Sukidi si penjaga taman yang membuatnya, Pak Lurah?”
    “Entahlah. Cukup lama aku tak main kesini.” Ucap pak lurah. Obrolan mereka terhenti ketika seorang warga berteriak lagi. Dia menemukan potongan kepala patung. Pak lurah segera menyuruh seseorang untuk menempel kepala di tubuh patung. Semua mendadak terkesiap. Cantik sekali. Beberapa jam lamanya pak lurah dan warga memeriksa pos jaga, sudut-sudut taman dan sepasang patung itu. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk pulang. Mereka semua berniat hendak mengunjungi Sukidi di balai pengobatan desa. Tetapi sesampainya disana, pak lurah mendapat laporan bahwa Sukidi kabur dari balai pengobatan.
    “Dia kabur, Pak Lurah, menuju jalan raya. Saya berusaha mencegahnya, tapi tenaganya kuat.”
    “Tapi dia sehat-sehat saja, kan?” Tanya pak lurah.
    “Sehat gimana, Pak Tua, dia kan gila.”
    “Maksudku fisiknya.”
    “Sepertinya sehat, Pak Lurah. Wong tenaganya saja kuat begitu. Tapi banyak bekas luka. Jalannya pincang.”
    “Oke, sebagian dari kalian harus segera mencari Sukidi. Orang gila itu harus segera ditangkap agar jangan sampai meresahkan masyarakat. Kalau bisa, kita harus mendapat keterangan darinya tentang apa yang terjadi semalam di taman itu. Juga mengenai patung itu.” Pak lurah memberi intruksi.
    “Siap, Pak Lurah!”
    Pak lurah tampak berjalan penuh wibawa menuju kantornya. Sebagian warga pulang ke rumahnya masing-masing. Tapi ada juga dua orang yang diam-diam pergi lagi ke taman, yang satu sengaja ingin mencuri barang di pos jaga dan tiba-tiba yang satunya lagi lari tunggang langgang dari arah taman dengan napas ngos-ngosan.
    “Ada apa, Karbit?”
    “Juned…aku melihat patung yang satunya…patung yang lelaki, Juned…patung itu menangis. Patung itu menangis…Dari lubang kedua matanya keluar air mata.” Ucap orang yang dipanggil Karbit gugup dengan wajah pucat dan tubuh yang gemetar.
    “Kamu nakutin aku, yey.”
    “Serius, Juned, demi Tuhan!”
    “Coba daku lihat, ya.” Ucap kawannya. Kedua pemuda kampung itu perlahan mendekati taman, menatap lekat-lekat patung yang lelaki. Tak lama kemudian mereka berteriak dan lari terbirit-birit menghambur menuju perkampungan. Di malam harinya, di pos ronda, kedua pemuda kampung itu sewot menceritakan tentang patung lelaki yang menangis pada semua petugas ronda. Ada yang tertawa tak percaya. Ada yang mengkerutkan kening setengah percaya. Ada juga yang diam-diam ngeri mendengarnya.
    Keseokan harinya, kedua pemuda kampung tempo hari membawa beberapa orang ke taman itu. Mereka menatap patung itu lama sekali. Tapi patung itu tak menangis lagi. Karuan saja kedua pemuda itu disumpah-serapahi, dianggap menipu. Habis-habisan mereka berdua bersumpah, atas nama Tuhan, atas nama pocong, atas nama mati, atas nama ibu-bapak mereka…
    Hari demi hari, setiap orang mulai penasaran dengan cerita kedua pemuda itu. Tampak satu atau dua orang mengendap di jalan taman pada malam harinya. Seseorang akan menatap patung itu berlama-lama, sekedar mengagumi bentuknya dan ingin juga membuktikan kebenaran gosip tentang patung yang menangis. Awalnya satu orang, dua orang, tiga orang dan seterusnya. Berlama-lama mereka tinggal disana, semalam suntuk terjaga atau sengaja tidur disana. Sampai akhirnya, sebagian dari mereka mengalami hal yang selama ini hanya mereka dengar dari kedua pemuda itu: patung ini benar-benar menangis! Dari dua orang yang percaya, tiga, lima, tujuh, sembilan sampai belasan orang yang akhirnya percaya bahwa patung itu bisa menangis. Mereka kini telah menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri.
    “Ini patung dewa…”
    “Ini patung siluman…”
    “Ini patung keramat…”
    Suara mereka mendesis takjub. Tak lama kemudian setelah gosip itu menggetarkan hati mereka, sebagian penduduk seringkali bermalam disana. Ada yang memberanikan pasang nomor togel. Ada yang memujanya. Ada yang meminta sesuatu petunjuk. Ada yang sengaja taruhan uang mempertaruhkan keluar-tidaknya air mata si patung. Ada juga yang minta jodoh, rezeki, jabatan, kemakmuran usaha dan sebagainya dan sebagainya. Lalu muncullah isu di kalangan warga, bahwa jika patung itu menangis setiap seseorang memasang nomor togel, berdoa dan meminta sesuatu dan lainnya, maka permintaan dan keinginannya akan terkabul. Entah darimana berhembusnya isu itu. Tapi ternyata itu meluas cepat di kalangan warga di kampung ini, di kampung itu. Akibatnya banyak orang yang diam-diam datang ke sana dimalam harinya, mengerjakan ritual yang terkadang tampak aneh. Dalam beberapa hari terakhir ini, mereka khidmat berada disana sampai akhirnya merasa amat terganggu ketika akhirnya Sukidi datang mengamuk dan mengobrak-abrik tempat ritual mereka, mengobrak-abrik sesaji, menyan, makanan, yang sengaja ditaruh si pengunjung. Karuan saja mereka berang. Mereka memukuli Sukidi hingga tak bersuara pagi. Pingsan…
    Mendengar kabar keributan semalam, pak lurah tersentak kaget. Ternyata selama ini taman dan patung itu dipakai untuk praktek sesat. Mengetahui kabar praktek sesat yang dilakukan sebagian warganya di taman itu, Pak Lurah pun mulai resah. Masyarakat juga resah. Akhirnya, keesokan harinya, mereka pun berbondong-bondong menuju taman. Mereka mulai terlihat membereskan sampah-sampah kertas, plastik, kembang-kembang, lilin dan sebagainya. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar raung pilu Sukidi. Penduduk kaget bukan kepalang. Sukidi mau ngamuk lagi. Warga mulai waspada. Sukidi datang menerjang. Matanya melotot. Wajahnya seram. Ia menatap satu-persatu wajah warga. Ia menggeram. Lalu ia menangis tersedu-sedu. Mendadak ia menghambur merangkul patung. Warga masih memperhatikannya penuh waspada.
    “Kenapa kalian kesini, heh?! Kenapa kalian jadikan anak muda ini siluman, dewa, keramat, tuhan?! Kenapa kalian sembah dia?!” bentak Sukidi dengan tersekat. Warga tak bersuara. Tak disangka, tangan Sukidi mencabut kapak dari balik bajunya. Semua warga yang ada disana gemetar melihatnya. Mata kapak yang tajam. Pak lurah segera memberi isyarat untuk perlahan pergi dari tempat itu. Sukidi mengacung-ngacungkan kapak. Ia berteriak-teriak. Lalu ia menangis keras, menjatuhkan dirinya dan mulai meraung-raung. Suaranya terdengar sampai di kejauhan batas kampung.
    “Pak Lurah, kenapa tidak kita keroyok saja orang gila itu!?”
    “Sudahlah, kita mundur dulu. Nanti kita pasang strategi yang bagus!”
    Sejak kejadian itu, cuku lama tak ada lagi warga yang berani datang kesana, sekedar melihat atau melakukan praktek sesat lagi. Mereka gemetar melihat mata kapak. Mereka gentar pada Sukidi. mereka hanya berani membicarakan taman dan kapak. Mereka membicarakan Sukidi di warung-warung kampung, sambil berbsisik, mendesis. Taman menjadi lengang kembali. Tampak Sukidi menangisi patung lelaki itu siang dan malam. Ia merangkulnya, mencium pipinya dan membelainya. Tak lama kemudian ia mendekati patung perempuan disampingnya. Ia taruh potongan kepala patung diatas potongan tubuh patung. Ia rapikan patung itu. Ia menangis tersedu-sedu hingga malam datang dan keesokkan harinya menjelang. Hari-hari dipenuhi Sukidi dengan duka yang panjang, raung, jerit, teriakan dan terkadang tawa yang membahana. Jika kebetulan ada orang yang lewat diluar taman itu, dan mendengar suara-suara di taman, maka ia akan lari lintang-pukang dengan memendam ketakutan yang amat kesat. Taman jadi sangat angker. Lampu-lampu mati. Angin bertiup aneh sekali…

    Bersambung ke Taman Air Mata 3

    0 Responses to “Cerpen: Taman Air Mata 2”

    Post a Comment

    Subscribe