Wednesday 10 January 2007

0

Cerpen: Aku Ingin Hanyut Ke Laut

  • Wednesday 10 January 2007
  • Unknown
  • Share
  • Berjam-jam Marshan duduk dipinggir sungai yang lumayan lebar. Matanya lekat menatap arus yang gegas. Gemuruh riaknya bersahutan dengan riuh dangdutan di panggung alun-alun desa tak jauh dari sungai. Marshan bersenandung dengan nada-nada riak sungainya. Barangkali hari-hari telah ia bunuh. Ia hanya ingin memenuhi waktu menatap arus sungai dan bernyanyi pelan dengan alam.
    Dari kecil Marshan senang lihat arus sungai. Dulu, ia bercita-cita jadi penjaga pintu air di sebelah timur sungai ini. Ketika itu, di anak sungai ini, ia akan melepas kapal kertas di arus sungai. Kemudian ia akan berlari lebih cepat dari kapal kertas dan menunggunya di tempat yang lain, lalu ditangkapnya. Marshan akan terus mengulanginya sampai akhirnya adzan maghrib terdengar dan setelah tiba di rumah ayahnya akan membentak: “Kemana saja kamu, anak sialan!?”
    Seperti biasa, pertanyaan yang membentak itu tak perlu jawaban dengan wajah yang gugup. Marshan kecil cukup berjalan gontai ke kamar mandi, mencuci muka, mengintip sejenak langit malam lewat jendela dan masuk ke kamar. Sebelum tidur, ia akan menatap fhoto ibunya yang telah lama wafat, dan dengan cepat ia sembunyikan di bawah bantal setiapkali ayahnya masuk ke dalam kamar dan berkata dengan wajah yang liat: “Cepat tidur! Besok kamu harus bantu Dirman membelah kayu. Ingat, harus mulai kerja sebelum matahari terbit!” Marshan tahu, ia tak pernah mengangguk dan menyahut. Ia hanya perlu beberapa lamunan untuk membantunya segera tidur. Matikan lampu dan dengar jangkrik-jangkrik bernyanyi membaca cuaca. Sebab esok, dalam beberapa jam, engkau akan melihat Marshan mengangkut tumpukkan kayu kering dan tembakau, dan setelah selesai, ia akan berlari kencang menuju sungai.
    Dengarlah suara riak sungai, masih tetap sama setelah Marshan dewasa kini. “Aku harus bahagia. Aku harus bekerja menatap arus sungai dan bernyanyi dengan alam…” gumam Marshan. Marshan yang bertubuh kurus itu sesekali berdiri tegap dan menempelkan telapak tangan di kepalanya, menghormat arus sungai seperti laiknya anak SD menghormat kibaran bendera di hari Senin pagi.
    Lalu senja tiba dan Marshan pulang. Selalu, ketika pagi bangkit esok harinya, Marshan datang lagi ke tempat itu dan seterusnya dan seterusnya. Setiapkali orang-orang yang kebetulan lewat bertanya tentang kesehariannya itu, ia akan memberi jawaban yang sama dengan senyum yang sinis pada setiap orang. “Aku menunggu perahu Nuh lewat disungai ini…”
    Di tepi sungai ini, pikiran Marshan berpendar-pendar dan sesekali redup dalam lingkaran khayal yang berputar kian kencang. Marshan lelap dalam lamunan dan halusinasi. Seakan tubuh Marshan ikut melingkar dalam putaran itu. Bergulung, seperti asap dan pecah menjadi serpihan cahaya yang menghadiri ruang baru. Disanalah, Marshan melihat sungai naik ke tepian, bergelombang menuju bebukit dan hujan ditumpahkan langit dengan ganas. “Banjir besar!” pekik Marshan. Tiba-tiba ia melihat kapal raksasa Nuh melintasinya dan menepi di kaki bukit. Marshan melihat Nuh berdiri tegap di ujung kapal. Jubah putihnya berkibar diterpa angin besar. Marshan sadar bahwa Nuh sedang menatapnya.
    “Marshan!” teriak Nuh, “ikutlah denganku berlayar mengarungi samudera. Naiklah Marshan!”
    Marshan gugup. Tetapi akhirnya ia berusaha menaiki tangga lebar diikuti beberapa orang dan gerombolan hewan dibelakangnya, menuju geladak utama kapal Nuh. Marshan sempat melihat bapaknya, pak RT, puluhan tukang ojeg, penjual sayur, pak lurah, pejabat pedesaan, pak ustad, para preman…Marshan juga melihat sekelompok hewan babi, anjing, tikus, kambing, ular dan lainnya. Cukup lama mereka sampai kesana. Sementara beberapa kilometer di bawah kapal, air hampir menenggelamkan desa dan bukit-bukit gundul di sekitarnya. Alam rusak. Mobil-mobil tenggelam dan sebagian penduduk menggetarkan jerit di permukaan banjir dan maut. Segalanya lenyap dilahap banjir. Angin kian hebat berkecamuk. Marshan menatap segalanya dibawah sana. Rumah mengapung. Gedung-gedung patah dan semuanya terhanyut.
    Marshan takut. Ia pun mencari seseorang yang dikenal. Ia ingat bapaknya. Marshan mencari-carinya diantara ribuan orang. Tetapi ia letih. Sosok-sosok yang ia kenal malah tidur dengan nyenyak. Susah bangun. Marshan meraung menemukan kenyataan. Marshan sendiri dan kesepian. Semuanya tak peduli. Di luar kapal, segalanya hilang. Alam tenggelam dan tak ada lagi yang tersisa. Mata Marshan kian gelap. Kapal kian diliputi kabut tebal. Hitam.
    Beberapa jam kapal terapung diatas badai yang mulai reda. Akhirnya langit hitam mulai pudar. Separuh cahaya matahari mulai tampak mengurai kabut tebal. Hujan mulai rinai. Marshan mulai mampu menatap dengan jelas tubuh-tubuh di sekitarnya. Tetapi mendadak Marshan kaget melihat sosok-sosok aneh: sosok berkepala hewan dan bertubuh manusia, dan tubuh hewan berkepala manusia. Mereka berganti wujud, seperti ditukar. Tubuh mereka kaku, matanya beku. Marshan mengucek matanya, barangkali salah lihat. Tetapi, segalanya tampak nyata dan aneh. Marshan menjerit! Marshan ketakutan.
    Marshan!” suara bathinnya menggelegar di dadanya. Marshan bergetar. Dikejauhan, seorang lelaki tua berjenggot dan mengenakan jubah putih berdiri di ujung kapal, bernyanyi. Rambutnya putih dan tangan kekarnya memegang tongkat. Orang-orang terbangun. “Coba kau tebak, mana manusia yang asli? Sosok yang berkepala hewan dan bertubuh manusia, atau sosok yang bertubuh hewan dan berkepala manusia?”
    Marshan tampak kebingungan diajukan pertanyaan mengerikan itu. Ia silih berganti menatap Nuh dan sosok-sosok aneh itu.
    Kamu harus mampu membedakannya. Cepat jawab!”
    “Anu…eu…tubuh manusia berkepala hewan…” jawab Marshan ketakutan. Bathinnya tertawa mendengar jawaban Marshan. Tanpa diduga sesosok tubuh manusia berkepala anjing menyerang Marshan dan menggigit tangannya. Marshan menjerit kesakitan. Ada luka ditangan kanannya. Ia mundur kebelakang menjauhi sosok itu. Marshan linglung. Meringis.
    Itu artinya jawaban kamu salah, Marshan.” bisik bathinnya, “Mau pilih jawaban lain?” Marshan ragu. Ia ketakutan setengah mati.
    Mau gak?”
    “Gak…gak mau…”
    Itu artinya, kamu terjun keluar kapal.” bathinnya terkekeh. Marshan kian takut.
    “Aku mau jawab.”
    Hmm…
    “Tubuh hewan berkepala manusia…”
    Kembali tak diduga, sosok hewan berkepala manusia menerkam Marshan dan mencakar dadanya. Baju Marshan sobek dan ada luka lebar mengeluarkan darah. Marshan menjerit kesakitan. Napasnya sesak. Nuh tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
    “Sakit, kan? Sekarang pilih, mau sakit atau hanyut ke laut?” tanya Nuh. Lalu ia mendekati Marshan. “Ssst…kau tidak tahu, kapal raksasa ini dibikin dari pohon hutan-hutan diseluruh dunia…Disini tempat aman bagi orang-orang besar, orang-orang kuat, orang-orang berduit. Dan kau?” Marshan terbelalak dan marah. Nuh terkekeh.
    Apa yang engkau lihat, Marshan? Hanya segumpal dunia yang selalu dimakan mentah-mentah. Mana mata hatimu? Mana cahaya pikirannmu? Setiap orang telah begitu berani membuang tanda-tanda dengan keangkuhan dan keserakahan.
    Marshan linglung, dan ia melihat sosok-sosok mengerikan itu perlahan mendekatinya. Marshan menjerit. Ia berteriak dan melihat luas lautan. Marshan meloncat ke luar kapal. Marshan melompat ke laut!
    Tidaaaaak!
    Marshan tersentak di tepi sungai. Lamunannya pecah. Matanya sadar dan menatap sekitar. Marshan merasakan rintik-rintik hujan menyentuh tubuhnya. Ia tengadah ke langit. Tak lama berselang hujan mendadak turun deras. Curahnya kian tinggi. Marshan melihat arus sungai kian membesar, kian meluap. Ia melihat reranting pohon, potongan dahan dan sampah hanyut disepanjang sungai. Ia melihat sampah bertumpuk. Ia melihat bukit-bukit jadi lapang golf. Ia melihat gedung-gedung tinggi mengganti ketegapan pohon-pohon. Ia melihat istana-istana besar di kejauhan kota. Ia melihat botol minuman, sandal jepit, kondom bekas, stempel, pisau, boneka, uang palsu…Ia melihat celana dalam terbawa arus. Ia melihat langit hanyut.
    Marshan tersentak dan bangkit. Ia segera berlari kencang menuju desa.
    “Perahu Nuh akan datang! Banjir akan datang!” Marshan berteriak-teriak sepanjang jalan desa, menuju alun-alun. Orang-orang yang asyik berjoged dan nonton dangdutan serentak melihat Marshan yang berlarian kesana-kemari, berteriak-teriak dan meraung-raung.
    Tampak seorang warga menghambur ke rumah Pak Kisno juragan kayu bakar, tak jauh di belakang dinding alun-alun.
    “Lapor, Pak Kisno! Anak Bapak kambuh lagi. Ia meracau dan mengacau lagi di lapang!” teriak seorang pemuda pada pak Kisno yang asyik memberi makan burung kesayangannya. Ia bangkit, wajahnya merah padam.
    “Cepat kau rantai lagi anak sialan itu! Kerahkan orang-orang, nanti aku bayar!” teriak Pak Kisno dengan nada geram.
    Marshan akhirnya dikepung di tanah alun-alun yang becek itu. Orang-orang menyergapnya dari setiap penjuru, seperti mau menangkap seekor babi liar. Marshan takut, seolah-olah melihat ribuan binatang ingin memakannya. Orang-orang berusaha meringkus dan mengikatnya dengan rantai kecil. Namun Marshan meronta-ronta. Marshan gesit melawan.
    “Hei, lepaskan! Aku tak ingin berlayar bersama Nuh. Aku takut bersama kalian. Aku ingin hanyut ke sungai. Aku ingin hanyut ke laut! Aku ingin menjadi hiu. Aku ingin menjadi ombak, menjadi tsunami!”
    Marshan berhasil melepaskan diri. Lalu ia berlari kencang kembali menuju arah sungai. Ia berteriak sekeras-kerasnya. Teriakan Marshan menggema menerobos jumlah hujan. Lalu tampak ia terjun ke sungai. Berenang-renang dan terseret arus.
    “Banjirlah! Aku ingin hanyut ke laut! Aku ingin menjadi samudera…. ”
    Beberapa orang pemuda berhasil menangkap tubuh Marshan dan terlihat menyeretnya dari sungai. “Cepat angkat! Semangat, kita di bayar!”
    “Yoi, nanti malam bisa minum-minum lagi!”
    Terdengar gelak tawa mereka. Sementara Marshan kian berontak. Ia memukul-mukul sembarangan. Seorang pemuda terkena pukulan. Pelipisnya berdarah. “Sialan!” pekiknya. Terdengar suara petir menyambar. Konser dangdutan akhirnya ditutup. Penonton semuanya tampak lari terbirit-birit hindari hujan. Mereka tergesa masuk rumah, lalu dengan keras membanting pintu dan menutup rapat-rapat jendela. Tak ada suara gaduh, kecuali gemuruh hujan di atap dan tanah becek.
    Aku ingin hanyut ke lauuuuuuuut!
    Dikejauhan suara Marshan parau menggetarkan antena televisi. Sangkar burung Pak Kisno jatuh. Burungnya lepas menembus cuaca…langit mulai tak terbaca.
    Malam, pukul 23:57. Sisa hujan lengket di udara. Di belakang rumah Pak Kisno ada gubuk kecil. Didalamnya Marshan merintih, bernyanyi lirih dengan tubuh dirantai. Sendiri, dan sepi. Di bajunya ada lumuran darah. Di tangannya ada nganga luka. Lampu di dalam ruangan tampak temaram. Hening, tapi sesekali pecah. Ada suara nyanyian. Ada seekor nyamuk hinggap di baju yang tergantung. Ada air mengalir kecil menuju lubang tanah.
    Kita bunuh saja anak Kisno.
    Huss, nanti kita gak dapet duit lagi dong…[]
    Bandung, Januari 2007

    0 Responses to “Cerpen: Aku Ingin Hanyut Ke Laut”

    Post a Comment

    Subscribe