Friday 22 December 2006
0
Puisi: Doa Yang Tercatat
Kutulis doa ini untukmu, perempuanku
sebab aku ingin mencatatmu dalam hitungan tahun yang panjang
Seperti hitungan takzim dan ketukan kerinduan yang saling bersentuhan.
Selalu ada dunia berpendar di mata kekasih
Lalu kita belajar berharap bahwa Cinta seperti ibu yang melahirkan kita
Seperti keteduhan yang acap meluruskan muram dan sunyi
yang kerap melengkapi malam.
Aku ingin mencintaimu, kekasihku
seperti kelak begitu mesranya anak-anak kecil mencium kedua belahan pipiku
sebelum hati-hati kuikat tali sepatuku
sebelum pelan kau masukkan setiap kancing bajuku
sebelum kelak kau bercerita padaku bahwa doa-doa semalam hanyut di arus gerimis
lalu separuhnya terselip diantara angka-angka kalender dan temaram
Dan jika waktu adalah batu-batu maka kita akan berjalan jauh menapakinya
Sampai akhirnya kita akan mengetuk pintu
dengan perasaan yang perkasa menerima
setiap suara kenyataan yang dihadirkan deritnya
Disana aku menjadi telaga bagi resahmu
Dan kau menjadi telaga bagi gelisahku
Selalu ada tanda yang tersisa untuk diterjemahkan,
barangkali luka dan kekhawatiran
Selalu ada makna yang diraih ketika
pedih dicerna dengan hati yang bersih,
sikap yang lembut dan pikiran yang tak lagi kalut
Hidup ini, kekasihku, seperti ribuan helai panjang hitam rambutmu
Ada saatnya aku terlalu gemetar mengurainya
Ada saatnya kau begitu rapi menggerainya
Ada saatnya kau tak bisa lengkap merabanya
Ada saatnya aku aku begitu pasti membelainya
Atau begitu sepi langitmu dan anak-anak kecil
tampak berlarian nakal di teras mesjid ini
Atau begitu perihnya pikiranku dan kulihat
bayi kecil menangis di pangkuan bapaknya
Atau begitu harumnya kebersamaan dan
aku ingin menemanimu mencium aromanya
Atau kelak kita akan mengajari anak-anak
yang penakut untuk menulis puisi
dengan bolpoint yang tiba-tiba tintanya kering,
jiwa yang tiba-tiba kering
Kutulis doa ini untukmu, perempuanku
sebab aku ingin mencatatmu dalam hitungan tahun yang panjang
seperti hitungan menempuhi ketabahan dan harapan yang bersahutan
Dan jika waktu adalah restu maka kita akan belajar
saling mempertautkan kehalusannya
Selalu, kekasihku, aku ingin mencintaimu
Jadilah ibu bagi puisi-puisiku yang berserak
Jadilah ibu bagi anak-anakku kelak.
Kampus, 22 Desember 2006
“Selamat Hari Ibu”
sebab aku ingin mencatatmu dalam hitungan tahun yang panjang
Seperti hitungan takzim dan ketukan kerinduan yang saling bersentuhan.
Selalu ada dunia berpendar di mata kekasih
Lalu kita belajar berharap bahwa Cinta seperti ibu yang melahirkan kita
Seperti keteduhan yang acap meluruskan muram dan sunyi
yang kerap melengkapi malam.
Aku ingin mencintaimu, kekasihku
seperti kelak begitu mesranya anak-anak kecil mencium kedua belahan pipiku
sebelum hati-hati kuikat tali sepatuku
sebelum pelan kau masukkan setiap kancing bajuku
sebelum kelak kau bercerita padaku bahwa doa-doa semalam hanyut di arus gerimis
lalu separuhnya terselip diantara angka-angka kalender dan temaram
Dan jika waktu adalah batu-batu maka kita akan berjalan jauh menapakinya
Sampai akhirnya kita akan mengetuk pintu
dengan perasaan yang perkasa menerima
setiap suara kenyataan yang dihadirkan deritnya
Disana aku menjadi telaga bagi resahmu
Dan kau menjadi telaga bagi gelisahku
Selalu ada tanda yang tersisa untuk diterjemahkan,
barangkali luka dan kekhawatiran
Selalu ada makna yang diraih ketika
pedih dicerna dengan hati yang bersih,
sikap yang lembut dan pikiran yang tak lagi kalut
Hidup ini, kekasihku, seperti ribuan helai panjang hitam rambutmu
Ada saatnya aku terlalu gemetar mengurainya
Ada saatnya kau begitu rapi menggerainya
Ada saatnya kau tak bisa lengkap merabanya
Ada saatnya aku aku begitu pasti membelainya
Atau begitu sepi langitmu dan anak-anak kecil
tampak berlarian nakal di teras mesjid ini
Atau begitu perihnya pikiranku dan kulihat
bayi kecil menangis di pangkuan bapaknya
Atau begitu harumnya kebersamaan dan
aku ingin menemanimu mencium aromanya
Atau kelak kita akan mengajari anak-anak
yang penakut untuk menulis puisi
dengan bolpoint yang tiba-tiba tintanya kering,
jiwa yang tiba-tiba kering
Kutulis doa ini untukmu, perempuanku
sebab aku ingin mencatatmu dalam hitungan tahun yang panjang
seperti hitungan menempuhi ketabahan dan harapan yang bersahutan
Dan jika waktu adalah restu maka kita akan belajar
saling mempertautkan kehalusannya
Selalu, kekasihku, aku ingin mencintaimu
Jadilah ibu bagi puisi-puisiku yang berserak
Jadilah ibu bagi anak-anakku kelak.
Kampus, 22 Desember 2006
“Selamat Hari Ibu”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Responses to “Puisi: Doa Yang Tercatat”
Post a Comment