Sunday 10 September 2006

0

Tafsir, Tafsir dan Tafsir

  • Sunday 10 September 2006
  • Unknown
  • Share
  • Sejarah manusia adalah sejarah nalar yang bergumul dengan geriak tanda. Himpunan tanda kerapkali merupakan sketsa yang menegur ingatan kita tentang eksistensi sebagai anak haram absurditas, anyir, cemasâ—dan itu berarti dengan serta-merta di pecah sekaligus dilupakan. Pada akhirnya, pemaknaan nalar acapkali adalah penundaan ketidakpastian dalam jeda, untuk mengatakan bahwa hidup ini berharga, bermakna dan kita berharap untuk keutuhan iman tentang makna, kepastian, tentang Tuhan. Namun, pembacaan atas riwayat iman kerapkali pembacaan atas bayang-bayang masa lalu dengan gemetar nalar yang samar, mungkin atau bahkan entah. Memang, sebuah gamang yang sublim; sebuah dramaturgi “masokisme” dalam kompromi, sebut saja begitu..

    Persoalannya, di sisi lain, keberadaan iman hanya berupa sebuah mekanisme “estafeta kesadaran” (atau mungkin anda lebih suka menyebutnya ideologisasi-doktrinal?) yang dalam kondisi keterdesakan akan rasa cemas dan gentar terhadap misteri dan “ancaman” realitas, kita mesti menerima segenap sabda sebagai gema yang ternyata tak pernah tersentuh, apriori dan disini kita tak henti berkelindan dengan tafsir sebagai—sebut saja—judi! Maka, kelak kita hanya menerka, menghimpun sekedar bayang-bayang tentang firman yang tak kunjung utuh (dan kita tak henti bermain diatas, meminjam celoteh Derrida, “papan catur tanpa dasar”. Rumit, memang. Tapi kita harus menerimanya, meski terkesan cukup pongah dan konyol.


    Namun kita tahu, konon, Tuhan bernyanyi di luar sejarah. Di dunia ini, di dalam sejarah, manusia menari menebar bermilyar tafsir (agama), blingsatan dalam tebakan-tebakan teologis. Adalah kitab suci—yang dianggap sebagai refresentasi pesan metafisik—telah demikian tak utuh dalam tafsir pergumulan historis. Tuhan, pada akhirnya, menjadi konsep, menjadi agama, menjadi ayat-ayat beku, menjadi teks (dan di ranah itu Tuhan mungkin menjadi bedebah, galak atau bahkan bisa memalukan!). dan kita tahu pula bahwa teks telah sendirian, Tuhan raib entah kemana; “Sang pengarang,” bisik Barthes, “telah mati.” Maka, sebuah kunci kebenaran begitu sunyi; sebuah otoritas primer telah menguap dalam bisu, senyap dan kekal. Lantas, benarkah ambivalensi sejarah kian tegas meniscayakan dinamika tafsir di satu sisi, dan di sisi lain menjadi arena eksekusi sang pemegang hegemoni tafsir terhadap pluralitas (pe) makna (an)?


    Sejarah manusia punya banyak fragmen kekalahan dengan sepenuh kegelisahan tentang pertanyaan diatas. Terlalu banyak orang yang punya alasan yang cukup untuk merdeka menjadi penafsir; selalu, mereka berhadapan dengan otoritarianisme tafsir agama. Namun kita tahu, ikhtiar mereka untuk berijtihad dengan merdeka pada akhirnya harus ditebus oleh caci maki, keterasingan, penindasan, marjinalisasi, penghakiman atau bahkan berhenti dalam kematian. Celakanya para tokoh ulama yang mengklaim punya wewenang untuk menyeleksi tafsir dapat sekaligus menjadi “olisi aqidah”. Dan para tokoh agama yang dianggap otoritatif dalam tafsir-menafsir itu meraung dengan kekuatan despotiK yang punya potensi memaksa terhadap “yang lain”, bahkan destruktif. Ada banyak golongan atau aliran keberagamaan yang sempat mencicipi “kebrutalan” kelompok lain hanya karena perbedaan pendapat. Muncul fatwa dan menggeliat dari para tokoh agama yang merasa kebakaran jenggot menghadapi perbedaan; mereka yang kerapkali mendaku tafsirnya sebagai “suara Tuhan”. Mereka yang tak lagi berbicara tentang Tuhan, melainkan ngomong “atas-nama-Tuhan” atau bahkan seolah-olah menjadi “mulut” Tuhan itu sendiri.


    Namun, terlepas dari persoalan diatas, pada akhirnya saya percaya bahwa tafsir, bagaimanapun juga, merupakan reduksi. Tesis tersebut telah jauh hari di lontarkan oleh kalangan pasca-strukturalis bahwa “Setiap penafsiran adalah perkosaan”. Ketika sang penafsir berpelukan dengan teks-teks keagamaan, sesungguhnya di situ telah terjadi semacam “perkosaan” teks: otonomi teks di nafikan, dan kandungan makna teks disesuaikan dengan maksud dan kehendak (atau ambisi) sang penafsir—sebuah perselingkuhan antara teks dengan kepentingan kurapan manusia yang profan. Lantas tafsir mana yang benar, yang shahih? Atau benarkah tafsir kita memang tidak pernah tepat menyentuh seluruh bentuk utuh firman-firman? Tidak akan pernah. Siapa yang dapat menjamin bahwa tafsir yang paling edun dan diucapkan oleh penafsir yang popular sekalipun tak akan salah? Toh kita hanya menafsir; setiap kepala punya tafsirnya sendiri, maka tak heran banyak perbedaan tafsir. Itu bukan persoalan; yang patut dipersoalkan, tentu saja, selembar tafsir yang dianggap agama itu sendiri, Tuhan sendiri. Maka, kita benar-benar terlalu angkuh jika telah merasa “memiliki” Tuhan dengan lengkap, Tuhan it`s self, sembari membunuh tafsir yang lain. Namun, bukannya tidak harus selektif terhadap tafsir; ada tafsir yang tak berangkat dari akal dan hati nurani dan rasa kemanusiaan, tafsir yang jumud. Mari menafsir terus-menerus!!

    2006

    0 Responses to “Tafsir, Tafsir dan Tafsir”

    Post a Comment

    Subscribe