Wednesday 8 March 2006

0

Delapan Maret

  • Wednesday 8 March 2006
  • Unknown
  • Share
  • Saya disodorkan 8 Maret. Saya benar-benar masygul ketika tahu bahwa tanggal yang saya lingkari di kalender sebagai angka janji bertemu dengan seseorang ini ternyata dirayakan sebagai hari besar bagi perempuan di seluruh dunia. Ada yang menghentak ingatan saya, tetapi tak terlalu keras; sebab saya pikir, saya kurang optimis pada kebanyakan orang disini yang dapat mafhum tentang 8 Maret. Ia memang seperti angka 17 di bulan Agustus bagi Indonesia; 22 Desember bagi ibuku atau mungkin 27 Juni bagi calon isterimu. Ia hanya angka yang barangkali dapat dimaknai berbeda oleh seseorang yang diputuskan hubungan oleh seorang pacar ditanggal 8 Maret, misalnya.

    Delapan Maret. Ia memang seperti angka 17 Ramadhan yang acapkali dilingkari dalam barisan angka kalender, diperingati dengan banyak ongkos dan beberapa hari kemudian dengan mudah dapat dilupakan. Urusan dapat beres. Tetapi ternyata tak hanya itu. Sebuah angka dapat bicara lebih banyak ketimbang sejarawan dan komentator sepakbola. Ia yang bertanya: zaman macam apa yang amat gigih membeli pelbagai ritual dan repetisi tindakan massif dengan harga yang lebih mahal ketimbang meraih kesadaran dan perubahan sesegera?

    Seseorang berulang tahun, misalnya, dan ia merayakan umurnya yang bertambah dengan banyak kegembiraan. Tentu saja, semestinya bukan kegembiraan bertambahnya angka-angka laiknya gol sepakbola bagi klub pemenang, tetapi berapa orang dari sekian juta penduduk yang lebih takzim pada tanggung jawab esensial dibanding tanggung jawab mentraktir teman dalam pesta, gempita hari raya dan momen-momen peringatan yang dibiarkan melintas agak dekat dengan jalur ingatan kita?

    Saya membolak-balik 8 Maret. Angka yang tidak berubah untuk diperingati ketika umur saya 20 tahun, dan kini bertambah. Lalu apa yang berubah? Tanggal yang diperingati beratus-ratus kali, spanduk yang dipasang bermeter-meter panjangnya dan agenda kerja bertumpuk berkilometer tingginya tak jua menghentikan persoalan eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang terkandung dalam 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional [HPI] itu? Saya percaya, 8 Maret punya makna yang tak final. Ia, angka itu, selalu hidup untuk diisi dan dikerjakan, sebab ia mengandung banyak tanda Tanya dan semacam tugas bersama.

    Namun, sepertinya hitungan yang lebih tua sebagai hari khusus yang diperingati untuk kesekian kalinya kian tak menarik. Laiknya 17 Agustus yang acapkali ditanggapi seperti kilasan kesan episode sinetron picisan yang banyak dibicarakan tapi tak realistis, 8 Maret juga tak kunjung dipahami sebagai “peringatan” atas penyakit lupa kita akan kenyataan sejarah, bahwa perempuan hari ini punya persoalan serius dengan [his]tory. Namun—setidaknya, jujur saja—disekitar kita, tanggal tersebut tak kunjung jadi semangat, kesadaran dan pemaknaan yang bergerak mengguratkan jejak yang bagus.

    Kita lupa, setiap tanggal yang ditetapkan dan dilingkari untuk merangkum sebuah fragmen penting dalam sejarah selalu dibentuk oleh kesungguhan yang berkeringat, capek, luka, perdebatan, keras kepala dan beberapa garis darah—seperti 17 Agustus.


    [2]

    Saya menyodorkan 8 Maret. Seorang kawan membantah tak lama setelah saya bicara banyak tentang gagasan Partai Sosialis AS, Hari Perempuan Amerika, demonstrasi besar untuk persamaan hak politik kaum perempuan bulan Februari 1908, Deklarasi Copenhagen, feminisme, kaum buruh dan sebagainya. Ada xenophobia. Ia juga mendesak saya memutuskan benang merah pengaruh 8 Maret bagi seorang Kartini. Ia mengkel, bahwa International Women Suffrage Alliance yang terbentuk tahun 1904 sebagai cikal bakal “kurang ajarnya” perempuan terhadap sejarah laki-laki; cikal-bakalnya isme barat yang menyeret kodrat perempuan dalam gilas kesesatan. Hm, saya tak mau panjang lebar bicara hegemony historical.

    Saya telah bicara cukup tentang tetek-bengek buruh yang dihisap, surplus value, sedikit marxisme, penindasan dan perubahan sosial. Saya bilang bahwa ketertindasan dalam bentuk apapun disetiap negara adalah sama; bahwa si “Barat” Clara Zetkin dapat benar dan pawai demonstrasi pertama 8 Maret jelang revolusi Rusia dan Perang Dunia I, dapat dihormati jika pikiran kita terbuka untuk esensi; bahwa setiap manusia—dalam kondisi ketertindasan apapun—punya naluri perubahan dan kemanusiaan yang sama. Lagi, tak ada bedanya 8 Maret dengan 17 Agustus atau Iedul Fitri. Semuanya punya kesamaan titik makna yang dapat kita temukan setelah kita menemui banyak hal dari problem kemanusiaan, dimanapun, terlepas di Barat, Timur, di Negro dan sebagainya. Cocok tidak cocok, 8 Maret atau isme atau apapun namanya, jangan terlalu disamakan dengan pakaian, bra dan celana dalam yang lebih banyak berkutat dalam persoalan “selera”. Ini bukan soal selera ideologi dan semacamnya, ini tentang kesamaan kondisi kemanusiaan dan tanggung jawab atasnya.

    Mengenai munculnya gagasan 8 Maret di “Barat” memang tak perlu dipersoalkan. Toh kita tahu, di Inggris, HPI menjadi peringatan tahunan sesudah perang Dunia II. Di Amerika, peringatan HPI menjadi peringatan tahunan sejak munculnya Gerakan Pembebasan Perempuan yang lahir bersamaan dengan gerakan hak-hak sipil dan gerakan perdamaian antiperang tahun 1960-an, yang terus berkembang dan meluas, bahkan sampai ke Indonesia. Akhirnya, PBB menetapkan tahun 1975 sebagai Tahun Internasional Perempuan, dan tahun 1976-1985 ditetapkan sebagai Dasawarsa Perempuan. Tahun 1978, PBB menetapkan 8 Maret dalam daftar hari libur resmi. Segalanya berjalan begitu saja, seperti keharusan.

    Akhirnya, 8 Maret ditetapkan sebagai hari “peringatan-tahunan” bagi tiap negara untuk memperhatikan nasib perempuan. Angka itu menjadi “kunci kemerdekaan” bagi perempuan untuk berharap lebih baik atas harkat dan martabatnya dikemudian hari. Seluruh perempuan memperingati hari ini dengan penuh makna dan harapan akan posisi kehidupan perempuan ke arah yang lebih bermartabat. 8 Maret juga dirayakan untuk memperkuat temali solidaritas sesama perempuan dalam ikhtiar menegakkan penhormatan terhadap hak-hak bagi perempuan untuk bergerak lebih jauh di pelbagai bidang sosial, politik dan ekonomi.



    [3]

    Seorang-kawan menyodorkan segelas kopi setengah dingin dan saya menyodorkan kaki siap dipijat, lalu saya bicara:

    “Di Indonesia, harapan semacam tadi muncul di kepala RA Kartini. Kesadaran atas ketertindasan kaum perempuan dan sifat struktural penindasan itu sudah lama muncul di Indonesia. Kartini, seorang puteri bupati Jawa yang melalui tulisannya menentang keras poligami, kawin paksa, dan penindasan feodal serta kolonial. Ia berusaha menegakkan hak kaum perempuan untuk bersekolah dengan mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan.”

    Kawan saya mengisap rokok, ia batuk-batuk. Dan saya diam-diam kentut. Lalu saya melanjutkan.

    “Di negeri-negeri lain [termasuk negeri-negeri kapitalis industri maju], kaum perempuan mengalami pelbagai bentuk penindasan baik yang bersifat kelas, maupun seksual seperti pemerkosaan, perdagangan perempuan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, tanpa perlindungan hukum yang memadai. Kekerasan terhadap perempuan terus terjadi di banyak masyarakat, atas nama tradisi, agama, kebudayaan bahkan inisiatif yang selalu tak punya landasan epistemology. Dan, kita tahu, semua manusia diciptakan sama dengan harga diri, merupakan prinsip paling mendasar dari hak asasi manusia. Ketidakadilan yang paling sering dialami oleh kaum perempuan adalah eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan…”

    “Eit, tunggu bentar. Bisakah dikau jelaskan apa itu eksploitasi?”

    “Eksploitasi berarti bekerja diluar batas dan pikiran, dan menerima tidak sesuai dengan kebutuhan hidup layak.”

    “Diskriminasi?”

    “Berarti setiap upaya pembedaan yang terjadi secara paksa, semena-mena, diluar kehendak dan merugikan.”

    “Kalau kekerasan?”

    “Adalah segala bentuk teror, tekanan dan intimidasi yang dialami.”



    [4]

    Tak berubah, memang, untuk konsisten pada perubahan. Artinya, harapan yang sama akan tetap terdengar seperti angka 8 setiap bulan Maret. Ada yang belum selesai. Dan saat ini, yang diharapkan perempuan adalah pengakuan akan kesetaraan baik dalam peran maupun kedudukan dalam masyarakat. Tak luput, dengan perlindungan hukum yang kuat. Bagaimanapun juga perempuan ingin dihargai sesuai dengan kemampuannya. Tentu saja, ini harus diikuti oleh kemauan perempuan meningkatkan kualitas dirinya jika ingin mendapatkan keadilan dan kesetaraan gender. Yoi, jangan hanya menuntut ini-itu, namun harus bisa meningkatkan kualitas diri. 8 Maret. Hari Perempuan Internasional, International Women`s Day, adalah satu moment yang tepat untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan bagi kaum pria untuk mendukung perjuangan perempuan. Masih banyak yang harus diperjuangkan oleh kaum perempuan untuk mendapatkan keadilan dan kesetaraan gender, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, politik, hokum dan bidang lainnya.

    Walhasil, 8 Maret bukan angka mati. Ia tak mesti sesegera diingat dan dengan cepat pula dilupakan. Ia adalah angka yang akan tetap mengetuk ingatan kita sepanjang tahun, bahwa persoalan nasib perempuan belum usai; bahwa setiap manusia punya harapan untuk mendapatkan haknya. Bahwa kita punya tanggung jawab untuk memberikan ruang kemerdekaan pada yang lainnya, terutama perempuan. Jika kita masih merasa manusia, kita akan peduli pada nasib perempuan. Mudah-mudahan kita masih dapat bertemu angka 8 dibulan Maret tahun depan dengan keadaan yang lebih baik! Semoga.





    Selamat Hari Perempuan Internasional.


    8 Maret 2006

    0 Responses to “Delapan Maret”

    Post a Comment

    Subscribe