Sunday 15 January 2006

0

Tragedi, Feminisme dan Spirit Pembebasan

  • Sunday 15 January 2006
  • Unknown
  • Share
  • Abad feminisme lahir.
    Ia hadir menjadi sebuah interupsi terhadap pongahnya ideologi phallus dan
    banalitas sistem patriarkal sebagai anak haram peradaban. Gerakan kaum perempuan telah menggeliat
    dalam gairah sang penggugat sekaligus “kaum murtad” terhadap
    ritualitas candu masokism dan otoritarianisme relasi gender yang seksis.
    Thus, feminisme mencibir artikulasi “hukuman” stigma sub-human, dehumanisasi, dan karatnya
    tafsir “romantik” paling nyeri: spesies hawa adalah pewaris dosa dan dianggap layak menerima
    adagium sinis sebuah alegori tulang rusuk yang patah—sekerat “lelaki” yang tak lengkap.


    FEMINISME adalah barat. Feminisme adalah anti laki-laki. Feminisme adalah menolak punya anak dsb.: beberapa stigma negatif tersebut masih menjamur di benak sebagian masyarakat kita tentang kehadiran dan diskursus feminisme. Memang, gerakan kaum perempuan tersebut pertama kali nongol di Barat, di abad ketika semangat berpikir, kesadaran dan ilmu pengetahuan menemukan denah lain di luar keterpasungan makna. Namun, banyak orang di luar “Barat” kemudian menjadi ragu dan yakin menolak konsep feminisme dengan asumsi ketidakcocokan konsepsi-kultural. Padahal, bantah kaum feminis, pada dasarnya feminisme naik kepermukaan sejarah sebagai gerakan kepedulian terhada nasib perempuan dalam tragedy, bukan sebuah ideologi kasar product Barat. Pun sentimen Barat memang masih melekat dalam pola pikir di sebagian masyarakat; seolah-olah Barat adalah “bangsat” tanpa lebih bijak menerima sisi positifnya. Secara substantif, feminisme muncul dari semangat pembebasan yang berawal dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan telah terjebak dalam narasi labirin ketertindasan dan eksploitasi patriarchy (ideologi lelaki). Para feminis—bukan feminin—hadir di panggung sejarah dalam ekspresi sebuah pengajuan spirit yang mendasar: perempuan pun berhak menerima kemerdekaan dan pilihan hidup sebagai manusia, bukan setengah-manusia (sub-human).

    Feminisme—yang berarti hal-ihwal tentang perempuan, atau berarti paham mengenai perempuan. Secara historis, istilah tersebut muncul pertama kali pada tahun 1895; sejak itu pula feminisme dikenal secara luas. (Lisa Tuttle:1986). Feminisme sebagai sebuah gerakan, hadir pertama kalinya di Amerika akhir abad ke-19 atau awal ke-20 dalam rangka memperoleh hak untuk memilih (The Right to Vote). Kelak embrio spirit pembebasan perempuan itu menjalar ke pelosok dunia. Ada hal menarik sebagai klarifikasi dari kaum feminis bahwa paradigma feminisme bukan paradigma homogen dan konsepsi yang monolitik Perkembangan pemikiran feminisme adalah proses kontekstual. Itu sebabnya definisi feminisme menjadi multifaces, beragam dan dinamis sesuai realitas sosial, kultural dan situasi politik—sebuah pembacaan toleran terhadap dinamika dan pluralitas zaman. Meskipun proses paradigma, teori dan analisis dari ideologi banyak aliran feminisme di dunia berbeda-beda, tetapi memiliki titik kesamaan spirit dan kesadaran: kepedulian memperjuangkan nasib perempuan yang kalah.

    Ada banyak aliran bermunculan di panggung sejarah, dengan corak paradigma yang tentu berbeda. Sebut saja aliran Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis, Feminisme Sosialis, Feminisme Multikultural, Feminisme Agama atau Teologi Feminis daneco-feminisme. Kaum feminis, melalui alirannya masing-masing, mulai gencar mengajukan kritik terhadap realitas yang menelikung nasib perempuan—sebuah fitrah pembelaan dan pembebasan manusia untuk manusia. Tetapi perlu di catat, seorang feminis bukan suatu prototife jenis perempuan atawa lelaki dengan kategori karakter, pemikiran dan penampilan tertentu, kecuali bahwa ia menyadari adanya ketimpangan struktur dan tidak nyaman pada bentuk ketimpangan itu. Jadi, lelaki pun bisa menjadi seorang feminis selama ia memilikiconcern dan kesadaran untuk mengubah ketidakadilan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Atau sebaliknya, perempuan bisa menjadi lebih patriarkis dari laki-laki. Maka, diakui ataupun tidak, feminisme bukan berarti adalah Barat, anti laki-laki, menolak melahirkan anak, teroris, pengacau, kafir dan stigma negatif lainnya.

    Namun, proses gerakan feminisme kerap mengalami jalan terjal sepanjang sejarahnya. Dinamika perjuangan kaum perempuan dengan serta merta menerima penolakan, resistance (perlawanan) hujatan dan penggusuran dari kemapanan ideologi yang ada. Bahkan tak sedikit dari kaum perempuan sendiri pun gencar menolak kehadiran feminisme. Lantas, merebaklah golongan yang kontra-feminisme. Golongan ini berupaya menghendaki adanya status quo dan menolak mempermasalahkan kondisi mapun posisi perempuan. Struktur-fungsional masyarakat harus dipertahankan, agar tak terjadi konflik. Tentu saja, ketakutan golongan masyarakat tersebut terhadap konflik bisa berarti: bahwa konflik selalu mengisyaratkan perubahan sistem dan struktur—sebuah bentuk “kehancuran” yang tak diinginkan phallus. Ada cukup alasan pula kenapa penolakan terjadi; pertama, masih banyak masyarakat yang tak memahami substansi feminisme. Banyak orang mejadi “korban pengertian” tentang feminisme yang dianggap negatif. Kedua, perempuan kadung merasa betah menikmati penderitaan (masokism) dan masyarakatpun merasa diuntungkan oleh sistem dan struktur yang sejatinya timpang. Kondisi tersebut diperkuat lagi oleh sebuah kesimpulan: penolakan terhadap feminisme sesungguhnya merupakan manifestasi ketakutan akan perubahan. Akibatnya, kaum feminis pun masih mesti menerima pil pahit: sebuah nasib masih dan kian anyir dicabik dan diremehkan “sejarah”—sejarah yang berpenis; sejarah yang kian sinis membakukan sebuah logika phallus: mengamini feminisme adalah “bunuh diri”, adalah mengamini “kejatuhan” struktur dan sistem status quo paling purba dalam masyarakat “maskulinitas”; sejarah yang memberhalakan lelaki dan menganggap bahwa perempuan adalah sekunder dalam setiap hal—sebuah “kepastian” di tanah sejarah antah-berantah, sebuah paradoks nasib.

    Imbasnya, reformulasi pola relasi dan kuasa antar lelaki dan perempuan yang diajukan feminisme dianggap sebagai ancaman terhadap kemapanan tradisi, institusi keluarga dan ideologi patriarki. Patriarki, menurut Weber, telah mendeskripsikan suatu organisasi kekuasaan sosial antara laki-laki sebagai pemimpin terhadap perempuan, anak-anak dan budak. Ia muncul dari apaknya logika keberbedaan dan reaksi keterancaman identitas. “Modus” patriarkis untuk memenuhi hasratnya kerap menggunakan “sihir” ideologi, kebijakan pemerintah, kategori normativitas, kultural, keyakinan tradisi, asumsi-asumsi ilmu pengetahuan dan tafsir-dalih agama. Mental patriarkis merupakan sebuah mental kolektif yang destruktif, membangun “yang-lain” diseberang nalarnya sekaligus memainkan mekanisme deformasi, stigmatisasi, mutilasi, reduksi terhadap identitas “lain”; sarat konspirasi egoistis dalam sepak-terjangnya—sebuah pengukuhan bahwa lelaki sebagai pusat kekuasaan dan perempuan objek yang dikuasai. Maka, dalam ketimpangan tersebut, kehadiran gerakan feminisme menjadi sebuah keniscayaan sejarah untuk “menampar” sistem yang “kurang ajar” dan membangunkan perempuan dari tidur ketertindasannya.

    Dalam pada itu, para feminis menjadi sebuah bantahan sekaligus kritik yang konsisten terhadap ketidakadilan gender (gender-inequalities), rezim “kebenaran” dan “kenyamanan masokistis” dari sebuah konsensus seksis masyarakat yang mendaku kodrat, sakral, mutlak dan ora bisa dirubah. Ujung-ujungnya membakukan sebuah stereotype yang tajam bahwa lelaki superior dan perempuan inferior, sepanjang sejarah.


    Menyusuri Tragedi di “Neraka” Patriarkal

    Menyoal tentang stereotif yang menggambarkan binnerisme nilai gender, setidaknya perlu disimak pernyataan dua kubu yang satu sama lain bertentangan ini: para penganut teori nature berkeyakinan bahwa superioritas laki-laki diperoleh karena secara alami mereka lebih unggul dari kaum perempuan. Sedangkan di pihak lain, para penganut teori nurture membantah, bahwa basis superioritas laki-laki bukan karena perbedaan alami antara laki-laki dan perempuan, tetapi karena proses sosial tertentu. Pernyataan penganut nuruture tersebut diimani oleh tesis populer kalangan feminis bahwa memang ada perbedaan mendasar antara “seks” dan “gender”. Seks merupakan jenis kelamin biologis, seperti penis dan vagina, sifatnya permanen sebagai produck Tuhan atau kodrat. Sedangkan gender merupakan pensifatan atau pelabelan sosial, sebuah konstruksi sosial-kultural yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan, sifatnya relatif, temporal bahkan bisa berubah, misalnya perempuan makhluk lemah, cengeng, manja, emosional, pasif dst.; laki-laki kuat, tegar, tegas,macho, rasional, aktif dst.. Kelak, “mesin” patriarkal mencampuradukan perbedaan keduanya bahkan dibakukan. Malangnya, pembakuan stereotif atau pensifatan tersebut kemudian berimbas pada diskriminasi, marjinalisasi, subordinasi dan kekerasan terhadap perempuan dikemudian hari. Itulah mata rantai bentuk-bentuk ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan dalam sejarah manusia.

    Mata rantai ketidakadilan kemudian hadir dalam akumulasi dehumanisasi. Perempuan yang di vonis kelas kedua (second sex), menjadi korban. Marjinalisasi, misalnya, sebagai akibat dari pelabelan (stereotype) negatif terhadap eksistensi perempuan, telah meminggirkan perempuan dari arus utama kesejahteraan di masyarakat. Ideologi lelaki, yang telah menjadi penyakit akut sosial, mengembangkan citra minor bagi perempuan dengan menolak, menghilangkan dan merendahkan pengalaman, nilai dan kepentingan perempuan sebagai suatu kelompok. Kemiskinan perempuan buah dari domestifikasi dan pembagian peran menurut jenis kelamin yang timpang adalah deskripsi nyata. Masyarakat membangun “penjara” rumah (domestic) bagi perempuan dan serta merta mengeksekusi kemerdekaannya untuk menentukan pilihannya berkiprah di ranah publik. Perempuan dibentuk untuk sepakat pada satu ketentuan: nikmati rumah 24 kali jam, kasur-sumur-dapur—sebuah lingkaran yang panjang dan maha sepi.

    Simone de Beavoir, dalam The Second Sex, menggambarkan banyak perempuan lansia merasa menyesal hanya karena selama ini terpatok pada rutinitas pekerjaan dan rumah tangga yang terus menerus berlangsung secara monoton dan menyita hampir seluruh waktu di sepanjang hidupnya, membereskan rumah, mencuci, bersolek, serta mengurus anak. Gawatnya, pekerjaan-pekerjaan itu dianggap kodrat perempuan, skenario Tuhan dsb, Padahal itu hanya sebatas kesepakatan dan konstruksi sosial-kultural. Akibat anggapan keliru tersebut, akses dan potensi pekerjaan yang produktif dan bernilai ekonomis di ranah publik akhirnya tertutup dan budaya ketergantungan ekonomi perempuan terhadap laki-laki, bapak ataupun pacarnya semakin membengkak. Ditambah lagi dengan persoalan beban kerja ganda. Misal, dalam keluarga miskin, si isteri akan terpanggil untuk membantu suaminya cari nafkah, sementara ia harus mengerjakan pekerjaan domestik yang tak kunjung di bayar (unfaid work). Kerja domestic bukan kesalahan bagi perempuan, memang. Tapi kerja public pun bukan kesalahan pula bagi perempuan. Toh tanggung jawab pekerjaan domestik bukan hanya tanggung jawab isteri (perempuan) saja., suami pun dituntut untuk bertanggung jawab mengurus anak, mencuci, memasak dan sebagainya. Ironisnya, ada hadits yang memerintahkan perempuan untuk selamanya tinggal dirumah, untuk mengikuti perintah suami dan melayani segala kebutuhannya. Teks hadits itu dikutip Imam Al-Ghazali (w.505H) dalam magnum opusnya Ihya uluumd-din dan Imam Nawawi (w. 1315H) dalam kitab Uquud al-Lujjan. (Rahima No.7:2003). Tetapi kemudian diduga hadits itu lemah dari sisi sanadnya, meski telah terlanjur tersebar dalam kitab-kitab maupun buku-buku kurikulum. Bahkan lebih ironinya, hadits-hadits bersangkutan dijadikan hujjah bagi para pendakwah untuk melarang perempuan memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, seperti yang dinyatakan Syekh Muhammad al-Ghazali, dalam Sunnah an-Nabawiyyah (1992:51).

    Namun, meskipun kini tak sedikit perempuan yang mulai beraktivitas di ranah publik, tetap saja berkutat di sektor-sektor dan posisi marjinal (hamisy). Buruh cuci, atau pembantu rumah tangga dan semacamnya; bukan pekerjaan yang menuntut keahlian seperti di sektor iptek. Feminis sosialis, misalnya, melihat hal tersebut sebagai proses reduksi (reducing process) dan alienasi yang dialami perempuan dalam sistem patriarki dan relasi di masyarakat. Bulan Januari 2006 yang lalu, di Gunung Kidul, sekedar sampel, ada tragedi tentang kemiskinan perempuan. Seorang Ibu bernama Ruhiem (36) dan ketiga anaknya mencampur racun tikus dengan nasi dan mereka nekat memakannya, mati. (Pikiran Rakyat 13/1). Sungguh kejadian itu sebuah—meminjam bahasa Mas Goenawan Muhammad—kebrutalan yang anggun. Ruhiem prustasi. Ia dan ketiga anaknya dilanda tsunami kemiskinan setelah ditinggalkan suaminya. Ketergantungan finansial Ruhiem pada si Aa-nya yang ilang akibat tak adanya pendapatan ekonomi alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga.

    Tak hanya itu, sebelum tragedi Ruhiem, kejadian lebih tragis berupa pembakaran anak oleh ibunya sendiri terjadi di bulan yang sama. Suaminya mabuk dan tidak memberinya nafkah. Begitulah, kemiskinan memang lebih akrab dengan perempuan akibat marjinalisasi yang dilakukan sistem di masyarakat yang seksis, paternalistik. Getir, memang. Bahkan menurut Data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 1998 menunjukkan bahwa sebanyak 3.485.05 (25,31%) lansia masuk dalam kondisi terlantar. (JP:26) Fantastis! Lalu berapa persenkah di tahun yang akan datang? Dalam keadaan nasib seperti itu, bagaimana perempuan, dapat mendefinisikan dirinya, nasibnya?

    Selain marjinalisasi, bentuk ketidakadilan lain terhadap perempuan adalah subordinasi. Stereotif masyarakat bahwa perempuan irrasional, cengeng atau emosional menciptakan keraguan terhadap potensi perempuan; maka lahirlah kesempitan gerak—bukan kesempatan gerak—bagi perempuan untuk berkaprah lebih dinamis dalam posisi penting. Hilangnya akses pendidikan bagi perempuan, misalnya, adalah bukti bahwa perempuan masih dipandang “abnormal” dan diremehkan masa depannya. Anggapan bahwa “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur juga” adalah ‘ajaran’ yang masih dipegang teguh di sebagian masyarakat. Dari data BPS yang dilansir Jurnal Perempuan, no. 23: 2002, misalnya, mulai tahun 1980-1990, menunjukkan bahwa rata-rata angka masuk perempuan ke lembaga pendidikan lebih kecil bila di bandingkan dengan angka masuk laki-laki. Di tingkat SMA; 41.45 %:58.57%, dan di perguruan tinggi; 33.60%:66.40%. tragis! Padahal, pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi masa depan nasib perempuan kelak.

    Dalam politik, apalagi. Proses subordinat terhadap perempuan masih kentara. Masyarakat politik mencari legitimasi sebanyak-banyaknya untuk efektivitas modus penindasan dan segregasi (pemisahan) terhadap kaum Hawa dari ajang kompetisi publik. Seolah perempuan “dikutuk” untuk tak punya hak membuat keputusan. Mengenai hal tersebut, ada ungkapan satire seorang penulis: “lelaki membuat keputusan, perempuan membuat teh.” Dalam ilustrasi terebut, jelas wewenang keputusan berada di laki-laki, sedangkan perempuan hanya di beri hak melayani suami saja, karena—menurut masyarakat patriarkal—perempuan itu irrasional, emosional dan tak tegas mengambil keputusan. Perempuan adalah setengah “lelaki”, tak lengkap, manusia yang tak sempurna dan sebagainya. Padahal emosional dsb itu adalah gender, masih banyak perempuan yang rasional dan tak sedikit lelaki yang irrasional—dalam kebijakan politik sekalipun.

    Bahkan, agama dihadirkan dan dianggap paling efektif dijadikan legitimasi untuk menindas kaum perempuan. Legitimasi religius, bisik Peter L. Berger, merupakan legitimasi yang paling tinggi, sebab ia melampaui hal-hal yang supra empirik, ia dipandang sebagai the sacred company (langit-langit suci) untuk pelindung. (Abdi Mustaqim MA.:2003). Terkait pernyataan tersebut, ternyata ada kesulitan memisahkan isu agama dari dunia politik: bahwa perempuan haram jadi pemimpin. Fiqh politik sepakat pada fatwa tersebut. Hal itu tentu saja dengan melempar dalih adanya asumsi inferioritas perempuan dalam pemahaman agama (baca: tafsir) yang diklaim “tuhan” dan tabu untuk disentuh dalam sebuah dekonstruksi—pinjam istilah Deridda. Persoalannya, tafsir pun sepanjang sejarah muncul dalam male domination dan di imani dengan mutlak oleh banyak masyarakat. Fiqh itu dijadikan mainan laki-laki. Akibatnya, tafsir seksis menjamur dan akhirnya menindas nasib perempuan berabad-abad lamanya, setelah akhirnya teologi feminis hadir dan mulai menggusur “tuhan seolah-olah” yang liar tumbuh di denah sejarah keberagamaan.

    Padahal, perlu dicatat, tafsir bukan agama. Memang, dalam dataran normatif ilahiyah kebenaran al-Qur`an adalah mutlak, namun dalam dataran historis-interpretatif, kebenarannya relatif. Karena proses tafsir pada akhirnya adalah proses pemahaman yang tak terlepas dari sebuah reduksi; sebab bahasa manusia tak akan kunjung sempurna menangkap firman. Bahasa memiliki keterbatasan (the limits of language). Tafsir akan selalu berubah karena berhubungan dengan sosio-kultural waktu tafsir tersebut lahir. Perubahan tafsir kitab suci yang dapat memenuhi kebutuhan zaman sekarang menjadi sebuah keniscayaan. Bahkan ada hadist Nabi yang mengatakan: “bahwa seseorang dikatakan faham tentang al-Qur`an, sehingga ia dapat mengetahui banyak ragam penafsiran di dalamnya.” Oleh karena itu, tafsir feminis berusaha menangkap semangat atau ruh dari ide yang ada dibalik teks al-Qur`an. Mereka cenderung untuk menganggap bahwa ayat-ayat lebih bersifat kontekstual, bukan merupakan statemen normatif yang bersifat state of being, melainkanstate of becoming. Maka, ayat-ayat yang bicara tentang hukum warisan, poligami, jilbab persaksian dll., hanya menjelaskan realitas sosio-historis masyarakat Arab zaman dulu. Oleh sebab itu, kini diperlukan tafsir yang berbasis gender dan tak diskriminatif, mulai menolak tafsir-tafsir misoginy (membenci perempuan) dan meruntuhkan pemahaman keagamaan yang sarat “hasrat” laki-laki serta menggugat fantasi patriarkal bahwa citra Tuhan itu maskulin, laki-laki.

    Kembali mengenai subordinasi dan vonis inferioritas perempuan. Riffat Hassan, seorang feminis muslim, telah menunjukkan bahwa matrik kultural yang menekankan posisi inferior perempuan dan menjadi pra-tex dalam membaca al-Qur`an adalah disebabkan oleh tiga asumsi teologis yang keliru; pertama, karena perempuan dianggap diciptakan dari tulang rusuk Adam (laki-laki). Kedua, bahwa hawa (perempuan) adalah yang bertanggung jawab atas kejatuhan Adam dari surga. Ketiga, bahwa tujuan diciptakannya perempuan adalah hanya untuk (melayani) laki-laki. (Trisno S. Susanto: 1998). Apalagi jika hal itu dibarengi dengan legitimasi ayat al-Qur`an surat an-Nisa:34: arrijaalu qowwaamuun `alannisaa…Maka semakin lengkaplah inferioritas dan subordinat kaum perempuan untuk mendapatkan hak menjadi pemimpin. Dalam sejarah penafsiran, para feminis muslim silih berganti menafsirkan “qawwaamuun” dalam ragam makna; diantaranya Fazlur Rahman. Menurutnya, kutipan ayat dalam surat Annissa: 34 tersebut mesti dimaknai dalam pengertian fungsional, bukan perbedaan hakiki. Artinya jika seorang isteri dibidang ekonomi, misalnya, dapat berdikari atau berdiri di kaki sendiri, baik karena warisan maupun hasil sendiri, dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan berkurang karena sebagai seorang manusia ia tidak memiliki keunggulan dibandingkan dengan isterinya.

    Lantas Amina Wadud sepakat, bahwa kalimat arrijaaluu qawwaamuun `alannissaa tidaklah dimaksudkan bahwa superioritas itu melekat pada setiap laki-laki secara otomatis sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional, yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria al-Qur`an: memiliki kelebihan kualitas dan kemampuan. Dan ini jelas tidak hanya berlaku bagi lelaki melainkan juga bagi perempuan juga. Pun ayat selanjutnya pun menggunakan ungkapan: bimaa fadhdhalallaah lahum `ala ba`dh, “sebagian laki-laki”, bukan dengan ungkapan: bimaa fadhdhala al-rijaal `alaa annisaa. Maka, pendeknya, tak ada larangan pada hakikatnya dalam al-Qur`an untuk perempuan jadi pemimpin selama ia memiliki kemampuan, potensi dan kualitas yang lebih. Kini, alhamdulilliah, tak sedikit perempuan sudah mulai diberi hak untuk memasuki ranah politik, dalam rangka Affirmative Action guna memberikan kesempatan dan kans seluas-luasnya bagi perempuan berkiprah dan mengaktualisasikan potensinya di ranah politik. Mudah-mudahan ia “diberi hak” pula untuk membuat kebijakan penting dan strategis, bukan sekedar perempuan hanya jadi pelengkap, pangjeujeug, figuran ataupun sekedar “meminjam” partisipasi untuk kepentingan persyaratan legalitas semata dalam mekanisme-formal politik dan demokrasi belaka.

    Tragedi perempuan memang belum berhenti. Ada bentuk ketidakadilan lain, yakni kekerasan (violence) terhadap perempuan. Kekerasan, tulis Mansur Faqih (2001), adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Gender-Related violence. Kekerasan gender pada dasarnya muncul dari matinya kesetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Bentuknya bisa bermacam-macam; misalnya, pemerkosaan terhadap perempuan, pemerkosaan keur dalam pacaran (dating rape) maupun dalam perkawinan (marital rape)—cenderung permintaan pelayanan seksual tanpa mempertimbangkan mood pasangan dan berakhir dengan paksaan. Boleh jadi si korban tak melawan disebabkan ancaman, di bius, keterpaksaan ekonomi, ketakutan, malu dan sebagainya. Ada banyak lagi bentuk kekerasan terhadap perempuan: domestic violence berupa haok-gaplok (pukulan) terhadap isteri dan anak-anak,genital mutilation berupa penyunatan perempuan, penyelenggaraan prostitusi oleh mekanisme ekonomi kapitalis, kekerasan nonfisik berupa pornografi dimana tubuh dijadikan objek demi kepentingan seseorang atau kelompok, praktek kekerasan sublim seperti poligami, program KB, atau molestation, berupa tindakan pelecehan pada bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa “lisensi” si pemilik tubuh. Bahkan ada yang menarik dari bentuk kekerasan yang ditulis Mansur Faqih dalam Analisi Gender (2001): sexual and emotional harassment, pelecehan seksual. Kekerasan jenis ini yang banyak dikonsumsi masyarakat. Sekedar contoh, seorang dosen meminta imbalan seksual kepada mahasiswinya dengan janji mengeluarkan nilai mata kuliah bagi yang bersangkutan—sebuah parole yang konyol. Atau bahkan menyampaikan lelucon jorok dan vulgar yang bikin perempuan malu setengah mati.

    Itulah sederetan deskripsi tragedi yang telah menempa nasib perempuan. Bahkan di Indonesia yang notabene mayoritas berpenduduk Muslim ataupun di kampus yang berbasis Islami sekalipun, mental patriarkis dapat hadir, dehumanisasi dan diskriminasi bisa dirayakan. Masyarakat muslim patriarkis sudah lupa pada teladan agung Nabi Muhammad; bukankah ia seorang feminis sejati yang agenda jihad-nya telah mengangkat martabat perempuan dari cengkraman masyarakat patriarki tempo doeloe, ketika zaman adalah bayi perempuan dianggap nista dan dikubur hidup-hidup? Thus, banyak cara yang dilakukan masyarakat patriarki untuk mengeksploitasi eksistensi perempuan. Sebuah legitimasi sangat mereka perlukan untuk mempertahankan status quo penindasan terhadap perempuan. Dengan begitu, perempuan akan “mabuk” dalam ketidaksadaran bahwa telah terjadi ketimpangan dalam relasi sosial. Perlawanan perempuan pun akan dapat di “aborsi” sedemikian rupa.

    Akibatnya, dari ketidaksadaran dan ketakutan atau malu korban untuk melapor, banyak kasus diskriminasi yang akhirnya tak terungkap dan malah perempuan sendiri menikmati tragedi dan “neraka” penindasan sebagai seorang masokis yang justru kondisi tersebut dapat membakar habis fitrah, potensi, eksistensi dan masa depan kemanusiaannya. Dalam kondisi seperti itu, kelahiran spirit pembebasan feminisme di tiap individu menjadi sebuah keharusan, baik bagi perempuan maupun laki-laki sebagai mitranya. Agar tercipta sebuah pembebasan (taharrur), kesadaran baru (new consciousness) dan terbentuknya relasi gender yang setara, harmonis dan berkeadilan dalam masyarakat. Pergilah, bekerjalah untuk mewujudkan cita-citamu, sebuah kutipan surat Kartini tercacat penuh cinta, untuk seluruh perempuan. Maka, salah satu pertanyaan paling penting yang patut diajukan untuk sejarah perempuan adalah: sudah siapkah perempuan untuk merdeka? Wallahu`alam.■

    Kampus, 14-15 Januari 2006

    0 Responses to “Tragedi, Feminisme dan Spirit Pembebasan”

    Post a Comment

    Subscribe