Wednesday 11 January 2006

0

Kang Kabayan dan Kaum Agelaste

  • Wednesday 11 January 2006
  • Unknown
  • Share
  • Awalnya, saya pikir, yang tidak bisa menikmati ‘Kabayan’ tentu ia termasuk bagian dari kaum agelaste, kaum yang tak suka humor dan tak pandai menertawai dirinya sendiri.

    Tapi muncul persoalan. Konon, “Si Kabayan sakapeung digambarkeun pangedulan, teu nyaho di cedo, wani kurang ajar ngaheureuykeun mitoha. Sakapeung digambarkeun jadi tukang tipu anu resep ngabobodo batur kaasup mitohana sorangan.” Apakah itu potret manusia Sunda?

    Saya tahu Kabayan adalah fiksi. Setiap pengarang yang memberi bentuk pada karakteristik tokoh Kabayan dalam fiksinya selalu lahir dari selera sang pengarang. Bahkan tak luput juga bahasa ‘jorang’ muncul dalam setiap penyampaian (mungkin juga kebanyakan pengarang Kabayan lebih ingin membaca selera pasar orang Sunda yang merasa puas pada humor).

    Namun, jika membaca buku Si Kabayan susunan Balai Pustaka (1932)–berdasar dari dongeng-dongeng dalam disertasi Maria Coster-Wisman–kita tak lagi menemui bahasa ‘jorang sana-sini; karena telah “diamankan” dan dianggap tidak enak dan patut dibaca oleh masyarakat umum, apalagi anak-anak.

    Celakanya, sebagian orang Sunda menganggap si Kabayan adalah representasi
    orang Sunda; citra orang Sunda acapkali tak bisa lepas dari citra si Kabayan: “jalma tukang heureuy anu tara pisan daria, anu dina nyanghareupan
    konflik jeung masalah jalan kaluarna ku bobodoran.” Hingga kemudian Kabayan memang kerapkali dianggap tokoh “negatif” bagi sifat ideal manusia, meski akhirnya Kabayan disukai banyak orang.

    Menurut saya, terlepas dari begitu “kedul’-nya tokoh Kabayan dalam beberapa cerita, Kabayan tetap sebuah kritik. Si Kabayan orang Sunda, tetapi Sunda bukan Si Kabayan. Tinggal bagaimana kita memaknai Kabayan yang kita temui dalam setiap cerita. Mengolah kehidupan fiksi Si Kabayan sebagai pelajaran bagi kita semua, betapa Kabayan memberikan pesan bagi kita untuk senantiasa merayakan oto-kritik terhadap kondisi orang Sunda. Atau malah sebaliknya, kita lebih senang menjadi kaum agelaste: tak suka humor, anti-kritik, plagiat, taklid dan tak sudi menertawai diri sendiri–alamat matinya kreativitas dan kemajuan!

    Catatan Harian 2006

    0 Responses to “Kang Kabayan dan Kaum Agelaste”

    Post a Comment

    Subscribe