Wednesday 11 January 2006

0

Kiamat itu Nasehat

  • Wednesday 11 January 2006
  • Unknown
  • Share
  • Saya bertemu seorang kawan yang tak pernah tercatat sebagai pemuka agama dalam sejarah agama manapun. Sambil minum goyobod, ia berkata panjang kebar:

    “Setiap orang yang beragama mungkin akan berkata masygul bahwa kiamat dunia terbesar yang banyak diceritakan kitab suci agama-agama tak akan menimpa nasibnya, tetapi akan menimpa hidup generasi sesudahnya. Selalu mereka tak henti bermain dengan misteri, iman, tafsir, sugesti, imajinasi, kecemasan, kematian, kefanaan dan, kita tahu, disana setiap orang adalah pembaca fiksi yang bagus: fiksi kehancuran dan kebangkitan kembali setelah kematian. Fiksi yang akan terus bergema seperti lingkaran mitologi yang tak berujung; tetapi disana kita ternyata punya hiburan…

    Kita percaya dunia ini sudah tua; lapisan ozon tanda bumi mulai keriput, tumpahan tsunami, ledakan gempa, batuk gunung meletus dan mungkin kian sintingnya zaman. Semua itu bikin hidup ini cemas, atau bahkan kecewa pada kenyataan. Tapi toh hikmahnya manusia jadi penulis fiksi yang baik. Fiksi itu akan diucapkan dengan penuh wibawa di mimbar mesjid, mimbar gereja dan tempat-tempat ibadah yang suci. Ribuan kepala akan menjadi bagian dari fiksi itu, mematahkan kecemasan dan menghibur diri dari kekacauan dunia ini dengan cara yang cukup cantik, tak jarang juga terkesan horor. Merekapun kasak-kusuk bicara tentang kiamat versi kitab suci…”

    Lantas saya membaca kitab suci. Disana ada adegan kiamat yang amat dahsyat. Kadang saya gentar membayangkannya. Kawan saya tersenyum. Setelah ia mereguk sisa goyobod, ia berkata lagi:

    “Banyak memang tesis ilmiah yang memprediksi usia bumi yang tua. Kita tahu, bukan sekedar gairah memegang rumus ilmiah yang meyakinkan (kita kini memang diam-diam lebih mempercayai ukuran eksperimen laboratorium untuk menjelaskan keyakinan) dan soal kecemasan soal masa depan bumi, tetapi lebih dari itu, kita bermain dengan keyakinan tentang kebangkitan dan harapan, semacam keyakinan yang demikian menghibur. Tak perlu heran juga, karena setiap orang menghasrati sebuah kehidupan yang kekal meski mereka sendiri menyadari bahwa degup jantung tak mampu memenuhi hasrat itu. Mereka akan mati. Tetapi mereka menghasrati kekekalan, sebuah parodi dan paradoks kepongahan yang lembut menggelitik dzat kekekalan Tuhan yang mereka imani sendiri.

    Iman dan kesadaran atas kematian dan kefanaan memang cukup menyelamatkan nalar mereka dari kejahatan musyrik. Degup yang berhenti, rasa kehilangan ditinggal mati seseorang yang dicintai dan tragedi orang-orang mati dalam perang dan bencana alam hanya mungkin meluruskan kita untuk percaya pada sesuatu yang fana dari makhluq, kecuali kecemasan tentang ledakan kiamat dan bumi tua yang berulangkali rusak, bencana-bencana, zaman yang kacau, terus menerus bergema, sepanjang sejarah manusia, seperti dongeng. Tak pernah selesai, seperti lingkaran, masuk dari zaman ke zaman, dari telinga ke telinga, menjadi ancaman sekaligus nasehat tanpa titik.”

    Lantas, siapa yang dapat menentukan jam kematian dunia? Atau memang tak pernah ada hitungan jam? Atau juga bumi yang rusak seperti ular yang mengganti kulit? Atau memang kehancuran terbesar akan meledak dan sebagian fiksi tentang kebangkitan hangus, nihilitas eksistensi? Bencana, perang, kematian…hanya untuk mengukur rasa sakitkah?

    “Barangkali kita hanya percaya: yang fana adalah kesadaran manusia, dengan kelahirannya, kematiannya, bahwa rentang hidup selama itu telah begitu mencintai kehidupan itu sendiri. Maka setiap kehancuran diri, disana juga manusia selalu menghasrati kehancuran dan kematian segala apa yang pernah ia lihat, dengar, teralami dan ia cintai. Kampung akhirat menjadi mimesis yang terbentuk antara hasrat keabadian makhluq dan fakta kematian makhluq…”

    Saya tersenyum sinis mendengarnya. Tapi ia berkata lagi:

    “Cerita kiamat itu nasehat. Cerita akhirat itu nasehat, bahwa kita mesti punya horor yang hebat bagi para pengacau; bahwa kita mesti punya hiburan yang baik bagi kecemasan ini…”

    Kiamat itu telah begitu dekat…Palestina, Libanon dan tempat-tempat yang merasa bahwa dunia ini adalah ketakutan, kelaparan, penderitaan, kemiskinan dan sebagainya dan sebagainya, gumamku.

    Catatan Harian Juli 2006

    0 Responses to “Kiamat itu Nasehat”

    Post a Comment

    Subscribe