Wednesday 10 November 2004

0

Cerpen: Aku Bilang, Aku Seorang Pelacur

  • Wednesday 10 November 2004
  • Unknown
  • Share
  • Ayah saya punya isteri empat. Dan saya, tentu saja, hanya punya satu ibu. Eliastri Pantri, isteri pertama ayah saya, adalah ibu saya (ketika masih muda ibu sangat cantik). Lantas ayah menghamili ibu dan lahirlah saya. Nama saya Maya Dwiraya. Catat, saya seorang pelacur. Saya punya satu anak, namanya Perempuan. Dia kini masih berusia sepuluh tahun. Jangan bertanya siapa suami saya, karena anak saya pun tak pernah saya ajari untuk bertanya siapa ayahnya. Lelaki saya banyak. Anak saya satu. Tapi saya hanya ingin mengatakan, bahwa lelaki-lelaki saya adalah puluhan Karun yang lenyap ditelan bumi. Lelaki-lelaki saya adalah puluhan Firaun yang hilang ditelan lautan—mereka tak benar-benar mau menjadi suami saya, tak benar-benar mau menjadi bapak bagi anak saya. Setelah ibu saya meninggal, saya kini sendiri, maaf, maksud saya kini berdua, tentu dengan anak perempuan saya. Dia anak yang sangat pendiam. Dia tak pernah bertanya apa pekerjaan saya. Dia tak pernah bertanya siapa ayahnya. Dia bisu. Tak bisa bicara.
    Konon, ayah saya menikahi Santi Dipyati ketika dua tahun sebelumnya menikahi ibu saya. Lalu satu tahun kemudian ayah saya menikahi Lorena Purna. Lalu Tina Nana. Setelah itu, ayah tak menikah lagi. Mungkin sudah tua. Saya tak paham pikiran ibu seperti apa ketika ia dengan mudah memberi ijin pada ayah untuk menikah lagi. Mungkin ibu takut ayah marah dan dicerai. Atau takut miskin. Atau takut dicap sebagai isteri yang tak patuh alias durhaka pada suami. Entahlah.
    “Aku sangat mencintainya.” Ucap ibu masygul suatu ketika. Tapi saya pikir, ayah tak mencintai ibu. Tapi ibu tak suka dulu saya bicara begitu tentang ayah. Dia tersinggung. Dia menangis. Dulu, ibu seperti mencoba memahami ayah dengan hati-hati.
    Bicara tentang menangis, saya sering mendapati anak perempuan saya menangis diam-diam di kamarnya, bila hari menjelang larut malam. Barangkali dia ingin bermain di luar rumah seperti anak lainnya, tapi saya tak mengijinkannya. Alasannya memang picik, saya kasihan padanya karena dia seringkali diejek anak-anak kampung: ibumu pelacur! Ibumu pelacur! Atau mungkin karena ia ingin sekolah dan saya tak pernah memberinya kesempatan untuk itu. Alasannya memang klise: tak punya biaya, titik! (Tapi saya selalu menyuruhnya datang ke rumah Maemunah, anak tetangga. Saya menggajinya. Biarlah Perempuan belajar menulis dan membaca padanya.) Atau mungkin ia menangis karena mendapati dirinya adalah seorang perempuan yang lahir sebagai manusia yang tak bisa bicara?
    Dulu, ibu saya pernah berani menangis dihadapan ayah. Dia protes. Saya rasa ia terlambat ketika sudah beberapa tahun akhirnya mulai bicara tentang isteri paling tua, cemburu, sakit hati dan sebagainya dan sebagainya. Pada mulanya saya menduga, di usia yang setua itu, ayah akan menyikapi keluhan ibu dengan bijak dan baik. Tapi dugaan saya tak benar. Ayah malah menampar ibu di hadapan ketiga isterinya yang lain. Hati ibu bulat, akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari rumah, dari ayah. Ibu pindah ke kota lain membawa serta saya (ketika itu saya masih berusia sembilan tahun). Sekolah saya tak bisa dilanjutkan lagi. Setelah itu, ibu bekerja jadi pembantu rumah tangga, dan saya—diam-diam—membersihkan kaca jendela mobil di perempatan lampu merah. Tentu, tanpa sepengetahuan ibu.
    Dari sanalah, jalanan melahirkan saya menjadi seorang pelacur. Beberapa bulan menjadi seorang pelacur, mendadak saya pun hamil. Entah benih siapa yang membengkakkan perut saya. Saya lupa. Ketika itu ibu marah besar mengetahui saya jadi pelacur dan hamil. Saya menangis dan takut. “Menjual harga diri untuk bertahan hidup adalah sebuah kesalahan.” Kata ibu kala itu. Tapi perut yang kian membesar tentu bukan sebuah kesalahan. Biarkanlah anak saya lahir, meski tanpa kehadiran seorang bapak, meski tanpa pengakuan dari neneknya.
    Ketika anak saya menginjak umur satu tahun, ibu meninggal dunia. Kemudian saya sering ziarah ke makamnya. Tapi saya kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa setelah ziarah ke makam ibu, saya masih kembali di ziarahi puluhan lelaki di malam-malam yang dingin. Hari-hari yang belakangan membuat saya muak. Engkau harus tahu, bagi saya acapkali hidup butuh uang lebih, dan saya harus belajar menerima pekerjaan saya.
    ***
    Usia saya kini 29 tahun. Barangkali. Dan anak saya hari ini—seharusnya dia tahu berapa umurnya. Anak saya berusia tujuh belas tahun, atau mungkin lebih. Dia tumbuh menjadi perempuan yang cantik, tapi sayang, bisu. Mungkin dia mulai yakin dia kesepian. Tapi saya suka puisi-puisinya. Meski di tulis dengan tulisan-tangan yang jelek, tapi saya dapat membacanya (saya tak jarang mengkhayal dia membacakannya untuk saya). Setiap malam dia tampak menulis puisi. Sendirian. Bahkan saya senang dalam beberapa puisinya, dia jatuh cinta pada seorang lelaki. Dia sudah percaya diri dengan perasaannya sendiri. Saya tak tahu siapa lelaki itu, toh dia tak pernah bicara pada saya. Sudah saya bilang, dia bisu. Barangkali diapun tak tahu siapa nama lelaki itu, atau mungkin dia hanya melihat lelaki itu lewat depan rumah, dan Perempuan melihatnya diam-diam dari jendela. Entahlah.
    Saya sadar, saya telah cukup tua. Akhir-akhir ini saya seperti merasa tubuh saya menabung penyakit yang sewaktu-waktu siap meledak. Belakangan ini, saya punya niat berhenti jadi pelacur. Kalau saya jujur, ternyata menjadi seorang pelacur banyak menerima resiko buruk. Saya ingin sehat jasmani dan rohani, baik-baik saja. Hidup ternyata tak cukup utuh dibeli dengan uang. Saya enggan Perempuan merasa kesepian, dengan keadaan saya yang akan membuatnya tak nyaman. Atau setidaknya, keadaan sehat dan baik-baik saja lebih beruntung ketimbang merasa ngeri harus menerima usia yang mulai menua, dengan jiwa yang lepuh, pikiran yang rapuh.
    Tapi saya terkadang merasa tak yakin sudah tua ketika suatu hari seorang lelaki, yang baru saya kenal disebuah bis kota, sering datang ke rumah (dia lebih muda dari saya) dan akhirnya mengajak saya menikah.
    “Saya benar-benar ingin menikahimu, Maya.” Ucapnya berwibawa. Tapi saya bilang, saya seorang pelacur. Mendengar itu, dia sejenak terlihat sedikit resah.
    “Sekarang pulanglah,” ucap saya dingin, “kalau kamu benar-benar ingin menikahi saya dengan keadaan mantan pelacur dan punya anak satu, datanglah besok.” Keesokan harinya, dia tak muncul. Saya tebak pasti dia merasa tertipu.
    Tapi kejadian itu, dalam beberapa hari kemudian, sempat mengganggu pikiran saya. Benarkah saya akan terus sendiri, tanpa suami? Masihkah saya dalam usia setua ini dapat menarik hati lelaki? Atau adakah lelaki yang mau punya isteri mantan seorang pelacur? Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran dalam ruang benak saya. Pertanyaan-pertanyaan itupun sekaligus menghukum diri saya ketika saya tak kuasa menolak impian tentang seorang lelaki yang mau menikahi saya, dengan melupakan pengalaman buruk saya yang sudah-sudah, mengajak saya mengisi rumah yang sederhana, dan menyayangi anak saya, Perempuan. Ya, apakah saya tak ingin hidup normal?
    Bicara tentang hidup normal, saya ingin cerita tentang Perempuan hari ini. Di umurnya yang ke 20 (tak terasa), anak saya itu sudah mulai hidup normal, maksud saya, dia sudah punya gairah pergaulan. Saya senang dia sudah pandai merawat diri, berdandan dan tersenyum sendiri di depan cermin. Bahkan sesekali dia sudah mulai menulis keinginannya dalam sehelai kertas dan menyerahkannya pada saya. Saya tahu dia ingin main ke rumah. Saya tahu dia ingin sendirian di dalam kamarnya. Saya kini jadi mudah membaca keinginan-keinginannya. Dia sudah pintar menulis. Tapi dia lebih dekat dengan Maemunah anak tetangga ketimbang ibunya. Itu berarti Maemunah lebih tahu perihal persoalan pribadi Perempuan ketimabang saya, ibunya. Maklumlah, dulu saya terlalu keras padanya, terlalu hirau. Mungkin dia masih takut pada saya. Tapi kata Maemunah, Perempuan kini tengah dekat dengan seorang lelaki. Lelaki itu seorang mahasiswa yang rumahnya di ujung jalan dekat mesjid agung alun-alun. Saya tak tahu, apakah mereka pacaran atau tidak.
    Tapi saya bahagia mendengar kabar terakhir itu; Perempuan sudah punya gairah hidup, gairah bergaul…
    ***
    Tiga minggu berlalu. Malam ini, saya melihat Perempuan menangis lagi. Saya menghampirinya perlahan. Saya berharap perempuan dapat memberitahu saya kenapa dia menangis. Selalu saja, Perempuan masih tak terbuka pada saya. Selalu saja, Perempuan enggan sekedar berkesah pada saya tentang air matanya. Dia kini hanya menangis, tak lebih dari itu. Tapi saya yakin, Maemunah dapat memberitahu saya apa yang membuat Perempuan belakangan ini menangis. Maemunah bilang, Perempuan kehilangan cinta seorang lelaki—saya tak tahu, apa kata “kehilangan” itu bearti Perempuan putus cinta atau cinta yang tak sampai. Entahlah, Maemunah juga tak tahu persis. Tapi saya hanya sedikit tertawa mendengar kabar dari Maemunah itu. “Kegagalan cinta itu hal yang biasa, sayang.” Ucap saya pada Perempuan keesokan harinya.
    Beberapa hari kemudian, kondisi fisik saya ternyata lebih baik dibanding ketika saya masih menjadi seorang pelacur. Saya jadi merasa sehat, dan cukup tidur. Perempuan juga sudah mendingan kadar sakit hatinya karena asmara. Dengar, menurut kabar terbaru dari Maemunah, anak saya sudah mulai banyak teman, ah, meski saya tahu dia tak bersekolah dan bisu sekalipun—mungkin karena dia cantik (saya selalu gembira dengan ucapan itu). Lihat Perempuan lebih riang dalam beberapa hari ini. Saya berharap kehidupan kami akan berjalan baik dan normal. Saya juga harus mulai belajar bersikap lembut pada anak saya.
    Untuk itu, diam-diam saya terkadang menyelinap ke dalam kamarnya. Tentu saja, ketika dia tak ada di rumah. Kupelajari puisi-puisinya. Kubuka buku hariannya. Kupahami keinginan-keinginannya. Saya ingin tahu sifat-sifatnya—Wah! Saya suka puisi anak saya yang satu ini:
    Berabad aku diam dalam bisu-sepi malam
    Disinilah gemetarku mencinta kata-kata
    Ibuku, ibuku, gema rahasia yang melambat 
    di kelu lidahku.
    Saya membaca puisi itu berulang-ulang. Saya masih tak mengerti apa maknanya. Tapi saya senang dan yakin puisi itu bercerita tentang saya. Lalu buku hariannya itu lebih bercerita tentang catatan kesepian, kebisuan, cinta, terutama laki-laki…Hm, catatan tanggal ini yang beberapa hari yang lewat sempat membuat Perempuan menangis.
    10 Mei
    Dari banyak laki-laki yang kukenal, aku jatuh cinta pada Dima Luma. Sungguh tak kuduga, diapun mencintaiku. Dia terus mengejarku, ingin mendapatkan cintaku. Tapi karena cintaku ini, aku ingin jujur. Lalu kukatakan padanya lewat surat bahwa aku bisu, dia bilang: biarin. Lantas dalam surat kedua, aku bilang, aku seorang pelacur. Dia mendadak tak ingin dekat denganku lagi…
    Dada saya tiba-tiba terasa remuk membaca usai catatan itu. Perempuan, anak saya yang bisu itu, seorang pelacur…? []
    Vijaya Kusuma, 2004

    0 Responses to “Cerpen: Aku Bilang, Aku Seorang Pelacur”

    Post a Comment

    Subscribe