Wednesday 10 November 2004

0

Cerpen: Sudir

  • Wednesday 10 November 2004
  • Unknown
  • Share
  • Sudir mencat rumah Pak Broto dengan warna kuning tua. Bau turpentine tercium di udara jam 10 siang ini. Rumah itu besar sekali hingga Sudir lelah dan ia harus berulangkali beristirahat di bawah pohon jeruk sambil sesekali tengadahkan kepala ke langit. Sudir berharap hujan tak turun di akhir pekan ini karena cat masih basah dan ia belum bertemu Pak Broto. Sudir menatap lekat-lekat rumah besar itu dan membayangkan tiba-tiba kepala isterinya muncul di jendela kamar lantai dua dan berteriak: Cepatlah masuk! Makanan sudah disiapkan dan tiket pesawat sudah kita dapatkan. Cepatlah! Anak-anak sudah menunggu. Sudir tersenyum. Sudir mengkhayal. Sudir mencium bau turpentin.
    Di belakang rumah besar itu ada kolam renang yang luas, airnya jernih. Sudir melihat Benita, anak Pak Broto, berenang dengan memakai bikini warna ungu. Ia membayangkan perempuan ramping yang berenang itu adalah isterinya—tapi Sudir tahu isterinya bertubuh gemuk dan Sudir sangat mencintainya. Setelah melewati kolam renang dengan gagah, Sudir sampai di belakang rumah sebelah kiri. Disana ia menemukan dapur lalu melihat beberapa pembantu mengenakan celemek dan memasak.
    Sudir membayangkan orang-orang di dapur itu adalah pembantu-pembantunya. Ia merasa kolam renang itu adalah miliknya. Ia merasa pohon jeruk itu adalah punyanya. Ia merasa rumah besar ini adalah tempat tinggalnya dan Sudir berjalan gagah diantara itu.
    “Selamat Datang, Tuan Sudir; barusan ada telepon dari bandara bahwa pesawat menuju Paris akan berangkat pukul 11.”
    “Ya, terima kasih.”
    “Tuan Sudir, nyonya tadi pagi pergi dan ia menitip pesan bahwa nyonya hari ini pulang telat.”
    “Ya, terima kasih.”
    “Tuan Sudir, makanan sudah disiapkan.”
    “Ya, terima kasih.”
    Sudir merem-melek mencium aroma masakan itu. Lalu ia melihat anak-anaknya berloncatan di ruang tamu dan menghambur padanya. “Hore, Papa! Paris! Paris!”
    “Baiklah, duduk kalian yang manis dan makanlah.” Sudir mulai melahap makanan yang telah dihidangkan. Ditenggorokannya terasa ada yang berjalan, sesuatu yang lezat. Ini makanan syurgaa…makanan syurgaa…
    Bang Sudir! Bang Sudir!
    Sudir terperanjat kaget. Suara seorang pembantu Pak Broto membuyarkan khayalannya. Sudir kesal. Dia mendapati dirinya tengah duduk di kursi meja makan utama.
    “Bang Sudir, itu meja makan keluarga. Cepatlah turun, nanti kita kena marah. Kita dipecat. Kita makan di dapur, Bang Sudir.” Ucap seorang pembantu pelan. Sudir celingukan. Benita cekikikan. Semua pembantu mesem-mesem. Sudir malu bukan kepalang. Ia kikuk. Sudir berharap Tuan belum pulang dan Nyonya tak melihat kejadian ini. Sudir buru-buru berlalu dari sana.
    Di luar langit mulai mendung. Sudir berharap di akhir pekan ini hujan tak sampai turun karena kerja belum selesai. Dia menatap lekat-lekat rumah besar itu. Dia mencium aroma impian. Dia tersenyum. Dia mengkhayal. Dia berjalan gagah di halaman rumah itu menuju pintu muka. Indah. Tentu, isterinya yang telah berdandan akan menyambutnya di ambang pintu.
    Tuuut!
    Klakson mobil berbunyi panjang membuyarkan khayalannya. Sudir kesal. Pak Broto datang dan di depan pintu, tampak isteri dan anak-anaknya siap menyambut. Sudir membuka pintu gerbang dengan letih. Lalu Sudir tengadahkan kepala ke langit. Mendung. Ia berharap hujan tak turun akhir pekan ini. Pikiran Sudir kembali melayang.
    “Pak Sudir! Kenapa kerja diam aja! Gak takut dipecat, heh!?” bentak Pak Broto melotot. Sudir buru-buru berdiri dan bekerja. Ia sekali lagi menatap langit. Matanya berkaca-kaca. Ia ingat isterinya dan tiga anak-anaknya di rumah. Ia menatap rumah besar itu. Ia menangis…[]
    Vijaya Kusuma, November 2004

    0 Responses to “Cerpen: Sudir”

    Post a Comment

    Subscribe