Wednesday 10 November 2004

0

Cerpen: Namaku Plato, Bukan Sumanto

  • Wednesday 10 November 2004
  • Unknown
  • Share
  • Tahun ini, cuaca cerah di langit lazuardi.
    Saya tiba ke dunia ini, bulan januari beberapa tahun yang lalu, dan saya diberi nama Sumanto oleh ayah saya. Menurut cerita ibu, ayah pernah bertengkar hebat dengan ibu soal nama buat saya. Ibu ingin nama Bobby Luby atau Bobby Derby, dan ayah ingin nama Sumanto (nama yang singkat, tapi bagi saya cukup menyebalkan). Entah kenapa ibu selalu kalah oleh ayah—memang, ibu selalu mau mengalah dan ayah tetap tak ingin mau kalah. Ayah bilang, nama Sumanto nama yang bagus, cool, nama yang hebat dan energik.
    “Su-man-to, nama itu seperti nama mantan guru ngaji ayah. Dia guru besar di pondok tempat ayah dulu belajar agama. Dia kiyai! Ayah kagum padanya.” ucap ayah bersemangat. Saya tahu, sepertinya ibu sepaham dengan saya, bahwa kami tak suka nama itu dan ayah pun tersinggung, marah-marah pada saya, juga ibu (saya curiga ayah lebih cinta nama Sumanto ketimbang cinta saya dan ibu).
    Tapi ayah tak pernah tahu bahwa ditengah-tengah kawan-kawan sepermainan saya, nama saya Plato, bukan Sumanto. Sejauh ini, tak ada yang tahu bahwa saya telah mengganti nama saya dari Sumanto menjadi Plato pada sebuah malam yang dingin di bulan Desember, ketika hujan diluar rumah amat deras, ketika ayah-ibu sedang tidur pulas.
    “Hah, kamu ingin ganti nama? Plato?” Ayah tertawa terbahak-bahak ketika suatu hari saya menawarkan nama baru (saya membayangkan seorang badut sedang tertawa dihadapan saya). “Nama yang buruk!” ejeknya kemudian dengan angkuh tanpa sedikitpun merasa menyesal telah membuat perasaan saya cedera. Ayah benar-benar tak sedikitpun mengerti keinginan saya, dan seolah-olah telah melemparkan saya ke sebuah sumur kesedihan yang sangat dalam.
    “Sumanto!” panggil ayah suatu hari (ayah benar-benar bangga dengan nama itu). Saya bergegas mendatanginya—dan saya merasa bodoh mendatanginya seakan-akan saya setuju nama itu. Ayah menyuruh saya mengambil paku dan palu. Saya mulai yakin ayah sangat tergila-gila pada Sumanto, gurunya itu. Beberapa meter dari pintu depan, ayah menggantungkan lukisan manusia idolanya itu. Saya lihat wajah dalam lukisan itu seperti tersenyum aneh pada saya, seperti ngejek, seolah-olah ia berkata: namamu bukan Plato, namamu sama denganku, Sumanto. Saya jengkel dengan perbuatan ayah yang menempelkan lukisan itu di dinding ruang tamu, seakan ayah sengaja ingin membuat teror hebat agar saya tersiksa dengan nama yang tertera dibawah kiri lukisan itu: SUMANTO.
    Setiapkali saya mengeluh soal nama, saya kian yakin bahwa ayah makhluk yang galak, dan hari ini tuduhan itu terbukti: ayah marah karena saya terus mempermasalahkan nama, dan ia tak memberi uang jajan pada saya hari ini.
    Saya anak berumur 10 tahun. Ayah memasukkan saya sekolah di SD Mekar Belukar, sekolah satu-satunya yang ada di desa saya. Awal masuk di lingkungan baru itu, saya telah bekerja keras untuk meyakinkan teman-teman baru saya bahwa nama saya Plato. Dan saya pun ingin berteriak bahwa nama saya Plato ketika Bu guru Nirmalatralala mengabsen saya dengan nama Sumanto.
    “Nama saya Plato, Bu, bukan Sumanto!”
    “Tapi di daftar absen, nama ini yang tersisa buat kamu hanya Sumanto.”
    “Tidak! Namaku Plato!”
    “Duh, kamu jangan belajar bodoh dengan mempermainkan saya. Ini sekolah bukan tempat main ding-dong. Saya tahu, ayahmu sangat serius memberimu nama, tapi kamu malah mempermainkannya.” Bu guru Nirmalatralala mendadak mencak-mencak dalam pertemuan pertama kalinya di kelas saya itu. Coba engkau bayangkan, betapa sakitnya hati saya ketika teman-teman mulai menertawakan kejadian di kelas hari ini, seusai jam pelajaran matematika usai. Saya benci sekali dengan Bu guru matematika itu sambil membayangkan bahwa Nirmalatralala adalah teman kencan ayah saya dan mereka berdua seolah-olah bersekongkol untuk menghukum saya dengan kenyataan ini.
    Setelah bel pulang berdentang, dada saya terasa sesak menampung rasa marah, dendam, dan saya ingin semua orang tahu bahwa saya marah. Saya lihat burung-burung gereja berloncatan di bubungan atap gedung sekolah. Murid-murid lain sudah mulai pulang. Lengang. Saya masih disini, duduk bersandar dibawah tiang bendera sekolah, dan saya merasa yakin untuk tidak pulang lebih cepat ke rumah hari ini. Ada perasaan geram yang merayap dibalik seragam sekolah saya, seperti ulat-ulat. Saya jengkel pada Bu guru Nirmalatralala. Saya kesal pada teman-teman di kelas. Saya benci sekali pada ayah. Mereka semua tak pernah mau mengerti perasaan saya. Bibir saya gemetar, kecewa dan seolah-olah rasa dendam saya ingin meneriakkan pada semua orang di seluruh dunia: dengarlah kalian! Nama saya Plato, bukan Sumanto. Panggil saya dengan nama itu setiap saat! Kubayangkan dengan gembira semua orang mengangguk-angguk mafhum sambil berkata: baiklah, Plato.
    Hampir dua jam lebih saya masih berada di halaman sekolah saya ini. Suasana lengang. Tapi tiba-tiba ada langkah kaki mendekati lamunan saya. Seorang perempuan dewasa menghampiri saya, seorang guru di sekolah ini (saya berharap bukan Nirmalatralala)—entahlah, saya tak mengenali guru yang satu ini. Dia cukup cantik. Wajahnya hitam manis, hidungnya bagus, dan dalam beberapa hari ini saya memang telah melihat wajah perempuan itu masuk ke kelas 6 (kata Om Parjo, guru perempuan yang cantik biasanya guru IPA). Bu guru cantik itu menyapaku dan bertanya kenapa saya belum pulang. Saya katakan padanya bahwa saya sakit hati oleh semua orang dan saya merasa tak ingin pulang ke rumah hari ini. Saya ceritakan pula kenapa alasannya.
    Bu guru itu terlihat senyum—basah dan sepertinya manis, mungkin seperti es krim. Cukup lama dia bicara pada saya. Tapi saya tak sepenuhnya mendengar apa yang dia ucapkan, dan saya merasa bersalah karena itu. Tapi yang jelas dia menyuruh saya pulang dengan suara lembut.
    “Tapi nama saya ingin Plato, Bu.” Ucap saya manja
    “Apa arti sebuah nama, sayang…” ucapnya sembari pasang senyum dahsyatnya.
    “Apa Bu guru gak setuju juga nama saya Plato?”
    “Ya, namamu Plato, sayang, bukan Sumanto. Sekarang pulanglah dan belajar dengan baik di rumah.” Ucapnya. Ia merapikan rambut saya. Saya senang ketemu dan bicara dengannya. Sejuk perasaan saya. Saya seperti dapat napas segar lagi. Saya seakan tak ingin pulang dan ingin berbincang berlama-lama dengannya. Dia sangat baik. Ah, seandainya saya lelaki dewasa, sudah dari tadi dia saya ajak kencan dan nonton film drama di bioskop (kata ibu, pikiran seperti ini jorok, dilarang agama). Tetapi seorang lelaki memanggilnya. Bu guru melambaikan tangannya pada lelaki itu. Lalu ia pamit pada saya sambil tak lupa berharap agar saya segera pulang. Entah kenapa saya merasa sedih kembali setelah dia pergi, apalagi dengan seorang lelaki asing. Saya benar-benar tak ingin membayangkan dia pacarnya apalagi suaminya. Mudah-mudahan lelaki itu kakaknya atau sopir pribadinya atau pembantu di rumahnya atau lelaki yang di tolak cintanya mentah-mentah atau…Duh, saya lupa minta nama dan nomor sepatu Bu guru cantik itu.
    Disepanjang jalan pulang, saya melihat teman-teman di kampung tengah asyik bermain bola di lapangan dekat sungai limbah pabrik. Betapa ingin saya bergabung dengan mereka tapi saya masih pakai seragam. Saya mulai kembali merasa ogah pulang, atau lebih baik saya disini saja hanya nonton permainan mereka sampai adzan maghrib datang. Tapi saya bingung; kalau saya pulang tentu ayah akan membuat saya tak nyaman dengan panggilan nama bodoh itu lagi; dan kalau saya tak lagi berontak tentu ayah menyangka bahwa saya mulai nurut dengan tidak melulu menuntut nama Plato. Lalu diapun menyangka bahwa saya mulai menyukai nama itu. Tidak! Never! Nama saya Plato dan saya ingin memberontak pada ayah, mungkin dengan cara tak pulang ke rumah hari ini. Dengan begitu, ayah—mudah-mudahan—akan sadar bahwa saya benar-benar serius ingin bernama Plato.
    ***
    Malam ini saya ingin begadang saja di pos ronda, main gitar dan nyanyi-nyanyi dengan pemuda-pemuda kampung. Jam menunjukkan pukul 7 lebih dan adzan isya bergema dari corong suara di mesjid yang tak jauh dari pos ronda. Para pemuda berhenti ribut, berhenti nyanyi. Saya jadi ingat pesan ibu, kalau adzan terdengar, semua orang harus diam, dilarang nyanyi-nyanyi, bersiul-siul, menyalakan televisi atau radio dengan suara keras, tertawa-tawa dan menyalakan petasan tanpa merasa bersalah.
    Pukul 19:32. malam tambah dingin.
    Para pemuda berhenti main gitar dan nyanyinya. Mereka main kartu dan saya masih pakai baju seragam. Hm, saya bayangkan kebingungan ayah-ibu karena saya belum pulang. Saya jadi senang sendiri. Tentu mereka kini tengah sibuk membicarakan saya, mungkin tentang ini: kenapa anak kita belum pulang, kenapa anak kita tidak pulang, kenapa kita gak mau ganti saja namanya…Plato. Saya selalu gembira membayangkan hal itu. Mudah-mudahan ayah ngerti, atau paling tidak ibu mulai sadar dan setelah itu berusaha membujuk ayah berubah pikiran untuk mengganti nama saya jadi Plato. Tapi malam makin larut. Perasaan saya mulai tak menentu: bingung, resah, kecewa, marah, tersinggung, harap-cemas dan sebagainya dan sebagainya, berbaur jadi satu dalam dada. Betulkah ibu menyayangi saya? Benarkah ayah peduli pada saya? Benarkah-betulkah?
    Pukul 21:10. saya punya ide!
    Seorang pemuda saya suruh pergi ke rumah saya dengan imbalan janji saya beri uang di hari Sabtu, tiga hari lagi. Pemuda itu bernama Gamin Tea, biasa dipanggil Jimmy Durjana oleh teman-temannya. Sepanjang perjalanan, saya beritahu ia tentang rencana rahasia ini. Dia saya suruh temui ayah dan bilang padanya bahwa anaknya akan niat bunuh diri di tempat anu yang sangat angker. Saya ingin tahu respon ayah saya. Saya ingin tahu apa dia peduli pada saya. Saya ingin dia tahu bahwa saya benar-benar stress soal nama.
    Di tengah kebun singkong tak jauh di belakang rumah saya, saya masih bisik-bisik serius dalam gelap. Kalau ayah melihat ini, tentu dia menyangka saya tengah melakukan transaksi narkoba atau dia menyangka bahwa saya tengah merencanakan pembunuhan yang hebat pada seorang ayah.
    Kami pun mulai merancang skenario. Kabarkan pada ayah saya bahwa saya marah padanya. Kabarkan padanya bahwa saya ingin bunuh diri. Pemuda bertato nan lugu itu manggut-manggut mengerti. “Tapi janji ya, uangnya hari sabtu, sepuluh ribu!” dia kembali mengingatkan saya dengan janji itu.
    “Pokoknya beres!” saya meyakinkan, “cepat, Bung! Semoga berhasil!”
    “Baiklah Plato.” Ia berlalu. Saya mulai merasa senang dengan pemuda itu. Saya dengar dari sini si Gamin (baca: Jimmy) mengetuk pintu rumah beberapa kali. Saya dengar dia mengucap salam beberapa kali. Saya dengar suara ayah menyahut. Saya dengar si Gamin menyapa sopan. Saya dengar ia bicara:
    “Pak, anak Bapak, si Plato eu…”Gamin gugup. Saya yakin pemuda itu gentar lihat kumis besar ayah.
    “Plato?”
    “Ho-oh.”
    “Saya tak punya anak bernama Plato. Ada juga namanya Sumanto. Dari siang ia belum pulang. Kayaknya main sama si Bujang anak Pak RW, di rumahnya.” Ucap ayah. Gamin salah tingkah (saya lihat dia bertingkah seperti orang bodoh. Saya kesal!).
    “Katanya Plato eu…Plato mau bunuh…”
    “Lagi-lagi Plato!”potong ayah, “Saya gak punya anak namanya Plato, nyaho!” bentak ayah. Gamin terperanjat. Duh, saya lupa bilang pada Gamin bahwa ayah saya makhluk galak, dan malam ini terbukti lagi.
    Pukul 22: 35. rencana gagal!
    Gamin kembali ke pos ronda dan dia terus mengingatkan saya dengan janji memberinya uang di hari Sabtu, sepuluh ribu! Saya akhirnya pulang ke rumah, mengetuk pintu dengan gemetar. Ayah saya memang galak, dan itu terulang lagi…duh, janji ya, uangnya di hari Sabtu, sepuluh ribu!
    ***
    Tahun 2009.
    Baiklah, itu cerita saya waktu saya masih kecil, masih SD. Kini saya sudah menjadi lelaki dewasa. Tapi, ketidaksukaan pribadi saya pada nama Sumanto terus ada. Sumantophobia. Sederhana saja, karena kesenanganku yang berlebih pada nama Plato, maka tak menyisakan sedikit ruang suka bagi nama Sumanto. Hah, saya benar-benar kesulitan untuk mulai berpikir realistis. Nama saya tetap Sumanto, pemberian seorang ayah yang amat galak dan kini ia telah wafat empat bulan setelah ibu terlebih dulu berpulang. Mereka telah pergi. Tapi, duh, saya tak bisa mengganti nama begitu saja. Terlanjur. Ya, nama saya tetap xxx (maaf, saya tak mau lagi menyebutnya).
    Kini umur saya 26 tahun. Saya sudah punya isteri. Saya akan punya anak. Kini masih berusaha keluar dari perut isteri saya. Di ruang tunggu, sudah beberapa jam lamanya saya menanti anak saya lahir dan menangis (bukankah hanya satu tangisan seorang anak yang paling menggembirakan ayah-ibunya, yaitu ketika dia baru lahir ke dunia ini, dari rahim ibunya?). Tapi saya cukup cemas.
    Pukul 13:15. Anak saya lahir. Saya sumringah bukan main. Dia sehat, bayi lelaki. Kata isteri saya, wajahnya seperti wajah saya. (Ehm, saya merasa itu semacam basa-basi seorang isteri yang ingin berusaha melengkapi kebahagiaan suaminya.)
    “Matanya melotot seperti kamu…”ucapnya, “Aku ingin beri nama ia seperti nama ayahnya.” Saya kaget dengar ucapan isteri saya. Seperti ingin meledak saja dada saya. Seperti ayahnya? Tidaak!
    “Beri nama Plato saja, ya?” bujuk saya.
    “Gak ah, Sumanto aja.”
    “Plato…”
    “Sumanto…”
    “Plato!”
    “Sumanto!”
    “Kubilang Plato!”
    “Kubilang Sumanto!”
    Platooo!!!
    ***
    Bertahun-tahun kemudian…
    Usia saya sudah mulai tua, isteri saya juga. Tak terasa. Saya dan isteri kini menempati rumah sederhana di desa Cimancret. Sore ini saya duduk-duduk santai di sofa teras. Isteri saya tengah asyik menyiram bunga dekat kolam kecil samping rumah. Anak kami kini mulai tumbuh besar. Ia sedang bermain di tepi jalan kampung ini, tak jauh dari pagar halaman rumah. Saya pejamkan mata saya. Saya dengar air menyiram kembang. Saya dengar suara burung-burung berloncatan di bubungan atap rumah. Saya dengar api membakar ujung rokok kretek saya. Saya dengar ayam berkokok di belakang rumah. Saya dengar bunyi langit. Saya dengar lamat suara si Ohim, anak Omon, mengajak anak saya bermain: “Sumanto, main yuk?”
    Saya picingkan mata, diam-diam mengintip mereka. Tampak anak saya marah mendengar ajakan itu. “Hei! Namaku Plato, bukan Sumanto!” bentak anak saya. Kawan anak saya tertawa ngece.
    “Kenapa tertawa?” Tanya anak saya. Melotot
    “Ganti nama ya, jadi Plato? Nama yang jelek! Hiks!”
    “Apa kamu bilang, heh?!” Anak saya mulai murka.
    Saya tahu kalau kejadiannya memang akan begini: anak saya menjambak rambut kawannya dan memukul mukanya sekeras-kerasnya. Ohim terjungkal jatuh. Tapi segera berdiri dan balas memukul. Mereka berkelahi. Bergulingan di jalanan. Tentu saja, isteri saya kaget bukan kepalang. “Papa! Lihat Pa! Anak kita berkelahi!” teriaknya histeris
    Saya pura-pura tidur di sofa. Memejamkan mata sekuat-kuatnya. Saya pura-pura tak dengar suara jerit-jerit isteri saya. “Duh, Papa! Cepat! Sumanto berdarah!”
    Isteriku, kau tak tahu, anak kita membenci Ohim. Ia juga membencimu. Saya dapat merasakannya, dulu… Tak terasa mata saya berair. Hangat. []
    Vijaya Kusuma, 2004

    0 Responses to “Cerpen: Namaku Plato, Bukan Sumanto”

    Post a Comment

    Subscribe