Thursday 6 May 2010

0

Di Balik Kesulitan Itu Ada Kemudahan

  • Thursday 6 May 2010
  • Unknown
  • Share

  • Angkot yang saya tumpangi berjalan lambat. Antrian kendaraan terjebak macet. Panas matahari jelang sore menembus kaca jendela mobil, merasuki pori-pori tubuh saya. Ah, cuaca yang gerah, keringat membuat tubuh saya mulai bertambah basah. Di saat-saat yang menguji kesabaran seperti itu enaknya melamun, atau menulis sesuatu. Hm, antrian macet yang panjang. Saat itu juga saya berpikir bahwa kehidupan seperti perjalanan yang panjang. Setiap diri menerima peristiwa dan masalah, hidup yang “macet”. Tak sedikit orang menganggap masalah yang ia hadapi sebagai sebuah kesulitan yang buruk. Jarang sekali saya menyadari, ternyata kesulitan itu muncul dari persepsi saya terhadap peristiwa dan masalah, bukan muncul dari masalah itu sendiri. Saya jadi ingat kutipan kitab suci, bahwa sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.  Hm, arti kemudahan di sini bisa bermakna banyak, termasuk bisa dipahami sebagai potensi kita untuk menyederhanakan pikiran dan emosi kita dalam “mekanisme” yang lebih jernih, lembut, luas, tenang, sistematis, prosedural–semacam pribadi positif yang demikian “nikmat” mengerjakan apa yang kita anggap masalah.
    Ya, bukankah yang kita perlukan dalam menghadapi masalah bukan hanya solusi, tetapi juga proses “kemudahan”, yang tenang, mengalir tenang, agar benar-benar menghasilkan solusi. Jika kita “tak siap”, hasilnya bisa dipastikan akan terasa sulit. Ah, jangan-jangan kesulitan itu muncul karena kita malas, takut, berprasangka buruk, emosional, tak mau belajar, mudah menyerah dan sebagainya dan sebagainya. Ya, barangkali benar, kesulitan itu lebih banyak diiptakan oleh pikiran dan emosi kita, bukanlah musuh nyata di luar diri kita.Sungguh, dalam hidup ini kita seringkali menyalakan pikiran dan emosi yang buruk, hingga melahirkan kesulitan terburuk pula terhadap banyak situasi. Nah, seperti di jalan macet ini, setiap pengemudi berbeda-beda ketika memberi persepsi terhadap kemacetan yang sama. Hm. pengemudi mobil yang saya tumpangi termasuk kelompok pemarah. Yaah, apa enaknya marah-marah, malah memperburuk situasi, penumpang jadi ikut tak enak; toh dengan kemarahan sebesar apapun, tetap saja masih terjebak macet hehe…Hm, saya jadi ingat, seseorang pernah berkata bahwa masalah–yang kemudian dianggap kesulitan–lahir dari benturan “apa yang kita inginkan” dan “apa yang terjadi”.
    Saya pikir, dalam kasus-kasus tertentu, jika benturan itu terjadi, yang lebih bijak kita lakukan adalah “menafsir ulang” keinginan dan pemikiran sesuai kapasitas-diri dan kenyataan, agar tak muncul masalah, keputusasaan, bunuh diri, kemustahilan dan lain-lain. Ada ontoh aneh dan geli, kemarin adik teman saya yang masih SMA punya keinginan untuk memperistri akrtis terkenal bernama Revalina S Temat, dan ia merasa kesulitan. Hm, saya sering agak kesulitan membedakan serius tidaknya kaum remaja kalau ngomongin asmara haha…(saya juga agak bingung, Revalina teh yang mana orangnya). Setengah bergurau, saya tanyakan padanya apa yang membuat akrtis itu menarik baginya. Ia bilang, seperti Vicky Zhou, Revalina S Temat itu cantik, kayaknya baik dan…imut. Saya bilang padanya di desa saya banyak yang cantik, baik dan imut seperti dia, bahkan lebih. Saya jawab seperti itu hanya ingin mengatakan bahwa ia harus realistis, dan setiap orang punya kemampuan untuk meminimalisir “benturan” hehe. Nah, jadi kualitas kecantikan dan keindahan itu tidak hanya dimonopoli Vicky Zhou dan Revalina S. apa…Temat. Ribuan perempuan punya kualitas seperti itu (saya lalu menyarankan untuk mendekati anak pak RW di desa saya). Kemudian  ia beralasan lagi bahwa wanita pujaannya itu aktris dan kaya. Saya geleng-geleng kepala. Saya suruh saja dia merenungkan apa enak dan tidak enaknya punya istri seorang aktris. Saya hanya ingin mengatakan padanya bahwa “memilih” itu harus diprioritaskan pada hal-hal yang “substansial”. Dia masih bingung, sebelum akhirnya saya katakan tentang perbedaan kebutuhan dan kepentingan, tentang kebutuhan primer, sekunder dan tetek-bengek yang lainnya hehe…istilah-istilah itu mengingatkan saya pada pelajaran di bangku sekolah.
    Dia bilang pula bahwa istri yang kaya raya itu pilihan yang “substansial”. Hm, substansial, tetapi dalam hal ini juga–selain keinginan–kita pun bisa melakukan proses “menafsir ulang”  kata kaya, seperti juga kata cantik. Bukankah arti “kaya” itu relatif, tak dibatasi pada jumlah-nominal-tertentu, atau tak berbatas? Banyak lho orang yang merasa kaya karena hidup dalam kesederhanaan harta; ada juga yang bahagia dengan “hati-yang-kaya”. Ternyata, “jalan pikiran” seperti itu bisa membuat mereka bahagia dalam hidup, dan saya setuju paradigma yang sederhana itu lebih esensial daripada menderita disebabkan obsesi pada hal-hal yang mahal dan bendawi. Hm, memang, dalam kesulitan itu banyak hal yang bisa dengan tiba-tiba mungkin, seperti mendadak pacaran dengan aktris, tapi pikiran ke sana sama halnya berpikir untuk mengambil jalur yang berbahaya dalam kemacetan hahaha…Jadi  jangan sampai kelemahan kita menumbuh-kembangkan masalah menjadi kesulitan; jangan sampai memahami kesulitan sebagai indikator kegagalan; dan jangan sampai memahami kegagalan sebagai kondisi yang penuh penderitaan. Dia tercenung, tampak agak bingung, diam-diam saya juga merasa bingung dengan apa yang saya ucapkan saat itu hehehe…
    Saya jadi ingin tertawa kalau ingat perbincangan kecil dengan adik kawanku itu. Anaknya masih muda, darahnya bergejolak, obsesinya menggebu-gebu–potensi kaum muda yang akan lebih positif jika disalurkan pada hal-hal yang baik, prospektif dan bidang-bidang yang bisa membuatnya berprestasi, bukan potensi yang dikuras energinya pada obsesi memperistri akris hehe…Hm, angkot masih berjalan pelan. Licin kupegang pena, keringat tumbuh subur di telapak tangan saya. Panas masih merasuki hari. Ah, macet di mana-mana memang jadi masalah. Dari tadi saya sudah mencoba tenang dan bersabar menunggu tetap diam di dalam angkot, sekarang tiba giliran untuk melakukan tahap kedua: turun dari angkot. Ya, apa salahnya jalan kaki, mampir sana mampir sini, beli jus, daripada merasa kesulitan dan marah-marah di dalam angkot hehe..Sepanjang jalan, saya melangkah menuruni senja yang mulai matang. Antrian mobil  masih panjang dalam kemacetan. Dugaan saya benar, ternyata tak semua pengemudi marah-marah. Lihat! ada juga yang asyik memutar musik, bernyanti-nyanyi, dan para penumpangnya terlihat ikut menikmati suasana menyenangkan itu. Menyaksikan itu saya jadi senyum-senyum; ya benar, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan; seperti halnya hidup, dalam kemacetan itu ada “senyum yang indah, tangan yang tegap memegang setir dan kaki yang tak lelah melangkah…” []

    0 Responses to “Di Balik Kesulitan Itu Ada Kemudahan”

    Post a Comment

    Subscribe