Saturday 25 July 2009

0

Membebaskan Rasa Ingin Tahu

  • Saturday 25 July 2009
  • Unknown
  • Share
  • Berawal dari Rasa Takjub, Maka Lahirlah Rasa Ingin Tahu
    Saya ingin bicara tentang “rasa ingin tahu”. Oke, saya ingin awali topik curhat ini lebih banyak di seputar pengalaman rasa ingin tahu saya pada dunia internet. Saya mulai berkenalan dengan dunia internet ketika kuliah saya semester 4. Pada awalnya saya “terpaksa” pergi ke warnet karena kebutuhan mencari bahan referensi untuk tugas makalah—itupun diantar teman, dan dia yang pegang mouse (sekaligus membayar biaya akses J). Setelah bahan-bahan yang diperlukan didapat, sudah itu selesai. Tapi ah, sepanjang perjalanan pulang, saya merasa takjub pada pengalaman—apa yang saya saksikan—di layar internet. Saya menjelajah dunia maya sekitar 45 menit, dan mengagumi halaman-halaman blog yang penuh warna, dan kelak saya tahu, di sana kita bisa menulis apapun, kita bisa menyimpan photo, video, dan files lainnya—seperti punya hardisk dengan kapasitas yang besar, seperti punya buku diary dengan beribu halaman, yang bisa kita buka di manapun, kapanpun.
    Berawal dari rasa takjub itu, lahirlah rasa ingin tahu. Ungkapan “Wah, blog kamu bagus, ajari aku bikin blog dong” jauh lebih baik ketimbang “Wah, blog nya bagus, tolong bikin dong buat aku”. Atau ungkapan yang tidak bagus adalah hanya sebatas memujinya tanpa diikuti rasa ingin tahu sedikitpun, dan yang paling buruk adalah tak sedikitpun tertarik apalagi ingin tahu. Ketakjuban pada suatu karya—selama yang membuatnya manusia—tidak terpuaskan sebatas ungkapan pujian dan rasa syukur semata. Jika memang ada kesempatan, kekaguman harus berkembang menjadi semacam motivasi bagi kita: “Karena saya tertarik, maka saya ingin tahu”, “Jika ia bisa, saya pun (harus) bisa.” Minimal, kita tahu sebagian jika memang tak ingin terlalu fokus, yang penting kita paham bagaimana sesuatu bekerja—tak melulu konsumtif.
    Karena rasa ingin tahu itulah, maka saya pun tak sungkan bertanya soal internet. Obrolan yang lama, tapi semakin membuat saya pusing. Saya pikir, bagaimana mungkin saya bisa menikmati, paham dan bisa soal apa yang saya tanyakan jika saya kemudian masih mengandalkan tangan orang lain, jika kemudian saya malah tersiksa dalam gemuruh teori saja. Makanya tak puas rasanya jika teman yang mengantar saya tempo hari bilang, “Kalau kapan-kapan kamu mau dibantu lagi, hubungi saya.” Tidak, saya juga ingin tahu, ingin bisa. Akhirnya keesokan harinya saya nekad pergi sendiri ke warnet. Saya mulai dibakar rasa ingin tahu, rasa penasaran, dan saya ingin bisa, ingin puas menikmati, pokoke saya ingin mengenalnya lebih dalam.
    Tak Kenal, Maka Tak Sayang
    Setelah mulai akrab dengan mesin pencari, saya pun mulai membuka beberapa halaman blog, melihat tampilannya, mencari informasi mana yang bagus, dan perbedaan diantara semua penyedia layanan blog gratis. Akhirnya, saya pun mendaftar di blogger.com—sebelum kemudian punya blog tetap di wordpress.com—karena layanan blogger.com katanya cukup dinamis, memberi dukungan pada kode-kode yang akan membuat tampilan blog kita hidup, bisa kita rubah di bagian-bagian tertentu, penuh warna dan kaya animasi, terutama lebih bebas untuk media latihan pengkodean jika sudah di convert pada template classic. Setelah punya blog sendiri, ternyata mau tak mau saya mesti paham sedikit soal kode-kode dasar HTML, kode-kode bagaimana memasukkan gambar di luar kotak posting, membuat link, merubah warna dan ukuran font, memiringkannya, membuatnya tebal dan seterusnya. Dengan sedikit pemahaman kode-kode itu, saya jadi mulai bekerja lebih paham dan cepat untuk mempercantik halaman blog saya.
    Memang, mempercantik blog bukan hal yang utama. Yang paling penting justru sangat sederhana: bagaimana mengelola blog, mengirim tulisan, mengeditnya, dan mem-publish-nya. Itu saja sudah cukup. Tapi jika blog kita ingin banyak pengunjung yang menyukainya, tentu saja selain di dalamnya kita mesti menulis sesuatu yang menarik, baik itu artikel, maupun cerita dan tips-tips, kita pun harus lebih jauh mempelajari bagaimana trik dan cara untuk mengelola blog lebih dalam lagi dengan layanan yang bertebaran di internet, hingga bisa menyedot pengunjung lebih banyak lagi.
    Ah, saya jadi ingat masa ketika saya tergila-gila memodifikasi tampilan blog di blogger.com. Ketika itu, saya dan sobat saya Ibn Ghifarie getol begadang mengelola blog masing-masing, mendaftar sana-sini, melototi rumus-rumus HTML, memasang pernak-pernik blog dan sebagainya. Suka dan duka datang silih berganti karena kesalahan sedikit pada kode yang dipasang, hingga membuat tampilan blog berantakkan. Tapi itu wajar, dalam proses mencoba dan belajar. Semakin banyak gagal, akan bertambahlah wawasan kita, karena rasa ingin tahu semakin membengkak—mesti terus mencari tahu solusi untuk mengobatinya.
    Di sanalah, rasa ingin tahu membawa saya pada sebuah kondisi tak pernah menyerah dalam pencarian. Begadang dalam beberapa hari, hanya untuk melunasi rasa penasaran. Saya manjakan rasa ingin tahu. Ya, rasa ingin tahu kami ketika itu amat menggurita. Tapi kemudian, Ibn Ghifarie kembali fokus pada hobinya menulis, dan saya lebih kecanduan mempelajari kode-kode HTML dan script lebih dalam (untuk tak menyebut lebih kacau J). Tentu saja, saya juga setelah puas dengan tampilan blog sementara, muncul kebutuhan-kebutuhan untuk menulis; karena lebih baik jika blog di update tiap hari, kita bisa menulis apa saja, tentang keseharian misalnya.
    Maka sampailah kita pada pencarian ide. Untuk menemukan ide tentu saja kita mesti mengembangkan rasa ingin tahu kita pada banyak hal, yang kemudian bisa menjadi bahan untuk kita menulis. Ya, setelah mengenal lebih banyak, justru lebih banyak yang ingin saya tahu. Semakin saya tahu, kemungkinan untuk berkreasi semakin bertambah dan terbuka lebar. Semakin saya kenal, semakin saya menyukainya.
    Pentingnya Rasa Ingin Tahu
    Curhat seputar dunia internet dan blog diatas sekedar pengantar untuk menjelaskan bagaimana ketakjuban dan ketertarikan pada sesuatu bisa melahirkan rasa ingin tahu, dan rasa ingin tahu memberi peluang bagi kita untuk bisa melakukan apa yang membuat kita takjub. Dalam hal ini, lebih umum lagi, rasa ingin tahu sebenarnya bekal untuk proses kreativitas dan berkarya dalam bidang apapun. Rangsanglah rasa ingin tahu kita pada apapun.
    Ya, tentu saja, rasa ingin tahu tak hanya dihidupkan—atau lebih tepatnya dimiskinkan—dalam ruang spesialisasi atau konsentrasi bidang tertentu, tetapi mesti lintas bidang, lintas selera; ia tak mengenal “minat atau tak minat”, “berguna atau tak berguna”, menguntungkan atau tak menguntungkan”, “suka atau tidak suka.” Meskipun kita tak meminati dunia blog lebih detail lagi misalnya, tapi setidaknya kita perlu tahu bagaimana membuat blog dan mengelolanya. Meskipun kita tak berminat dalam bidang tertentu, tapi sangat penting rasa ingin tahu pada bidang itu hingga wawasan kita bertambah luas.
    Jadilah blogger sejati, atau, jadilah pelukis sejati, atau jadilah seorang penulis sejati, konsentrasi dan pelajarilah hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan kepenulisan. Ah, jangan dimaknai sempit ungkapan tersebut; meski kita sangat berminat dalam dunia kepenulisan, tapi kita mesti tahu dan mempelajari juga soal perbengkelan atau penguasaan software misalnya, karena sadar-tidak-sadar kelak soal-soal itu akan sangat berguna baik bagi bahan dalam proses kreatif menulis maupun bagi hidup keseharian.
    Rasa ingin tahu tak mengenal kategori baik dan buruk. Maksudnya, kita perlu lho mengetahui apapun, baik yang ingin kita ketahui itu sebuah objek baik atau tak baik. Misal, rasa ingin tahu kita pada narkoba, maka pelajarilah. Berbeda dengan soal internet dan blogging; tentu saja, dalam hal-hal yang negatif, kita mempelajarinya untuk sekedar kebutuhan pengetahuan, tanpa keinginan untuk bisa memakainya. Atau barangkali diantara kita ada yang anti-pemikiran dan budaya barat, maka pelajarilah untuk merumuskan cara terbaik menghadang dan mencari titik lemahnya. Yang terpenting, rasa ingin tahu membantu kita dalam proses mengenal segala sesuatu.
    Wawasan Yang Luas
    Ya, mengenal dan paham segala sesuatu. Artinya, jika kita seorang penulis, kita tak perlu terperangkap dan terpenjara di dalam “kamar” kepenulisan, bebaskan rasa ingin tahu kita untuk memperkaya wawasan. Wawasan yang sempit karena kita terlalu tega mengurung rasa ingin tahu kita dalam gudang gelap apatisme. Meski seorang penulis, tak salah juga bertanya dan belajar tentang kegiatan seni melukis, memainkan alat musik, seni memasak, politik, komputerisasi dan pengetahuan software-hardware, bisnis, mengetahui bagaimana proses membuat film, tahu bagaimana sebuah makanan atau benda diproduksi di pabrik, paham soal pertanian, mengetahui gejala-gejala fenomena alam, filsafat, sastra, ekonomi, menyetir mobil yang baik, bahkan—jika kebetulan bertemu tukang jambret yang sudah tobat—pelajarilah tentang bagaimana cara menjambret yang efektif, bagai modus mencopet yang tepat. Ya, meskipun kita membencinya, seperti halnya tak menyukai penyakit, bukan berarti kita tak perlu mengetahui dan mempelajarinya; meski tak menyenangkan, semua itu kan bisa kita pahami untuk kebutuhan-kebutuhan pencegahan, bukan?.
    Atau jika kebetulan berjumpa dengan tukang bakso, bertanyalah bagaimana proses membuat bakso, merawat mie, sampai bertanya berapa harga mie di pasaran. Tentu saja tidak susah, seperti layaknya kita bertanya: “jam berapa sekarang?” karena alasan ingin tahu. Rasa ingin tahu mesti dikembangkan dalam banyak hal. Tak henti bertanya, tahu banyak hal dan belajar terus menerus, karena malu bertanya, sesat di jalan; karena tidak tahu, kita akan (mudah) tertipu; karena tidak mengerti, kita akan rugi. I know, I can—saya tahu, saya bisa: saya tahu tentang blog, saya bisa membuatnya; saya tahu tentang flu babi, saya bisa mencegahnya, dan seterusnya. Atau bayangkan jika suatu hari, kendaraan yang kamu pakai mogok di tengah jalan di hutan belantara, atau tiba-tiba komputer kamu error ketika tengah asyik menulis; apakah kamu malah memilih menunggu saja keajaiban dan “malaikat penolong” muncul tiba-tiba di hadapan kamu?
    Begitulah, saya membayangkan betapa bahagia mejadi orang yang serba tahu, serba bisa, dan itu membuat kita berani dan percaya diri menghadapi situasi apapun. Kita bisa memahami dan memungkinkan mempelajari banyak hal. Jika memang dengan begitu dianggap memecah fokus dan disorientasi, sederhanakan saja: konsentrasi pada satu bidang, tapi tetap pelajari banyak hal untuk dijadikan sekedar hobi sampingan atau jadi bahan-bahan pendukung bagi bidang yang kita geluti. Perkayalah wawasan; perbanyaklah membaca dan diskusi, atau perbanyaklah jalan-jalan, bertemu dan bicara dengan banyak orang. Perbanyaklah “jalan-jalan” di dunia maya dan ketahui apa yang belum kita ketahui tentang apapun. Perkaya ide, dan olah pengetahuan kita dengan mengekspresikannya menjadi karya dalam bentuk apapun. Lalu publikasikan dan abadikan karya kita di blog pribadi atau layanan jejaring sosial seperti facebook.com agar karya kita diketahui, dilihat, dibaca, didengar, dihargai, dikomentari, dikritik, diapresiasi banyak orang, dan mudah-mudaan mereka tertarik.
    Walhasil, bebaskan rasa ingin tahu dan bertanya, terus belajar dan mencobanya. Kembangkan rasa ingin tahu dalam banyak hal, dan sebisa mungkin mesti mencobanya—tentu saja mencoba untuk hal-hal yg positif saja. Bagi kamu yang belum sempat merasakan betapa nikmatnya membebaskan rasa ingin tahu, saya sarankan lebih cepat lebih baik. Bagi yang sudah, lanjutkan! Mudah-mudahan bermanfaat. Salam blogger! []
    Sedang ingin menulis: shubuh yang dingin, 23 Juli 2009

    0 Responses to “Membebaskan Rasa Ingin Tahu”

    Post a Comment

    Subscribe