Sunday 27 July 2008

0

Cerpen: Di Teras Mesjid

  • Sunday 27 July 2008
  • Unknown
  • Share
  • Mesjid terletak cukup jauh dari jalan utama. Dari kejauhan kubahnya terlihat memantulkan cahaya matahari siang ini. Kubah itulah yang membuat aku jadi mudah menemukan arah menuju mesjid. Setelah melewati beberapa kelokan dan gang-gang rumah, aku sampai di halaman mesjid yang luas.
    Shalat dzuhur sudah setengah jalan. Tapi masih terlihat banyak orang berkumpul di teras mesjid, melepas sepatu, melipat lengan kemeja, menggulung sarung, mematikan rokok, menyisir rambut dan sebagian yang lain berbondong-bondong menuju tempat berwudhu. Ada laki-laki, ada juga perempuan.
    Segar sekali terasa air wudhu di kulit wajahku setelah lama terbakar matahari. Macam-macam orang datang ke tempat ini, dari pedagang asongan hingga pekerja kantoran, sedangkan aku belum punya pekerjaan. Ini hari keempat aku kesana-kemari mencari arah.
    Masuk ke ruangan mesjid yang teduh, shalat sudah selesai. Aku baru memulai shalat di pojok bagian kanan dekat jendela. Sudah mulai terdengar riuh lagi di teras mesjid. Sepertinya mereka punya waktu 5 menit untuk bersantai di teras mesjid sampai akhirnya harus kembali pada aktivitas mereka.
    Sepanjang shalat, obrolan orang-orang di teras mesjid silih-berganti merasuki lubang telingaku. Mereka membicarakan banyak hal, tentang bisnis, pemilu, sepakbola, musik, perkuliahan, asmara, atau tentang isterinya yang cerewet dan tetangga rumah yang menyebalkan. Yang satu selesai dan pergi, datang yang lain mengobrol. Suara mereka hilir mudik, lalu berputar di kepalaku.
    “Isteri saya cerewet, Mbak, hobinya minta uang…”
    “Kalau suami saya jarang pulang ke rumah…”
    Dari arah yang lain, aku mendengar anak kecil menangis. Atau suara dua orang yang tertawa membicarakan pemilu. Terdengar juga suara orang menguap.
    “Jadi mau gak ke Malaysia? Gajinya besar lho.”
    “Mau, mau…”
    “Sepatu saya hilang, tadi disimpan disini…”
    “Hello, sayang… maaf ya tadi gak diangkat, papa lagi sholat… apa? Tenang, tenang, suruh Melia ngutang dulu…”
    “Menurut saya, sih, Barack Obama menang.”
    “Ah, pasti yang menang Persija.”
    “Hallo, siapa nih? … ya, ya.. I love you too.”
    “Gue pikir si Joli itu laki-laki…”
    “Ah, susah Bang, dari tadi pagi cuma laku rokok 5 batang.”
    “Salam ya buat Merlyn. Saya duluan, Bang. Eh, mau ke Bandung naik bis apa ya?”
    “Tin, sebenarnya aku cinta kamu, cuma orang tuaku gak setuju, ya… hallo… hallo.. hallo! Tini!”
    Atau tak sengaja kudengar bisik-bisik ini:
    “Apa kamu serius ingin berselingkuh denganku…”
    “Dia minta uang 50 juta, urusan lancar.”
    “Tuhan ada gak sih, Bang?”
    “Ssst, Pak Doni ngajak kencan anakku ke hotel. Gimana ya?”
    “Hallo, Mas, saya hamil. Saya minta tanggung jawab kamu hari Senin.”
    “Dia kan pejabat, lho kok pesan pelacur”
    “Apa?! Jadi isteriku jadi pacarmu?!”
    “Jangan coblos dia, bapaknya PKI!”
    “Jadi mau bayar berapa untuk satu nyawa?”
    “Siapa nama kucingmu?”
    “Sepatu saya hilang, tadi disimpan disini…”
    “Ok, saya sekarang berangkat ke New York.”
    “Ya, saya pikir gula Jawa itu tak disukai anak kita. Jadi harga minyak tak sebanding dengan rencana burung perkutut. Oleh karena itu…”
    Shalatku baru dua rakaat. Di teras mesjid, orang-orang silih berganti datang dan pergi, berbincang tentang banyak hal.
    “Sawah mertuaku di Cirebon diserang hama wereng.”
    “Kenapa mereka ingin sekali jadi walikota ya, Mas?”
    “Susah sekarang mah cari uang teh…”
    “Incar jabatan bukan demi rakyat, tapi demi uang”
    “Excuse me, but may I introduce myself to you? My name is Ujang.”
    “Minat gak? Canon Elura 100, dimensi 57x77x109 mm, 1/5 inci CCD, 1,3 mp kotor 690 kilopiksel efektif. 4 juta, nego!”
    “Sepatu saya hilang, tadi disimpan disini…”
    “Anakku, berjanjilah, jangan percaya hukum di indonesia.”
    “Golput adalah salah satu cara untuk meminimalisir dosa..”
    “Pinginnya Marni jadi pemain sepakbola, Bu, 900 juta pertahun!”
    “Percayalah, Neng, demi kau aku akan berhenti merokok.”
    “Saya lupa nama saya siapa…”
    “Dia mah asal kita punya motor, pasti mau diajak kencan”
    “Makin miskin sebuah negara, makin ganas korupsi”
    “Bapakku koruptor lho…”
    “Ya sudah, besok kita cerai ya..”
    “Saya semalem mimpi buruk, Mas, yang jadi presiden Indonesia tahun depan akan mati dibunuh.”
    “Sepatu saya hilang, tadi disimpan disini…”
    “Nurustunjung eta awewe, abong geulis, sombong pisan!”
    “Hallo… apa? Anak kita mati? Horeeee!”
    “Tahun 2005 saya tak beragama, tahun 2006 agama saya Hindu, 2007 Kristen, 2008 masuk Islam, rencananya 2009 saya akan mendirikan agama baru…”
    “Tadi saya lupa sholat cuma 3 rakaat, harusnya empat.”
    “Preman, mahasiswa, politikus, kiyai, sekarang mah sama-sama doyan kekerasan.”
    “Duh seandainya bahan bakar mobil itu kertas…”
    “Ya, Bang, listriknya dikorupsi..”
    “Wah, persoalan dimana-mana. Banyak orang butuh pertolongan kita…”
    “Gue sih asyik-asyik aja. Emang gue pikirin!”
    “Lu kan punya bodi aduhai, tampang no 2, pasti deh sukses!”
    “Kau tahu kan Joaquin Phoenix?”
    “Sepatu saya hilang, tadi disimpan disini…”
    “Kanker payudara itu apa sih, Mas?”
    “Innalilahi, Mas, biaya pendidikan sekarang makin mahal, makin banyak orang yang tak bisa sekolah, makin banyak orang yang bodoh.”
    “Ya…tahun depan aku mau poligami, nduk, tabunganku sudah banyak.”
    Shalatku selesai. Aku mulai berdoa. Tapi obrolan orang di teras mesjid terus terdengar…
    “Aku mau tobat, tapi masih miskin.”
    “Ayo tebak, tikus apa yang pake sepatu?”
    “Ya, uang banyak dan dosa bertumpuk.”
    “Rokok, rokok. Rokok Mas. Ada tissue, Mbak, Teh botol, gunting kuku… uuuh!”
    “Katanya sih mau bunuh diri, tapi gak jadi, soalnya kuliahnya belum kelar.”
    “Pancasila yang ke-5 apa, Bang?”
    “Sepatu saya hilang, tadi disimpan disini…”
    “Stress kronis bisa merusak kekebalan tubuh, Mas.”
    “Ik verlang naa jou, ik hou van jou…udah dulu ya, pulsanya mau abis, muach!”
    “Anak tetangga kita kurang gizi, Pa…”
    “Si Uus putus sekolah, bapaknya tukang mabuk.”
    “Sepatu saya hilang, tadi disimpan disini…”
    “Saya menganggur 5 tahun…”
    “Wah, bagus dong!”
    Selesai berdoa, aku langsung keluar mesjid. Aku heran, sepatuku sudah tak ada di tempatnya lagi. Aku cari sepatuku di sekitar mesjid, tapi nihil. Di rak sepatu, juga tak ada. Hampir lima menit lamanya aku mencari sepatuku, tetap tak ada hasil. Tanya sana, tanya sini, tak ada yang tahu. Aku menghela napas panjang, tak enak rasanya.
    “Ada apa, Mas, kayak orang bingung gitu?” tanya seseorang padaku.
    “Sepatu saya hilang, tadi disimpan disini…” []
    Sumedang, Juli 2008

    0 Responses to “Cerpen: Di Teras Mesjid”

    Post a Comment

    Subscribe