Monday 30 June 2008

0

Cerpen: Mereka Yang Menangis di Depan Jenazah Ayah

  • Monday 30 June 2008
  • Unknown
  • Share

  • Hari ini ayahku wafat. Dia ayah yang baik bagiku. Dia suami yang baik bagi ibuku. Dia adalah pahlawan bagi kami semua. Kasih sayang juga perlindungannya yang lembut dan sederhana pada kami, membuatku semakin percaya bahwa cinta adalah sebuah kesempurnaan…
    Aku ingat, ketika masih kecil, aku selalu mendapat cerita sebelum tidur. Ada banyak cerita yang menyenangkan, tentang rembulan dan hujan. Atau tentang si kancil dan kura-kura yang berjalan lambat. Betapa hangat aku dipeluknya sebelum akhirnya aku lelap dalam mimpi indah. Tapi semenjak ayah bertugas di luar kota, cerita sebelum tidur itu hanya terdengar seminggu sekali. Tentu saja, selama di luar kota, kami sangat merindukannya untuk cepat pulang. Aku senang ketika setiapkali ayah pulang. Di depan pintu, ia mencium kening ibu dihadapanku, dan mengajak kami makan malam di akhir pekan yang selalu indah.
    Setelah aku besar, dia masih tetap sosok yang sangat mesra dan perkasa. Cintanya pada ibu semakin romantis dan bijaksana. Ayah adalah lelaki terbaik bagi ibu, begitupun sebaliknya. Selama rumah tangga, mereka tak pernah bertengkar. Jika ada persoalan, mereka akan menyelesaikannya dengan baik-baik dan penuh humor. Kalaupun dulu aku pernah melihat ibu menangis, itu terjadi ketika ia sangat bahagia mendapat hadiah ulang tahun, atau ketika ayah jatuh sakit. Selebihnya, ibu memilki senyum yang panjang disamping ayah. Itulah ayah, pria yang lembut dan penuh pengertian. Tapi dia kini tinggal kenangan. Setelah satu minggu terbaring dengan tubuh sakit-sakitan, kematian akhirnya merangkulnya.
    Ibu pasti sangat sedih kehilangan ayah, melebihi kesedihan siapapun. Air matanya tak henti mengalir semenjak pertama kalinya ayah jatuh sakit hingga kini wafat. Hanya aku kini satu-satunya milik ibu. Kerabat ibu sudah lama tak terdengar lagi kabarnya. Menjadi kebahagiaan terbesarku jika kini aku akan menghabiskan masa remajaku untuk menjaga dan menemani ibu, menghapus kesedihan ibu. Kami akan tetap tinggal di rumah sederhana ini. Rumah dari kerja keras ayah selama ini.
    Aku merangkul ibu yang masih menangis di hadapan jenazah ayah. Doa-doa terdengar dari mulut orang-orang yang sejak pagi tadi duduk melingkar depan jenazah. Sebelum dzuhur jenazah ayah rencananya akan dikebumikan. Kini kami tinggal menunggu beberapa teman ayah dari luar kota yang rencananya akan datang ke sini. Setelah itu segalanya sudah dipersiapkan dengan baik.
    Pukul setengah sepuluh teman-teman ayah mulai berdatangan. Mereka turut berbela sungkawa. Ada yang bercerita panjang lebar tentang pengalaman masa kecilnya dengan ayah. Ada juga yang bercerita tentang kebaikan-kebaikan ayah selama hidup. Atau ada seorang perempuan dengan dua anak kecil-kecil yang tiba-tiba menangis keras di hadapan jenazah ayah…
    “Mas, maafkan aku…” ucapnya pelan di sela tangisnya. Perempuan itu, dan kedua anaknya, terdengar menangis demikian pedih di hadapan jenazah ayah. Aku perlahan menghampiri ibu yang mulai berhenti menangis. Ia menatapku perlahan.
    “Ibu tak tahu siapa mereka…” ucapnya parau. Aku mencoba tersenyum dan merangkulnya. Tak lama kemudian aku melihat perempuan asing itu bangkit, mengusap air matanya dan membawa kedua anaknya yang tak henti menangis keluar ruangan. Aku diam-diam mengikutinya dari belakang sampai akhirnya mereka masuk ke dalam taksi yang sudah menunggu di halaman rumahku. Aku melihat mereka memilki kesedihan yang lebih besar dari kami, dari ibuku. Anak-anak yang lucu. Anak-anak yang tak henti menangis dan meronta-ronta tak mau berada di dalam taksi. Anak-anak yang memanggil nama ayah dalam tangis mereka yang memilukan…
    Sumedang, 28 Juni 2008

    0 Responses to “Cerpen: Mereka Yang Menangis di Depan Jenazah Ayah”

    Post a Comment

    Subscribe