Wednesday 16 January 2008

0

Fabel: Republik Ning Nong

  • Wednesday 16 January 2008
  • Unknown
  • Share
  • Syahdan, di sebuah hutan di belahan bumi bagian timur, berdiri sebuah Negara hewan. Semua penghuni hutan itu menyebutnya Republik Ning Nong. Sudah 20 tahun berdiri dan pemilihan umum telah berulangkali dilakukan dengan demokratis. Partai-partai semakin tumbuh subur. Ada Partai Hutan Makmur. Ada Partai Rakyat Bahagia. Ada Partai Ning Nong Sejahtera, dan sebagainya. Warna-warna bendera partai menghiasi seantero hutan. Semua kubu mengajukan calon pemimpin setiapkali pemilihan umum berlangsung. Mereka semangat dan bersaing sehat.
    Partai Hutan Makmur mengajukan kambing sebagai calon. Partai Rakyat Bahagia mencalonkan singa. Partai Ning Nong Sejahtera mengajukan gajah. Partai Rakyat Tak Luka mencalonkan ular. Setiap partai memiliki pasangannya. Seperti kambing dari Partai Hutan Makmur berpasangan dengan burung elang, dan seterusnya. Setiap rakyat hewan diberi hak bebas untuk memilih setiap pasangan calon menurut hati nuraninya masing-masing.
    Tibalah pemilu pemilihan presiden periode baru. Pesta diadakan besar-besaran. Kampanye politik mulai santer terdengar di setiap penjuru hutan. Setiap calon bekerja keras merebut hati rakyat. Janji-janji ditebar, pidato politik berkobar, dan rakyat bersorak hingar. Monyet-monyet berjingkrak. Burung-burung bernyanyi. Harimau tepuk tangan. Gajah memainkan bendera dengan belalainya. Semua hewan penghuni hutan gembira mengikuti setiap kampanye politik calon presiden.
    Tak ada kecurangan. Tak ada anarkis. Semuanya berjalan dengan baik. Sportivitas dijunjung tinggi. Siapapun yang menjadi pemenang, seluruh penghuni hutan akan menyambutnya dengan senang. Menjadi sebuah tradisi, setiap calon atas nama partai akan memberikan hadiah pada rakyat. Dari mulai pisang, wortel, dan makanan hewan lainnya. Pokoknya sembako dan bantuan lainnya, dari mulai uang sampai pembenahan semua fasilitas strategis di seluruh hutan.
    Untuk menghindari konflik yang tidak diinginkan dan timbulnya asumsi-sumsi yang kurang baik, setiap calon mengakomodir setiap hadiah yang nantinya serempak diberikan pada rakyat langsung. Tak ada diskriminasi. Tak ada monopoli pembagian hadiah diam-diam oleh partai tertentu. Setiap partai patuh dan bekerjasama menurut prosedural yang telah ditentukan. Dilarang keras memaksakan pilihan dengan cara apapun. Tak ada money politik. Haramnya jual-beli suara sama haramnya dengan narkoba. Melanggar ketentuan itu, sama saja melukai demokrasi, mutlak masuk neraka.
    Monyet senang mendapat pisang gratis. Dia tak perlu lagi bersusah-payah memanjat pohon. Begitupun yang lainnya. Semua rakyat hewan selalu dimanjakan setiapkali memasuki masa kampanye politik. Semuanya berjingkrak senang. Semuanya bersorak-sorai. Kuda meringkik senang. Anjing menggonggong, dan kafilah tak perlu berlalu. Karena sebentar lagi akan ada penghitungan suara.
    Seluruh rakyat hewan hening. Perasaan mereka deg-degan mengikuti setiap penghitungan suara. Lalu muncullah Partai Ning Nong Sejahtera sebagai pemenang. Semua hewan bersorak. Gegap gempita. Semua hewan saling berpelukan. Setiap calon saling bersalaman. Semua penghuni hutan sama-sama merayakan kemenangan. Seekor gajah berdiri diatas panggung, pasangannya seekor kuda. Benar-benar pasangan yang serasi. Keduanya dipandang perkasa.
    Maka selesailah pesta politik. Rakyat kembali ke tempatnya masing-masing, dan pejabat baru akan segera dibentuk di bawah naungan Kabinet Sejahtera. Sebuah tradisi rakyat pun kembali hadir. Setiapkali pemilu akbar usai, mereka selalu memberikan hadiah pada pejabat-pejabat pemerintahan yang baru terpilih. Rakyat berkumpul dan mengumpulkan bantuan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka kembali mengumpulkan buku-buku, dari mulai buku-buku agama, buku tentang moral, tasawuf, etika politik, sampai pada buku-buku tentang bagaimana cara memimpin yang baik. Dari seluruh penjuru hutan, buku-buku itu dikumpulkan rakyat. Mereka mengirimnya ke istana pemerintah sebagai hadiah.
    Setelah itu, keramaian kembali hening. Kemeriahan kembali reda. Seperti hari-hari biasanya, rakyat sibuk dengan aktivitasnya, dan para pejabat tenggelam dalam kesibukannya. Sampai seluruh rakyat hewan yakin, bahwa dibalik tembok istana itu, para pejabat tengah bekerja keras menyelesaikan tugas-tugas, memikirkan nasib mereka. Jangan ganggu mereka! Jangan ganggu mereka! Ssst, para pejabat butuh konsentrasi. Maka bertahun-tahun membuat jarak pengertian. Tak ada satupun rakyat yang berani mengusik istana yang megah, kecuali dua burung kecil yang setiap hari meloncat-loncat di setiap jendela istana dengan mata terperangah dan terbang ke angkasa, lalu hinggap di dahan cemara. Mereka bulung gelatik, pasangan suami isteri. Mereka hewan yang sentimentil. Ketika melihat asap membumbung tinggi ke angkasa saja mereka menangis tersedu-sedu.
    “Hiks, kita semsetinya membuat buku dari besi atau logam yang tahan air. Tahan api. Tahan usia.” Ucap burung jantan.
    “Benar, Mas. Tapi apa gak berlebihan? Manusia saja yang punya teknologi canggih tak sampai membuat buku dari besi…”Mereka menangis berdua, berpelukan, seperti baru saja ditinggal mati anak mereka.
    “Mas, apakah kita boleh menipu dan menyeleweng?”
    “Ah, manusia saja yang katanya makhluk sempurna dan punya akal hebat masih suka melakukan keduanya. Apalagi kita. Wajar.”
    “Ko wajar, Mas?”
    Si burung jantan tidak menjawab. Paruhnya hanya terbuka perlahan. Matanya tajam melihat anjing-anjing keluar dari istana menjinjing kaleng-kaleng minyak tanah. Lalu ia lemparkan pada api yang menyala. Wuss! Semakin tinggilah api menyala.
    “Tuan, masih ada sampah yang harus dibakar?”
    “Jing, ambil aja sampah baru di gudang belakang! Nanti kubayar kau! Mungpung ada lalu-lintas!” kuda memberi titah.
    “Gaik!”

    Sumedang, Januari 2008

    0 Responses to “Fabel: Republik Ning Nong”

    Post a Comment

    Subscribe