Wednesday 16 January 2008

0

Cerpen: Puisi Cinta di SMU

  • Wednesday 16 January 2008
  • Unknown
  • Share
  • Malam padam. Tapi angin seperti hidup, membuka kembali lampiran-lampiran masa lalu. Jarum kenangan bergerak perlahan. Aku ingat puisi pertamaku, puisi tentang mawar dan hujan. Seorang perempuan yang pertama kali menerimanya adalah Bu guru Bahasa Indonesia. Ia masih muda, berjilbab, berkaca mata dan berkulit putih. Aku lihat bibirnya basah kemerah-merahan, seperti bunga mawar sehabis hujan…
    Tapi ia tak begitu menyenangkan. Seperti ketika membaca puisiku. “Hm, bagus. Coba kamu kirimkan ke majalah atau surat kabar.” ucapnya datar. Sungguh, respon yang buruk. Setelah itu Bu guru bicara banyak soal aku yang tak pernah mengerjakan tugas rumah, sering membuat keributan di kelas, jarang masuk dan seterusnya. Dia bicara banyak hal yang membuatku malu, tersinggung dan sakit hati. Tak sedikitpun ia menghargai perasaanku. Setelah itu, aku tak pernah masuk lagi setiapkali ia mengajar. Toh apa bedanya dia dengan Pak Darmo yang tak segan memarahi dan menampar siswa.
    Tiga minggu setelah itu, Bu guru mengadukanku ke BP karena makin malas masuk. Semakin sakitlah hatiku. Menurut temanku, ruangan BP itu angker, tempat siswa bermasalah diinterogasi dan setiap siswa akan merasakan seperti disiksa dalam penjara. Aku gentar mendengarnya. Baru pertama kali aku memenuhi panggilan BP. Biasanya aku kabur memanjat tembok setiapkali ada panggilan. Kali ini, aku tak berkutik.
    Memasuki ruangan itu, yang pertama kali kulihat adalah kipas angin. Baling-balingnya berputar mengerikan. Lalu aku melihat gambar Pangeran Dipenogoro. Lalu…
    “Hallo, silakan duduk…” tiba-tiba seorang perempuan datang mengejutkanku dari arah belakang. Suaranya halus. Baru pertama kali aku melihatnya. Berjilbab, berkaca mata, anggun dan keibuan. Sungguh, ini bukan Bu guru Bahasa Indonesia. Ia sangat ramah. Ia tersenyum dan menyebut namaku, menanyakan kabar, dan seterusnya ngobrol lebih banyak dari mulai hobby sampai keluarga. Aku tiba-tiba merasakan kehangatan dalam dadaku. Betah, gembira. Percakapan yang mengesankan.
    Ternyata namanya Bu Maryam. Ia bertugas menampung konsultasi dan melakukan bimbingan pada siswa. Ia ramah dan murah senyum, menyejukkan hatiku. Aku merasa ia begitu dekat denganku. Ia juga bercerita banyak hal tentang pengalaman sekolahnya dulu. Ia memberi masukan padaku. Ia memberi senyum dan semangat. Dan ketika bel istirahat berbunyi tiga kali, saat itulah aku jatuh cinta pada Bu Maryam…
    Beberapa hari lamanya aku ingat terus wajah Bu Maryam. Senyumnya perlahan merasuki ingatanku. Halus suaranya meluluhkan perasaan. Aku benar-benar ingin bertemu lagi dengannya, dan bicara banyak hal. Aku kangen. Tapi aku ragu menemuinya. Toh aku tak mendapat panggilan. Aku malu dan takut mengganggunya. Berhari-hari, rasa kangen itu bertumpuk membuatku tersiksa. Setelah itu aku mendapat solusi dari teman sebangku: Bikin masalah saja! Lupakan tugas rumah! Bolos! Hm, ia percaya aku akan kembali dipanggil dan bertemu dengan Bu Maryam. Aku pun melakukan semuanya sendirian. Seminggu lebih tak masuk sekolah, tanpa surat keterangan apapun. Rasa kangen pada Bu Maryam semakin menggebu. Di terminal bis itulah, aku menulis puisi untuknya. Puisi tentang cinta…
    ***
    Benar saja, ketika masuk kelas lagi, aku mendapat panggilan. Betapa bahagia berjumpa lagi dengan Bu Maryam. Cairlah kerinduanku. Seperti biasa ia tersenyum lembut. Kami bersitatap.
    “Kenapa kamu ingkar janji?” Tanya Bu Maryam. Aku menunduk. Aku tahu maksudnya. Ingin sekali  bicara banyak hal tentang perasaanku. Lama aku tak menjawab. Bu Maryam tersenyum. Ia berdiri lalu mengambil segelas air putih dan memberikannya padaku. Aku mengambilnya gemetar. Betapa hangat hatiku. Betapa tabah Bu Maryam menungguku bicara.
    “Saya sengaja melakukan semua itu, Bu.” Ucapku gemetar. Kulihat alis Bu Maryam yang hitam bergerak lembut.
    “Kenapa?” tanyanya. Bibirnya tersenyum halus. Lama aku tak menjawab. Segala perasaan bercampur acak dalam hati.
    “Saya ingkar…karena saya, berharap mendapat panggilan…” ucap saya tersekat, ”saya berharap ketemu Ibu.” Bu Maryam mengerutkan kening. Sejenak hening. Lalu aku mendengar Bu Maryam tertawa kecil. Aku malu bukan kepalang. “Saya tidak bercanda, Bu.”
    Bu Maryam tersenyum penuh pengertian. Ia menghela napas, menatap lekat wajahku. Tiba-tiba tangan Bu Maryam menyentuh tanganku dengan erat. Aku merasakan ada sungai mengalir deras dalam tubuh. Aku bahagia.
    “Kamu tak usah repot-repot membuat masalah jika ingin bertemu Ibu.” Ucapnya. “Kamu bisa datang kapan saja pada Ibu. Tentu saja, Ibu akan senang.” Aku perlahan menatap Bu Maryam. Ada rasa teduh menghimpunku. Perlahan aku ambil kertas dari saku baju seragamku. Aku menyerahkan puisi itu. Bu Maryam menerimanya perlahan dan membukanya. Sejenak ia menatapku, lalu mulai membaca. Ruangan hening. Begitulah, seorang perempuan yang pertama kalinya menerima puisi cinta terpanjang dariku adalah Bu Maryam…
    Setelah Bu Maryam selesai membaca puisiku, ia menatapku dengan senyum yang sangat manis. “Seumur hidup disini, baru pertama kali Ibu mendapat puisi dari seorang murid.” Jawabnya pelan. “Puisi yang indah…” Mendengar itu, aku bergetar. Seperti hampir hilang tulang penyangga tubuh ini. Bu Maryam kembali memegang tanganku.
    “Ibu percaya, kamu bisa melakukan hal terbaik pada siapapun, termasuk Ibu. Sebenarnya cinta tersembunyi dalam banyak hal, dan setiap orang dapat mengerjakannya dalam banyak hal pula. Tapi cinta itu tidak melukai. Maka berikanlah sesuatu yang tercantik; kabarkanlah sesuatu yang terbaik. Mencintai keluarga berarti memberikan kabanggaan terbaik pada keluarga. Mencintai kekasih adalah membuktikan diri dengan cara yang baik. Tapi mencintai orang lain pada mulanya mencintai diri sendiri. Memahami diri untuk jadi yang terbaik adalah awal segalanya. Ibu akan bahagia mendengar kabar baik dari kamu. Kapanpun. Mulailah dari hari ini…” Mataku berkaca-kaca mendengar nasihat itu. Benar, Bu, cinta itu tidak melukai…
    Setelah aku lulus dari SMU, aku belum sempat lagi bertemu dengan Bu Maryam. Sampai setahun kemudian, akhirnya aku bisa masuk di salah satu perguruan tinggi di Kota Bandung. Aku memang tak ingin menemuinya sebelum aku membawa kabar gembira pada Bu Maryam. Aku ingin membawa kabar kebanggaan yang luar biasa. Dua tahun kemudian setelah jadi mahasiswa, tak sengaja aku melihat Bu Maryam di pinggir jalan. Dari kejauhan aku melihatnya. Penampilannya masih tampak sederhana. Wajahnya anggun. Ingin sekali aku mendekatinya. Tapi langkahku terasa berat. Segala perasaan bercampur tak menentu.
    Sebuah bis berhenti di hadapannya. Setelah itu, Bu Maryam hilang. Itulah terakhir kali aku melihatnya. Sungguh, ia akan tetap aku rindukan. Sebab ia telah memberiku puisi yang sangat indah, bahwa cinta yang baik itu adalah cinta yang membangkitkan. Cinta yang baik itu adalah cinta yang membuktikan. Bis hilang dari pandangan. Tak terasa air mataku mengalir. Demikian hangat, seperti puisi, seperti tatapan lembut Bu Maryam…
    Jatinangor, Januari 2008 

    0 Responses to “Cerpen: Puisi Cinta di SMU”

    Post a Comment

    Subscribe