Saturday 1 July 2006

0

Dari Puisi ke Oposisi

  • Saturday 1 July 2006
  • Unknown
  • Share
  • Puisi adalah anak ajaib dari rahim purba kegelisahan manusia. Kelak kegelisahan akan mendidiknya menjadi bagian yang penting dari semesta. Kelak puisi menjadi mata yang menatap, hidung yang mencium, telinga yang mendengar, mulut yang bicara, hati yang meresapi dan pikiran yang menelanjangi. Puisi adalah sebuah kesaksian. Ia menjadi harapan sekaligus gugatan bagi setiap ketakterjagaan. Tariannya adalah proteksi; kehadirannya adalah evaluasi; gaungnya adalah resistensi; teriaknya adalah interupsi. Puisi adalah saksi zaman, saksi sejarah. Bahkan, di ranah lain, ia dilahirkan untuk meluruskan arah mata pedang kekuasaan. Ia hadir menjadi sebilah oposisi.


    Oposisi bukanlah penentang an sich. Oposisi bukan pula sekedar pihak yang menyatakan ketidaksetujuan. Oposisi bukan pula tukang teriak semata-mata. Oposisi bukanlah kalangan yang melawan secara membabi buta. Oposisi adalah setiap ucapan atau perbuatan yang meluruskan kekeliruan tetapi sambil menggarisbawahi dan menyokong segala sesuatu yang sudah ada di jalan yang benar (Eef SF:1999). Oposisi diajukan dalam spirit tawassaubil haq. Ia muncul sebagai suatu keharusan amar ma’ruf nahy munkar. Dalam konteks ini, puisi dapat diajukan sebagai oposisi untuk meluruskan kondisi yang keliru dan membuka kejernihan pandangan terhadap realitas. Ia menjadi semacam sabda yang tak henti mengukur kekeliruan untuk dikabarkan dan disaat yang sama melakukan perlawanan atasnya. Memang, kekeliruan itu bisa merambah segala hal peristiwa kemanusiaan, kondisi tragik manusia, polah kekuasaan dan kondisi keseharian manusia yang senantiasa perlu diingatkan. Apalagi jika kekeliruan menyangkut bentuk-bentuk kekuasaan dari mulai tingkat rumah tangga, ketua RT sampai tingkat negara. Tapi persoalannya kemudian, apakah puisi sebagai oposisi masih diberi denyut nadi di zaman yang sakit ini?

    Memang sungguh sulit menemukan sebuah negara, sebuah zaman yang bisa dengan mudah menjalani pembentukan sistemik dan pendewasaan kultural yang sejalan dengan kebutuhan eksistensi oposisi. Di Indonesia, misalnya, memang bukan tanah yang terlalu subur untuk tumbuhnya semangat pemberontakan puisi dan oposisi. Sistem disini masih belum punya ideologi toleransi, tak pandai menghormati keragaman, kompetisi antar kelompok tak terbina, pokonya belum dewasa. Meskipun satu-persatu sejarah rezim diktator sudah tumbang, tetapi Indonesia belum punya kesiapan untuk membangun sistem yang kondusif bagi tumuh-suburnya oposisi.

    Membangun puisi sebagai oposisi memang merupakan pekerjaan yang susah dan butuh energi yang tak sepele. Sebab kerapkali ruang-ruang kemerdekaan telah digerus-mampus oleh praktik moral dan politik yang keliru. Bahkan yang lebih gawat, kekuasaan menculik puisi dan mendidiknya menjadi gundik kekuasaan. Maka lepuhlah hakikat oposisinya. Ia menjadi alat untuk menyampaikan kepentingan kelompok dan ambisi kekuasaan. Ia manut pada “selera ideologi rezim.” Ia menjadi estetika yang dilacurkan secara tematik oleh kepentingan penguasa atau kelompok. Di pihak lain, sepanjang sejarah perjalanan sebuah oposisi, sebuah puisi memang kerapkali dibayangi selaksa ancaman dan kezaliman. Puisi sebagai oposisi memang seperti anak tiri sejarah. Seperti laiknya saksi, ia dianggap pembangkangan, subversif, berbahaya dan harus dibungkam di sudut gelap kenyataan.

    Kita tahu, puisi sebagai oposisi memang muncul dari spirit karya sastra yang punya catatan pembangkangan terhadap kekuasaan, baik kekuasaan politik, agama dan sosial. Kita ingat sederetan penulis seperti aktivis gerakan feminis Nawal el-Sadaawi yang dipenjara, Salman Rushdie yang diburu, Naquib Mahfoudz dan Milan Kundera yang kerap terancam keberadaannya, yang hidupnya diburu ganasnya cengkram kekuasaan karena sama-sama terancam tajamnya sebilah pena. Para pengarang itu kerap bergerak dalam ancaman pelarangan, pembakaran buku, penyitaan, penjara, pengasingan bahkan pembunuhan hanya karena karya mereka dianggap mengganggu stabilitas kekuasaan—padahal kita tahu, mereka hanya mengabarkan kenyataan dan kebenaran.

    Di Indonesia, kita ingat perjalanan karya sastra pramodya Ananta Toer yang tertatih-tatih. Ia sendiri akhirnya mencicipi usianya di balik jeruji besi selama 14 tahun tanpa pengadilan dan diasingkan di pulau terpencil oleh sebuah rezim diktator. Tak lupa juga nasib Utuy Tatang Sontani, sastrawan yang di cekal oleh rezim dan kelak mati kesepian di Rusia—tragis, mati bukan di tanah airnya sendiri. Lewat puisi, kita ingat aktivis-penyair Wiji Thukul yang lenyap ditelan “hantu kekuasaan” karena puisi-puisi pemberontakannya terhadap kekuasaan yang edan. Ia dipaksa menjadi penjahat oleh penguasa yang sewenang-wenang. Dia memburu dan pergi untuk merampok haknya yang dirampas dan dicuri (puisi Catatan, 15 Januari 1997). Tak lupa juga Rendra, si seniman pembangkang yang puisi-puisinya lantang bicara tentang nasib orang-orang kecil dan kebobrokan yang disebabkan oleh sistem tiranik dan hipokrit. Ia pun diganjar pelarangan demi pelarangan, bahkan penjara. Di sudut lain, ada penyair-pemberontak eksistensial Chairil Anwar, Putu Wijaya dan lainnya.

    Mereka semua adalah saksi zaman—sebuah kesaksian tentang ketertindasan. Mereka adalah para oposan, para penggugat. Mereka bergerak lewat karya-karya yang begitu kangen kejujuran, keindahan, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan. Mereka tak lelah membela dan memperjuangkan nasib orang-orang yang lemah dan (di)kalah(kan). Mereka mengajarkan kita tentang semangat dan pemberontakan pada bentuk-bentuk kekuasaan yang sinting, baik presiden, pemuka agama, rektor, dosen dan pejabat-pejabat yang berpolah bejat. Mereka mengajukan hati nurani dengan berani. Mereka protes dan tak letih mengabarkan kenyataan. Mereka terus menulis meski, kita tahu, resiko perjuangan mereka harus dibayar dengan harga yang tak remeh dan tak enak. “Jihad yang paling utama adalah mengucapkan kata-kata yang benar kepada penguasa yang zalim,” demikian seru aktivis muslim bernama Muhammad yang memberontak terhadap kekuasaan jahiliyyah Arab beberapa abad silam.

    Maka, kinilah saatnya kita menjadi—meminjam bahasa Chairil—binatang jalang bagi kekuasaan “jahiliyyah” zaman sekarang yang korup dan menindas. Berbahagialah bekerja dengan kekuatan puisi. Ia dapat menampar kezaliman. Ia dapat menampar keserakahan. Ia dapat merombak kerumitan takdir. Ia dapat merombak hati yang membatu. Ia dapat menggugat kesombongan laki-laki. Ia dapat menggugat keangkuhan perempuan.

    Lewat puisi, kita bisa dapat menggugat apapun. Bukankah tak salah jika seseorang yang ditolak cinta mentah-mentah akhirnya marah lewat puisi menggugat kekuasaan kapitalisme yang begitu ganas membangun citra tubuh ideal di televisi, dan menggugat virus imagologi yang merasuki dada kekasihnya? Atau tak salah juga jika seseorang merayakan imajinasi Oedipus Rex lewat puisinya karena mungkin ia mentok mencari variabel realitas lain yang mungkin bikin ia hidup menderita tanpa jeda? Bukankah kita pun menjadikan puisi sebagai oposisi bagi kekuasaan bayangan diri kita sendiri?

    Bukankah bayangan kita terlalu berkuasa atas diri kita dan bicara terlalu panjang tentang kekalahan, keletihan, ketakutan, keraguan, bunuh diri, keserakahan, hawa nafsu dan lainnya? Bukankah puisi sebagai oposisi mengingatkan kita ketika lupa kepada Sang Hakikat? Bukankah puisi sebagai oposisi kerap mengingatkan langkah kita akan realitas yang tengah kita jalani? Bukankah ia juga mengajari kita menghormati kebahagiaan, mengerjakan cinta dan belajar menyelesaikan penderitaan, mengekspresikan kegelisahan serta meluruskan kecemasan? Kita berpuisi, menjadi oposisi bagi diri yang sakit, zaman yang sakit, bagi kekuasaan-kekuasaan yang sakit. Bukankah puisi dapat menghadirkan kesadaran dan—meminjam istilah Rendra—kesadaran adalah matahari?

    Maka, bekerjalah membangun kesadaran untuk menyingkap gulita. Jadilah saksi bagi ketertindasan dan pengingat bagi penyakit lupa sebuah kekuasaan. Jadilah oposisi; dimanapun dan kapanpun. Di tingkatan kampus, misalnya, oposisi menjadi sebuah keharusan. Kezaliman memang tak luput juga dari polah birokrat kampus. Engkau bisa menggugat lewat puisi tentang dosen yang cabul, tetapi jangan salahkan Rendra kalau rencana beasiswa tidak turun atau nilai mata kuliah tidak keluar. Engkau bisa menggugat rektor yang korup lewat puisi, tetapi jangan salahkan Wiji Thukul kalau tiba-tiba satpam cengar-cengir di hadapanmu dengan lidah yang nakal, menghampirimu sambil membawa pentungan. Tetapi semua itu resiko perjuangan, Nak.

    Perjuangan butuh pengorbanan yang tak kecil. Yang penting kita tetap konsisten menyuarakan kenyataan, mengucapkan kebenaran. Sebab kebenaran mengajari kita untuk berani. Jadilalah lalat mengganggu tidur kesadaran para penguasa. Akhirnya, mari kita resapi gemuruh puisi pemberontakan Wiji Thukul Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa, 18 Juni 1997:


    Aku bukan artis pembuat berita
    tapi aku memang selalu kabar buruk
    buat penguasa
    Puisiku bukan puisi
    tapi kata-kata gelap
    yang berkeringat dan berdesakan
    mencari jalan
    Ia tak mati-mati
    meski bola mataku diganti
    Ia tak mati-mati
    meski bercerai dengan rumah
    ditusuk-tusuk sepi
    Ia tak mati-mati
    Telah kubayar yang dia minta
    umur-tenaga-luka
    Aku memang masih utuh
    dan kata-kata belum binasa.



    Nah, kinilah saatnya kita angkat pena. Karena puisi tak akan binasa. Karena oposisi tak akan binasa, menyampaikan kenyataan, menyampaikan kebenaran…bagi siapapun! []

    Bandung, 1 Juli 2006

    0 Responses to “Dari Puisi ke Oposisi”

    Post a Comment

    Subscribe