Monday 10 April 2006
0
Puisi: Telah Meletih Seribu Musim
Hujan tajam menuruni tebing-
tebing waktu yang membatu
Ada yang yang selalu tersisa di jalan setapak
menuju malam
Sebab siang di kotaku garang
dan sore yang tua seorang ibu renta
berjalan ringkih menuju entah
seperti memungut cinta disekujur ruang yang tergusur
Kita memang memilih untuk terpejam
dari huruf-huruf muram di setiap atap yang senyap
Sebab setiap kenangan berulangkali
menusukkan sebilah sepi di dada
setiap orang yang khawatir
disepanjang kerinduan untuk tersenyum
Orang-orang telah lama gusar disepanjang jalan,
dihadapan televisi dan rumah-rumah
Ada duka dalam berita
Ada aroma luka
berputar di setiap mata yang basah
Ada keterasingan dan sepetak tanah
yang pecah—juga khianat
Ada kematian yang terdengar tanpa henti
Ada bising demonstrasi, orang-orang saling mencaci
dan air mata siap diungkapkan
Langit telah berderit, cuaca mengendap
di kaki para petualang yang berangkat pulang
“Katakan padaku tentang hidup
yang diragukan oleh perih dan rasa kehilangan.
Banyak orang telah memecahkan mimpi
dan menusukkan
tajam pecahannya
disekujur jiwanya yang gemetar”
Telah meletih seribu musim dalam catatan
yang kian terlambat untuk duucapkan
dan dilupakan.
Sebab ribuan hati akhirnya patah dan kalah
Disebuah tikungan jalan kotaku, kawan, puisi telah ditikam api
Juga disini, waktuku ditelikung bayanganmu yang tak kunjung sepi
Dan aku kehilanganmu suaramu.
Lalu sepi tiba-tiba.
April 2006
tebing waktu yang membatu
Ada yang yang selalu tersisa di jalan setapak
menuju malam
Sebab siang di kotaku garang
dan sore yang tua seorang ibu renta
berjalan ringkih menuju entah
seperti memungut cinta disekujur ruang yang tergusur
Kita memang memilih untuk terpejam
dari huruf-huruf muram di setiap atap yang senyap
Sebab setiap kenangan berulangkali
menusukkan sebilah sepi di dada
setiap orang yang khawatir
disepanjang kerinduan untuk tersenyum
Orang-orang telah lama gusar disepanjang jalan,
dihadapan televisi dan rumah-rumah
Ada duka dalam berita
Ada aroma luka
berputar di setiap mata yang basah
Ada keterasingan dan sepetak tanah
yang pecah—juga khianat
Ada kematian yang terdengar tanpa henti
Ada bising demonstrasi, orang-orang saling mencaci
dan air mata siap diungkapkan
Langit telah berderit, cuaca mengendap
di kaki para petualang yang berangkat pulang
“Katakan padaku tentang hidup
yang diragukan oleh perih dan rasa kehilangan.
Banyak orang telah memecahkan mimpi
dan menusukkan
tajam pecahannya
disekujur jiwanya yang gemetar”
Telah meletih seribu musim dalam catatan
yang kian terlambat untuk duucapkan
dan dilupakan.
Sebab ribuan hati akhirnya patah dan kalah
Disebuah tikungan jalan kotaku, kawan, puisi telah ditikam api
Juga disini, waktuku ditelikung bayanganmu yang tak kunjung sepi
Dan aku kehilanganmu suaramu.
Lalu sepi tiba-tiba.
April 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Responses to “Puisi: Telah Meletih Seribu Musim”
Post a Comment