Tuesday 10 May 2005

0

Minoritas

  • Tuesday 10 May 2005
  • Unknown
  • Share
  • Sang budak tengadah di pinggir jalan.
    Ia diasingkan, dicoret, dieksploitasi, dibunuh…
    (Yang Lain: mf 406)
    Orang bicara cinta atas nama Tuhannnya, sambil menyiksa,
    membunuh berdasarkan keyakinan mereka.
    (Iwan Fals-Swami)


    Kaum minoritas patah arang: tesis peradaban penuh lelucon tentang “kebenaran khalayak ramai” masih digjaya. Maka, mereka sudah tak nyaman lagi bicara tentang hak dan ruang—seperti apa yang mereka sebut mimpi buruk tentang perang, penindasan, marjinalitas, keterasingan, kekerasan, diskriminasi dan selengkap luka lain. Tiba-tiba dilemapun kadung diterima: hak untuk merdeka dan hak untuk memilih diam membisu di depan ragam ancaman. Disana, sistem mendeklarasikan sebuah pamer kekuatan dan serta merta mengeksekusi—dengan otoritas—setiap sesuatu yang melenceng dari rel khalayak. Sebab itu, narasi tentang heroisme mayoritas dimunculkan dan sejarah memang mencatat bahwa dosa kerapkali hadir tanpa bahasa. Justeru ia mendapat bahasa dalam keseluruhan diri yang tertindas, identitas yang terhempas—dalam hati yang sakit.

    Seperti layaknya lakon peradaban manusia modern yang meletakkan kaum minoritas disatu tepi yang paling sepi dalam logika binner buah politik modernisme. Mereka menjadi identitas liyan dalam permainan ideologi dan ambisi. Mereka kelak mesti menelan pil pahit dan berdiri setengah jongkok dalam stigma inferior. Begitupun dalam wacana patriarki, inferioritas diajukan seolah-olah “kodrat” dihadapan nasib perempuan—sebuah drama dilema tentang perempuan yang tak memiliki keseluruhan tubuhnya sendiri: tubuh yang dieksploitasi dan, diranah lain, dijaga ketat. Akhirnya, logika seksualitas adalah logika hasrat palus “kesempurnaan” si batang penis. Kaum minoritas dipaksa siap menikmati hegemoni.

    Sejarah agamapun punya narasi seperti itu. Otoritarianisme agama mencuat dan kaum minoritas dianggap sesat. Kemudian momok fatwa pun berkecambah bak jamur di musim hujan, menikam yang dianggap lemah, yang sedikit. Seolah-olah “stempel Tuhan” telah ditekan dan segala bentuk tindakan merusak sekalipun dianggap heroik dan jihad. Paradoks agamapun muncul. Disatu sisi agama dianggap rahmat, disisi lain bergumul laknat bagi wajah kemanusiaan.

    Walhasil, kaum minoritas berkelindan dalam ragam stigma. Mereka dipinggirkan karena tidak patuh pada “kategori-kategori normalitas” khalayak dan kekuasaan hegemonik. Mereka dikerat-kerat karena dianggap “abnormal”. “Seorang pribadi dengan sebuah stigma,” bisik Goffman, “tak sepenuhnya manusiawi…” Lantas, dimana kaum minoritas akan meletakkan dirinya jika pada akhirnya setiap kebenaran adalah anak kandung kekuasaan tapi anak haram bagi yang tak punya kuasa?

    2005

    0 Responses to “Minoritas”

    Post a Comment

    Subscribe