Friday 15 November 2002

0

Di Dingin Tiada Panas

  • Friday 15 November 2002
  • Unknown
  • Share
  • Di dingin tiada panas. Burung perlu untuk tak tengadah ke langit dan 1000 tuhan.
    Mana ada batu kesana, ruh lara utusan bangkai kegilaan. Namun rumahnya semakin disini disamping rumput-rumput, pagar bambu dan tanah becek. Selalu, aku mabuk memabuki pemabuk–meski aku tahu, rasa ini bukan anggur; rasa anyir ludah sepertinya.
    Simpan saja, sehabis murung.

    Api yang menyala-nyala di dasar laut yang bukan milik kekasih, kembali menemui anak-anak, menghimpitkan diri dalam desak-desak gelak. Aku tak perlu enggan lihat ke belakang, lihat orang lain, bukan pula membuang dan melupakan karena di dingin dan panas, diantara itu bisa beli hangat.
    Lebih baik aku hilangkan diri waktu berjalan, menyelinap tanpa disengaja di semak-semak kalimat kemarin yang busuk.
    Siapa tahu aku mendadak girang melihat perahu itu terbentuk lewat akar-akar, puisi-puisi, karang, ombak dan nyanyi-nyanyi yang dimerdukan.

    Aku bukan hari ini sepertinya.
    Dunia kecil ini mengecil di usir langit dan 1000 tuhan. Biarpun lampu-lampu gemerlap merupakan seharusnya.
    Namun, bukan itu yang kekal. Yang kekal cuma kaki yang menggetarkan tanah–menjelaskan sungguh…

    15 November 2002

    0 Responses to “Di Dingin Tiada Panas”

    Post a Comment

    Subscribe