Monday 11 March 2002

0

Dia Yang Bermimpi Jadi Seorang Penulis

  • Monday 11 March 2002
  • Unknown
  • Share
  • Saya didatangi seorang kawan yang mimpi ingin jadi seorang penulis besar. “Saya ingin jadi seorang penulis besar,” ucapnya, “tahu apa yang pertama kali harus saya lakukan?”
    Sebenarnya saya hanya cukup dua kata untuk menjawabnya, yaitu: rajinlah menulis! Tapi saya tak mau kelihatan memalukan sebagai seorang mahasiswa yang sudah lama di kampus, meskipun bukan seorang penulis. Biar terlihat keren, saya terlebih dulu berdehem dan meluruskan posisi duduk. Tak lupa melirik jam tangan biar terkesan seperti orang penting yang hanya punya waktu sedikit untuk berbincang dengan orang yang tak penting. Maka mulailah saya bicara…

    “Begini, ada ungkapan menarik dari Walt Disney, kartunis yang wafat tahun 1966: bila engkau dapat memimpikan, engkau dapat pula melakukannya. Tapi apakah itu benar? Saya pikir ungkapan itu hanya semacam modal awal untuk mempercayai bahwa bermimpi, dalam ungkapan tadi, bisa berarti adalah merencanakan perjalanan untuk mencapai tujuan, dan tepat disanalah pertama kalinya kita menjumpai persoalan yang sesungguhnya. Ingat, bermimpi adalah satu hal, dan mewujudkannya adalah hal lain. Bermimpi memang bisa dianggap niat awal dan itu bukan masalah, tetapi yang menjadi masalah serius adalah bagaimana mewujudkannya. Jika kita takut dan malas menjalani proses untuk mewujudkannya, maka tak pantas kita menghabiskan banyak waktu untuk bermimpi. Disana kita hanya layak disebut berangan-angan, hanya berkhayal…”

    Dia menyimak pembicaraan saya seperti menahan napas yang panjang. Sebenarnya saya ingin dia bertanya: “Maksudnya?” Tapi dia hanya mengembangkan hidungnya yang besar dan berair itu. Maka untuk sementara, saya berprasangka baik bahwa pembicaraan saya tadi sangat jelas. Saya berdehem, dan melanjutkan pembicaraan lagi…

    “Bermimpi tentang sesuatu atau banyak hal memang bisa jadi candu, bahkan racun berbahaya. Semakin besar kita memberi bobot pada mimpi kita, semakin besarlah keinginan kita, dan itu berarti semakin besar pula kita menanggung penderitaan jika ternyata tak mampu mewujudkannya. Disanalah kita seringkali menyikapi persoalan dengan rasa kecewa yang bertumpuk-tumpuk. Padahal, musisi Duke Ellington pernah bicara, bahwa sebuah persoalan adalah peluang untuk melakukan hal terbaik. Artinya, persoalan-persoalan yang seringkali kita temukan dalam menjalani proses, jangan sampai melahirkan kebuntuan, tetapi mesti melahirkan kesadaran baru bagaimana cara terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan yang ada, dan bagaimana merencanakan strategi baru selanjutnya…”

    Dia tak sedikitpun punya gelagat bosan dan penasaran. Saya ingin dia bertanya: “Jadi intinya apa? Jangan berbelit-belit!” Tapi dia hanya diam dan memang dia pendengar yang menyedihkan. Saya hanya berbaik sangka dia terdiam karena terpesona pada pemaparan dan cara bicara saya. Lalu saya kembali berdehem untuk ketiga kalinya, tak lupa melirik jam tangan…

    “Ada banyak orang yang percaya bahwa mimpi, keinginan dan cita-cita menjadi sesuatu, mutlak memerlukan bakat. Saya pikir mereka keliru. Semua orang punya bakat menjadi apapun, jika mereka mau belajar dan bekerja keras. Tak ada seorangpun menghormati sebuah bakat, sejauh itu masih tersembunyi, demikian filosof Desiderius Erasmus menulis. Semua orang punya bakat-bakat tersembunyi dalam diri mereka. Semua orang punya harta karun potensi. Persoalannya, maukah kita menggalinya? Latihan dan belajar terus-menerus adalah kuncinya. Kesulitan bukanlah kesulitan jika ia dikerjakan oleh tangan-tangan yang tak pernah mengenal lelah. Kerja keras dan pengorbanan, keberanian dan percaya diri, terus belajar dan pantang menyerah, adalah modal yang tak boleh dilupakan. Kesuksesan dan kemenangan dibangun oleh tumpukkan keringat dan perjuangan. Hargailah hal-hal kecil dari keringat dan perjuangan itu. Orang bisa menciptakan banyak hal karena ia pandai membaca keadaan, mebaca kenyataan. Jadi banyak-banyaklah membaca, apapun! Nyalakan ambisi!”

    “Tapi saya sudah tua…” keluhnya. Akhirnya dia ngomong juga, meskipun dengan kata-kata yang menjengkelkan.
    “Usia tidaklah penting kecuali jika Anda sepotong keju, begitu Helen Hayes bilang.” Ucapku. Kawanku manggut-manggut. Lalu dia berdehem.

    “Tapi saya tak punya uang…” keluhnya lagi.
    Dengan perasaan yang sedih, seolah menjumpai orang sebangsa yang menderita di negeri orang, saya merangkulnya, dan berkata: “Kalau soal uang, kita memang senasib, kawanku…”
    Sambil berlalu, dia menggerutu: “Saya menyesal telah menghabiskan waktu dengan kawan senasib. Saya benci orang senasib!” []

    Sumedang, Sabtu, 03 Mei 2008 23:38

    x

    0 Responses to “Dia Yang Bermimpi Jadi Seorang Penulis”

    Post a Comment

    Subscribe