Sunday 6 July 2014

0

Puisi: Kasidah Cinta

  • Sunday 6 July 2014
  • Unknown
  • Share

  • sunyiMenulis puisi tentang cinta memang menakjubkan. Cinta, pada akhirnya, selalu ingin menegaskan warnanya diantara ragam suasana hati, kegelisahan, harapan dan kerinduan. Dalam puisi, sehebat apapun kerinduan dan kegelisahan cinta manusia terhadap sesama dan Tuhan-Nya, selalu menemukan tempatnya yang ramai dan leluasa dalam tafsir dan makna. Meskipun tohpada akhirnya, kegelisahan manusia–seperti halnya kerinduan–selalu tak pernah usai, selalu tak kunjung selesai, dan kemudian puisi mengabadikannya menjadi lembaran makna yang selalu mengalir, meriak, bergelombang dalam bermilyar tafsir dan pengalaman pembacanya.
    Dalam puisi, manusia selalu menegaskan kesadarannya dengan cara yang terbaik. Manusia sadar bahwa ia tidak sempurna, maka ia mesti mengenali potensi untuk memperbaikinya. Manusia selalu bergerak dalam petak-petak makna.
    Manusia, bisa berarti kuat, hidup, dan baik; bisa juga berarti lemah, kecil dan kotor. Kesadarannya yang luas tidak dengan serta merta membebaskan keterbatasannya. Di hadapan Tuhan, keterbatasannya selalu berarti cemas, takut, cinta, harap, manja, rindu, mesra, takjub dan sebagainya dan sebagainya. Lalu Tuhan “menari” mengikuti warna “nyanyian” manusia.
    Betapa Tuhan Maha Sempurna. Ia mencintai manusia lebih sempurna dibanding cinta manusia terhadap-Nya. Tuhan ada dan tumbuh dalam hati manusia bukan dalam bingkai rasa marah, kalah, putus asa, dan benci; Ia tumbuh dalam suasana cinta, intim dan mesra. Bagi saya, puisi menjadi salah satu “dzikir yang cerdas” bagi manusia untuk lebih dekat dan mesra dengan Tuhan.
    Maka dalam puisi, manusia menerjemahkan Tuhan bukan lagi sesuatu yang baku dan beku, jauh dan asing, besar dan kekar; tetapi sesuatu yang sangat dekat dan intim, seperti Kekasih; kekasih yang mungkin berulangkali dikhianati, tetapi akan tetap Ada diurat nadiku, di urat nadimu…
    Kasidah Cinta
    Rekah malam yang tumbuh masih meruncingkan batinku yang dingin
    Memunguti hikmah dari setapak isyarat menuju surau-surau ketabahan
    Kau menjelma tangan-tangan gaib yang menutup pintu-pintu keluh kesah
    Mengalirkan arus cahaya yang merunduk di reranting keheninganku
    Menyimpan ziarah doa-doaku pada garis-garis panjang kepedihan
    Lentik jarimu yang mempermainkan senja, masih saja menguji tafakurku
    Bertahun melupakanmu dan kau tak henti menyimpan kejernihan hatimu
    Lalu aku dzikirkan sunyi pada lembaran langitmu yang maha sepi
    Senja menyusun rindu yang menyala dalam rakaat kesendirianku
    Hujan masih kau susun dan aroma bismillah merambah akar imanku
    Kau uraikan rambut hitammu pada sudut-sudut mata hatiku yang letih
    Sebelum akhirnya kesedihan perlahan memudar dalam sujud kesadaranku
    Lentik bulu matamu yang memilah musim, masih saja menguji ibadahku 
    Bertahun meninggalkanmu dan kau tak henti menunggu kejernihan imanku
    Sumedang, 15 April 2011

    0 Responses to “Puisi: Kasidah Cinta”

    Post a Comment

    Subscribe