Monday 17 May 2010

0

Apa Kabar, Jatinangor?

  • Monday 17 May 2010
  • Unknown
  • Share

  • Sudah lama tak jalan-jalan ke jatinangor. Dulu, semasa SMA, sepanjang jalan ini saya dan kawan-kawan menghabiskan masa remaja. Masa itu tak seramai sekarang. Kini, bangunan-bangunan baru nan kokoh bermunculan; rumah makan sudah hampir saya temui di setiap lima langkah berjalan; kos-kosan mahasiswa sudah tak lagi bisa dibangun menyamping, tetapi sudah bertingkat; warnet-warnet sudah banyak; roda-roda jajanan bertambah meriah; rental game, komputer, toko-toko dan bioskop–seakan semua yang dibutuhkan orang tersedia di sini.  Dari mulai Cileunyi sampai Cikuda, sudah jadi jejaring bisnis yang gempita. Sudah jarang saya menemukan rumah pribumi di garis depan jalan, semua hampir terisi padat oleh warga pendatang. Barangkali warga pribumi semuanya sudah pindah, toh rumah kawan-kawan saya semasa SMA pun sudah sedikit yang masih bertahan di sana. Bangunan-bangunan sudah dikontrakkan, di sulap jadi toko, rumah makan dan kos-kosan.
    Terkadang saya menikmati suasana baru ini, tetapi seringkali merasa asing dan sepi. Dulu, tak sedikit orang yang kukenal sepanjang jalan ini, tetapi kini sudah mulai asing dengan warga pendatang, dari luar kota yang sengaja berdagang atau mahasiswa-mahasiswa dari luar pulau, bahkan banyak pula dari luar negeri yang setiapkali berbincang dengan kawannya selalu saja tak saya mengerti bahasanya. Berjalan memasuki gerbang kampus UNPAD pun kini mulai berbeda, jalan dan bangunan-bangunannya sudah lama dirombak dan direnovasi. Tak ada lagi tempat duduk di bawah pohon rimbun, favorit saya dan kawan-kawan di jalan menuju kampus. Dulu, di sana ada pedagang yang akrab dengan kami, penjual gorengan yang senang ketawa dan punya banyak cerita lucu. Kini ia entah pindah ke mana. Tak ada lagi bangku tua di lajur kanan tempat dulu saya duduk makan berdua dengan sang pacar hehehe. Tak ada lagi pohon yang melengkung tempat dulu kami berkumpul bermain musik dan berbincang-bincang sepulang sekolah. Tak ada lagi sawah dan kolam ikan di belakang gardu polisi tempat kami bermain kartu dan melahap nasi liwet.
    Kini memang sudah berubah, lebih mewah. Tetapi sekarang di siang hari malah tambah gerah, tak seperti dulu. Tentu saja, hanya tempat dan suasana yang lebih dekat dengan kampus saja yang lebih banyak berubah. Atau sejak ada pusat belanja dan gedung bioskop, keramaian di daerah sana mulai menggeliat. Orang-orang mulai membangun gairah berbisnis. Tanah dan bangunan mulai dijual jauh lebih mahal dibanding tahun-tahun yang lalu. Jelang sore, keramaian dan hilir mudik kendaraan mulai bertambah bising. Musik-musik dari toko dan kafe riuh bersahutan, suara klakson, pijar lampu yang benderang meningkahi papan-papan iklan raksasa nan canggih, gemerlap memutar slide impian. Jauh dari sana, di punggung keramaian ini, warga pribumi saya temukan membangun rumah-rumahnya di tempat yang sepi, di kebun-kebun, bahkan nun jauh di kaki gunung. Melewati kampus IKOPIN dan jalan hotel menuju CIleunyi, bangunan-bangunan memang tak banyak berubah. Saya ingat, dulu sering mampir di Cibeusi, ada kawan yang punya rumah di dekat Pondok Pesantren Al-Aqsha.
    Kini ia sudah tak lagi di sana. Tetapi kini Pondok Pesantren Al-Aqsha pun sudah banyak berubah, makin berkembang pesat. Ponpes ini sekarang sudah menjadi Pondok Moodern di Jatinangor, bahkan sudah ada sekolah umumnya. Santrinya sudah ratusan. Saya sebentar mampir ke sana, sunyi dan teduh. Saya bincang-bincang dengan seseorang tentang perkembangan Ponpes. Kini Al-Aqsha sudah mendapat kemajuan dalam segala bidang, dari mulai fasilitas, santri sampai sistem pembelajaran. Wah, kini pula sudah ada laboratorium komputer, perpustakaan yang mulai tambah besar dan fasilitas-fasilitas pembelajaran yang modern.  Hm, tak heran jika Ponpes ini sudah banyak diminati, bahkan dipadati oleh santri-santri dari berbagai kota di Indonesia. Sungguh prestasi dan kemajuan yang cepat dan fantastis sejak berdirinya di tahun 1993. Dari dulu, Ponpes ini yang paling saya sukai di kota Sumedang, barangkali—disamping kualitas pembelajarannya yang baik—karena dulu saya sempat mengagumi santri putri yang menetap di sana hahaha.
    Saya merasa kagum, di tengah-tengah lingkungan Jatinangor yang tambah mewah, glamour dan seksi ini masih bertahan Ponpes Modern yang bernapas tambah kuat dan maju. Mudah-mudahan ini menjadi oase yang bisa menyelamatkan umat dari dahaga zaman yang makin aneh. Hm, Al-Aqsha mengingatkan saya pada Drs. KH Mukhlis Aliyudin, M. Ag., dosen saya, pimpinan Ponpes; ingat beliau jadi ingat lagi kuliah yang belum kelar-kelar hahaha… Saya senang berlama-lama berbincang di lingkungan Al-Aqsha, tetapi saya harus kembali ke kampus UNPAD, ada kawan yang ingin bertemu. Berjalan dari Ponpes menuju pusat keramaian di Jatinangor seperti berjalan dari shubuh menuju siang, dari sunyi menuju riuh bunyi. Saya ingin menemukan kembali kawan-kawan saya di Jatinangor, menyusuri kenangan dan masa lalu. Lampu-lampu jelang malam mulai gemerlap berwarna-warni, mengeluarkan aroma angin. Musik mulai terdengar lagi. Saya menyusuri lebih jauh rumah-rumah di pinggiran. Bertemulah saya dengan seorang kawan. Ia mengajak saya menemui yang lainnya. Mereka masih ada. Ada yang di warnet, di toko buku, jualan jus, di rental DVD, di toko-toko makanan. Senang saya melihatnya, cakap-cakap, seronoknya hehehe…
    Tapi toh mereka, warga pribumi Jatinangor, saya rasakan seakan sebagian sudah terhimpit di tanahnya sendiri. Sebagian besar dari mereka bersimpuh di teras bisnis para pendatang, selebihnya pulang ke rumah-rumah yang sunyi jauh di belakang keriuhan, membangun rumah-rumah yang berdiri tak semewah kosan dan toko-toko, rumah pribadi yang akan sampai setelah melewati ilalang dan jalan bersampah, atau terhimpit di keramaian kamar-kamar mahasiswa, atau entah di mana, masih lembap dan samar, seperti halnya seorang ayah dan anak pribumi miskin yang di siang hari mengais sampah di TPS yang bertumpuk bekas-bekas barang dan bungkus makanan mahal, entah bekas siapa, barangkali bekas para pemilik modal, atau bekas seorang turis yang kebingungan mencari tempat sampah di Indonesia. Lalu malam larut, saya menyusuri pertokoan dan roda-roda dagangan yang masih saja memproduksi makanan selarut ini.  Gerimis pun turun, perempuan-perempuan cantik nan seksi menjerit berlari manja di bawah garis-garis hujan, air selokan menumbuhkan aroma pasir dan plastik, menghanyutkan semua kenangan…

    0 Responses to “Apa Kabar, Jatinangor?”

    Post a Comment

    Subscribe