Monday 21 July 2008

0

Cerpen: Jendela Kamar

  • Monday 21 July 2008
  • Unknown
  • Share

  • Mataku perih setiapkali membaca buku lebih dari 15 menit. Perlahan kututup buku Manusia Yang Dicintai dan Dibenci Allah. Jam menunjukkan pukul 4 sore. Tapi di luar cuaca masih panas. Dari jendela kamarku, terlihat daun kering jatuh dan awan perlahan bergerak. Aku bangkit, menghela napas yang belakangan ini terasa tak nyaman, sesak. Kubuka kalender, angka-angka tak terasa terus berlarian, meski sudah kulingkari. Aku mendengar dari sini suara hilir mudik kendaraan saling bersahutan. Aku merasakan di ruang kepalaku sesuatu yang mengeras, ingin meledak. Kutenggak air mineral. Kurasakan airnya tersekat di tenggorokan. Terdengar suara ayam berkokok di samping rumah, juga burung-burung di pohon dan suara bocah menangis entah dari sebelah mana.
    Dari jendela kamar kecil ini, aku merasa langit tawar. Tak lama seseorang membuka pintu kamarku, dan menutupnya kembali. Ada suara ribut di tetangga sebelah, suara pertengkaran pasangan pengantin yang baru menikah tiga bulan yang lalu.
    Terlihat seorang lelaki berjalan menuju rumahku, dan mengetuk pintuku dengan keras. Aku perlahan membuka pintu dan menemukan wajahnya yang pucat. Dia duduk tergesa, menghela napas dan menatapku dengan cemas.
    “Kiamat sudah dekat, kiamat sudah dekat.” Ucapnya berulang-ulang. Aku menuang air putih ke dalam gelas dan memberikan padanya. Ia mereguknya hingga habis.
    Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela.
    “Tanda-tanda kiamat sudah muncul. Bayangkan saja, adzan sudah jarang terdengar lagi. Adzan dzuhur dan Ashar hari ini juga tak terdengar dari mesjid-mesjid. Kata ustad, tanda-tanda kedatangan kiamat itu salah satunya jika suara seruan adzan sudah tak ada lagi. Kiamat sudah dekat…” desisnya.
    Aku bangkit perlahan. Cukup lama kami hening. Tak lama kemudian lelaki itu bangkit dan keluar dari kamarku. Dari jendela kamar ini, aku melihat ia berjalan menjauh. Dia belum tahu bahwa hari ini PLN kembali melakukan pemadaman listrik bergilir.
    Ponselku menjerit-jerit. Ada panggilan telepon entah dari siapa. Aku melihat layarnya berkedip-kedip, dan tak lama kemudian redup kembali. Hening kembali. Kuambil jaket, dan kukenakan. Kutatap cermin, dan kusisir rambutku perlahan. Kumatikan ponselku, dan aku mengunci kamarku. Aku mengunci semuanya, kecuali jendela kamar. Lihatlah, langit berwarna senja.
    Sumedang, Juli 2008

    0 Responses to “Cerpen: Jendela Kamar”

    Post a Comment

    Subscribe