Monday 26 December 2005

0

Cerpen: Ziarah Sebutir Peluru

  • Monday 26 December 2005
  • Unknown
  • Share
  • Dua ratus dua puluh tujuh hari kemudian, setelah sebutir peluru menembus dada kiriku, kota ini menjadi maha sepi. Seorang perempuan menjadi saksi hidup; namun ia hilang sebelum orang-orang di kota ini mengalami perubahan wujud: jadi hewan, jadi batu, jadi pisau dapur yang berkarat.
    Di persimpangan jalan ini, aku dapat setia menunggu seseorang yang telah menjadi saksi sebuah peristiwa Mei yang lalu: sebutir peluru disarangkan waktu di dada kiriku. Kulihat dedaun kering berguguran di depanku. Lengang yang panjang, sesekali ia pecah; sebab ribuan hewan, gemeretuk batu-batu dan kelebat pisau dapur terdengar menjerit di dinding, di sudut-sudut tempat, bersilang lalu hilang kembali; remang.
    Selalu, tiga kilometer dari tempatku duduk, aku melihat ada banyak harimau bergerak ke arah barat. Di lain tempat, babi-babi berkerumun di bawah pohon beringin. Di sebelah timur, ribuan ular merayap melintasi jalan. Manusia nyaris sirna. Sebuah mimpi buruk telah dibentuk: kota ini dikuasai binatang; bergerombol, saling memburu, berkelebat seiring bayangan perempuan yang kucari, berjalan gegas di gigir lukaku.
    Kelak aku mencari perempuan itu di mata merah harimau, di desis sinis ular, di pekik ribuan babi hutan, di selaksa arah. Kota ini riuh, sarat ketakutan dan bikin mual. Tak ada lagi aroma kekasih tercium di tepi jalan ini menjelang senja. Langit legam, di sepanjang jalan tercecer pamflet-pamflet, puntung rokok dan gelas pecah bekas kopi hitam. Di gedung sebelah utara ada genangan darah sisa semalam, entah darah apa. Hari-hari berlari mengejar gema yang tak teratur, seolah-olah dua menit yang lewat teriakan-teriakan pernah tumpah ruah di tempat ini; berserak, menyayat sunyi luka-luka.
    Dan luka ini, Tuhan, kian terbuka. Seekor harimau setiap malam mengendus aroma darah dan bau sebutir peluru yang mengering di lubang dadaku. Seekor babi saban pagi berlama-lama menatap lubang lukaku. Sementara, jilat lidah ular membuat luka ini tambah nganga dan gemetar. Aku hanya terpaku. Menunggu.
    “Apa arti kesetiaan bagimu?” harimau itu tersenyum sinis, “Kau diperbudak nasib. Lihat aku, nasib hanya merestui kekuasaan, bukan lemahnya harapan. Apa sih yang tersisa dari mental perempuan? Nasib tidak memihak kesetiaanmu. Kesetiaan paling revolusioner adalah ambisi dan tirani. Nonsens hati nurani. kesetiaan memihak yang kuat dan berkuasa. Ia tunduk pada bentuk! ”
    Tak mau kalah dari harimau, seekor babi meloncat ke belakangku dan berbisik: “Uang dapat membeli segalanya. Perjuangan perlu sihir uang. Uang adalah tuhan—atau balik saja seenakmu: tuhan adalah uang; sama saja, kan?”
    “Ok, jual saja keyakinanmu. Jual kesetiaanmu.” seekor ular menimpali, “Jual kejujuranmu. Jual hati nuranimu, cintamu bahkan tuhanmu, kitab sucimu itu. Ini kali kau hanya meratapi sepinya mimpi.” Hewan-hewan disekelilingku ikut meracau, tertawa, bernyanyi dan setengah jam kemudian, entah kenapa, mereka saling menghujat, menggigit, berkelahi dan saling membunuh. Batu-batu dilemparkan, belati-belati membidik hati. Mereka berlarian. Setelah itu, kota ini sekejap menjadi sunyi kembali, sepi.
    Namun keesokan harinya, sepi tak bertahan cukup lama. Ribuan hewan menerjang garang; ribuan hewan bergerak sporadis ke segenap arah. Suara-suara mereka bising seperti tambur peperangan yang ditabuh beribu tangan. Hewan-hewan memasuki tiap sudut kota; ke gedung-gedung perkantoran, hotel-hotel, tempat ibadah, kampus-kampus, pasar dan tempat lainnya. Ada harimau merasuki dada mahasiswa. Ada babi hutan menembus perut rektor. Ada ular menelusup jantung dosen. Ada ribuan monyet mencakar rongga dada Pak RT, guru, ustad, pendeta dan lainnya. Mereka jadi gila, sakit dan mabuk. Sisa-sisa manusia jadi remuk dalam gilas, kerkah dan lumat khianat.
    Di sudut lain, lampu-lampu disepanjang jalan tepi sebuah kampung tampak temaram. Di tempat ini telah dijadikan sarang hewan-hewan tingkat tinggi. Menjelang adzan shubuh, tampak pula beberapa hewan berkeliaran disekeliling uang yang menumpuk di gerobak mobil. Seekor hewan menabur gepokan uang itu ke setiap bubungan atap rumah, kantor dan mesjid. Sisanya dengan cepat diraih hewan senior.
    “Ah! Aku dapat enam puluh lima perak!” teriak harimau kegirangan.
    “Yaah, aku cuma dapat dua puluh lima perak.” Keluh babi.
    “Kalau saya dapat empat belas perak. Tapi, syukurlah, daripada nol.” Ucap ular.
    Kemudian suara hewan-hewan sayup terdengar, bersijingkat lewat beribu SMS, email, faximile, bisikan dan pucuk-pucuk surat. Aku melihat semua itu. Aku melihat bayang perempuan yang kucari itu di pelupuk mataku. Aku melihat wajahku di kaca jendela. Aku melihat malam, kian melarut lewat angin, dingin.
    Di hari yang lain, di sebuah kampung yang dijadikan sebagai sentral koordinasi hewan, sebuah musyawarah paripurna masyarakat hewan di gelar. Aku menyaksikan mereka diam-diam. Dari sebelah barat terlihat ratusan hewan berarak menuju gedung tua aula, meneriakan yel-yel. Seluruh hewan di kampung ini sekan-akan mengerti satu hal: spesies mana yang berhak menguasai kota ini? Menjelang perdebatan-perdebatan politik dilakukan, beberapa hewan purba terlihat memasuki gedung-gedung, mencuri semacam dokumen, draf, komputer, rice cooker, lemari, surat-surat penting dan fasilitas lainnya peninggalan peradaban manusia.
    Hewan-hewan berpesta dan bendera-bendera telah dikibarkan. Ada demokrasi binatang tertulis di tembok-tembok jalan yang retak. Ada politik hewan tercatat di plastik-plastik limbah. Geliat kecurigaan satu sama lain mulai muncrat. Bahkan ada darah dan amarah tercecer di tepi jalan. Lalu-lalang hewan, suara terompet, menyerupai pesta manusia, menyerupai pemilu. Diantara itu, aku letih menyusuri waktu. Sebuah ingatan yang acak mencabik pikiranku, sebuah de javu mengoyak otakku. Aku melihat dunia berwarna pekat. Aku melihat agama tertera di kertas-kertas bungkus makanan. Aku melihat tuhan tertulis di bangkai kucing yang tergilas truk. Aku menemukan keadilan tertulis di permukaan celana dalam laki-laki. Diantara itu, aku melihat kelebat bayangan perempuan yang kucari, melewati tikungan jalan dan hilang seiring adzan maghrib terdengar dari arah sebelah entah…
    ***
    Dua ratus tiga puluh hari kemudian, setelah sebutir peluru menembus dada kiriku, kota ini akan merayakan pesta.
    “Kelompok hewan akan memilih raja penguasa kota ini terkait dengan interupsi bahwa raja bagi kota rimba mesti bebas dari monopoli spesies tertentu. Cih!” Ujar harimau sinis. “Tapi toleran terhadap perbedaan merupakan kejahatan besar bagi undang-undang binatang.” lanjutnya sembari tertawa terbahak-bahak. Lantas ia berbisik: “Maka, spesies yang berbeda dari kami, harus tiada.” Hewan yang mengaku korlap harimau itu pergi dan hilang di kerumunan hewan.
    Lantas aku memasuki hingar-bingar itu sembari berharap perempuan yang kucari muncul disana. Ada aroma masa lalu tercium anyir di sela bisik hewan-hewan, data-data, labirin ingatan dan di ruas buku yang berdebu. Suasana kian riuh. Barisan-barisan hewan menderap. Tampak beberapa hewan pedagang kaki lima berkoar lewat mikrophone, menabuh lolong dan omong kosong.
    Namun, dua menit kemudian, mendadak aroma melati tercium. Terlihat dikejauhan barisan kecil bayangan perempuan bergerak menuju pesta ini. Seluruh hewan serentak memandang ke arah barisan bayangan perempuan dan menjerit-jerit. Aku berharap, perempuan yang kucari ada di barisan itu.
    Bayangan-bayangan perempuan terus mendekat, merangkak menaiki panggung. Tampak langit rekah dan hewan-hewan berdesakan, menjerit. Terdengar gemeretuk batu-batu, desau pisau dapur yang berkelebat. Ribuan hewan siaga memasang cakar, mengasah taring. Tak kuduga, seperti mendapat intruksi, hewan-hewan itu serentak menerjang bayangan perempuan-perempuan itu, menerjang manusia.
    Aku terkejut. Kulihat seekor ular mematuk-matuk tubuh seorang bayangan perempuan. Ada seekor harimau mencabik-cabik empat bayangan perempuan. Seekor babi hutan menikam punggung bayangan perempuan. Batu-batu berseliweran. Pisau dapur melekatkan karat di garit-garit jerit. Suasana tambah kacau. Aku bergegas menyusuri setiap pengap tepi hari; ringkih memungut air mata ribuan bayangan perempuan di sepanjang jalan. Ada duka demikian tegas berserak di baur kerikil.
    Kulihat pula bayangan seorang perempuan mengibarkan bendera warna senja. Ia berdiri tegar bak Srikandi di kecamuk medan Kuru Serta. Ia seperti Aisyah di hiruk-pikuk perang Jamal. Aku ingat! Dia perempuan yang kucari. Aku segera mendekatinya dengan satu-dua jatuh. Tak banyak yang tersisa, Tuhan, bayangan itu bergerak acak. Namun ia menatapku tajam. Tangannya yang samar tampak gemetar memegang tiang bendera.
    “Aku mencarimu.” Ucapku, “Aku mencintaimu, perempuan, bukan sekedar kau perempuan.” Perempuan itu menatapku tajam. “Aku mencintaimu karena kau manusia yang harus merdeka. Aku berharap kau adalah ibu bagi sebutir peluru di dada kiriku. Cabutlah karatnya dari bathinku.” Kutatap ia, kutatap ribuan bayangan perempuan; pengap. Ia masih terdiam. Geram.
    Namun, tiba-tiba ia menjerit. Derak suaranya memekakkan telinga, meremukkan rongga dadaku. Hewan-hewan membisu. Angin berhenti. Pikiranku beku. Bathinku dingin. Ruang mendadak sunyi, sepi.
    Mataku mulai nanar. Bayangan perempuan dihadapanku itu perlahan kian samar, lalu terbakar. Aku tersuruk direruntuhan harapan manusia, diantara pepuing mata hati. Perih mataku. Bayangan perempuan itu terus berkelebat di nganga pikiranku. “Ya, Rabb, lindungi hidupnya. Cintai setiap hela napasnya. Restui segenap degup usianya…” kian hangat kurasa sebutir peluru terpendam di dada kiriku. Rabb, perkenankan ia menjadi kenangan yang abadi, disini.
    Sekejap kota ini kembali menjadi maha sepi. Aku bangkit, memandang ruang; ada dimensi ngeri berkelindan seiring ingatan tentang manusia yang membinasa, cinta yang meretak. Aku berjalan lunglai, memulai penempuhan sebuah ziarah sebutir peluru di dada kiriku, menyusuri jejak-jejak bayangan perempuan yang menjauh ke utara. Ziarah yang sunyi. Aku sejenak meninggalkan kotaku.
    Namun, berjalan beberapa kilometer dari gerbang kota, terdengar kembali pekik hewan menabuh kotaku. Musim kembali menumbuhkan hewan-hewan. Pesta kembali terdengar dirayakan. Kulihat dari kejauhan, hewan-hewan berperang di tikungan jalan, menyembelih perbedaan, mentuhankan ambisi kelompok. Batu-batu tampak berterbangan. Ribuan pisau berderit. Pahit.
    Sementara, hujan mulai turun di senja ini. Kulihat kotaku mengalirkan warna darah di arus kali. Kotaku, kota yang terdengar hingar menjelang pemilihan raja binatang; raja yang dapat membikin kotaku menjadi kota yang membangun pusat peradaban binatang; peradaban omong kosong. Kota yang memelihara bangkai di ruang yang tak di ungkap. Gelap.
    Entahlah kini, aku berjalan sendiri. Apa yang tersisa dari penempuhanku setelah senja ini? Mungkin kematian ataupun perjalanan untuk sebuah ziarah yang terus berulang-ulang dan kian lengang. Sepanjang perjalanan ini, selalu terdengar gaung teriakan perempuan yang tetap akan kucari. Sesekali pekik hewan-hewan lamat dan anyir terdengar dari kotaku, di remang zaman. Masih terasa hangat air mata perempuan-perempuan di kedua telapak tanganku. Masih tersisa kelebat bayangan perempuan yang tetap akan kucari itu.
    Ziarahku, ziarah untuk nasib kotaku, nasib perempuan di keremangan zaman. “Aku ingat ibuku, aku ingat kau, aku ingat bayangan perempuan-perempuan itu. Merdekakan nasib mereka ya, Rabb.” Kuhikmati haru sebutir peluru, kuhikmati cintaku yang nyeri. Ada do`a-do`a berjalan gemetar di sepanjang jalan, di tepi senja yang pulang. Sunyi…■
    Kampus, 22-25 Desember 2005

    0 Responses to “Cerpen: Ziarah Sebutir Peluru”

    Post a Comment

    Subscribe